webnovel

Persekongkolan.

Eduardus menggelengkan kepalanya terus-terusan seakan menolak ajakkan Kensky.

"Hnnnng! Hnnnng!" Air matanya mulai menetes.

"Apa yang terjadi, Papi? Apa yang terjadi?" Kensky ikut menangis.

"Hnnnng! Hnnnng!"

"Papi ayo bicara, Papi! Kumohon bicaralah! Hikss."

"Hnnng! Hnnnng!" Edurdus menggelengkan kepalanya dengan air mata semakin deras.

"Papimu tidak mau ke dokter, Kensky," kata Rebecca.

Kensky terkejut sambil menatap ayahnya. "Apa itu benar? Apa benar Papi tidak mau ke dokter?"

Eduardus hanya diam dan tidak mengeluarkan suara, tapi airmatanya terus mengalir.

"Tadi juga ayahmu bereaksi sama seperti itu," kata Rebecca lagi, "Aku sudah berusaha membujuknya untuk ke dokter, tapi dia tidak mau. Dia hanya menggeleng dengan raungan seperti barusan dan aku sendiri tidak tahu apa artinya."

Kensky menatap sang ayah dengan air mata yang kini kembali menetes. Dengan hati sedih ia berlutut di samping ranjang.

"Ada apa, Papi? Kenapa Papi menangis?"

Eduardus tak menjawab. Soraya yang sedari tadi hanya diam akhirnya angkat suara.

"Kensky sebaiknya kau mandi dulu. Kau pasti capek, kan? Biar ayah aku yang jaga."

"Iya, Kensky. Soraya benar, biar Soraya yang menjaga ayah. Ibu akan menyiapkan makan malam dulu untuk kalian.

Kensky menolak. "Tidak, aku ingin bersama papi."

Rebecca mengambil alih. Ia berdiri dan berlutut di samping Kensky.

"Cukup ayahmu yang sakit. Kalau kau sakit, siapa yang akan meneruskan perusahan ayahmu?"

Perkataan Rebecca membuat Kensky luluh. Dilihatnya mata wanita itu yang bengkak akibat menangis. Dalam hati ia berpikir kalau perasaan Rebecca pasti sama sepertinya; sedih dan juga khawatir.

"Ayolah, Nak. Hari semakin gelap. Nanti kamu sakit kalau mandinya terlalu malam."

Kensky hendak berdiri. Tapi sebelum itu ia membungkuk dan menatap Eduardus.

"Sekarang Papi istirahat, ya? Aku akan kembali setelah mandi," bisiknya tepat di telinga sang ayah.

"Ayo," ajak Rebecca saat dirinya hendak keluar.

Kensky yang tidak berpikir macam-macam itu pun hanya bisa menurut apa yang dikatakan Soraya dan Rebecca. Ia bahkan hanya melirik Eduardus yang kini sedang menatapnya.

Tapi tatapan dan raut wajah Eduardus membuat hati kecil Kensky menolak untuk meninggalkannya. Ia pun hendak berbalik, taoi Rebecca dengan cepat mencegahnya.

"Ayo, biarkan papimu istirahat dulu. Sejak tadi papimu belum tidur."

Kensky menurut dan Rebecca mengajak gadis itu keluar kamar lalu menutup pintunya. Begitu tiba di depan pintu ia berkata lagi, "Kalau papi tidak mau ke dokter, biar mama yang akan suruh dokter ke sini untuk memeriksanya."

Kensky menatap ragu, tapi tidak berkata apa-apa.

Rebecca yang menyadarinya pun langsung berkata, "Sekarang mandilah dan ganti baju. Mama akan membuat makan malam untukmu dan Soraya."

Kensky menatap tubuh Rebecca saat wanita itu menuruni tangga. Karena merasa gerah dengan kemeja kantor yang masih dikenakannya, ia pun menuruni tangga menuju kamarnya yang ada di lantai bawah.

Sedangkan Rebecca menuruni tangga menuju dapur. Begitu tiba di dapur ia segera melirik kiri dan kanan untuk memastikan bahwa dirinya benar-benar sendirian.

Merasa tidak ada yang mengikutinya, Rebecca segera merogoh ponsel dari saku untuk menghubungi seseorang. Takut kalau-kalau ada yang mendengar pembicaraannya, Rebecca sesekali melirik ke arah pintu dapur.

"Halo?" sapa Rebecca begitu panggilan terhubung, "Dean! Kenapa kau tidak merespon panggilanku dari tadi?"

"Aku sedang sibuk. Ada apa?"

"Obatnya, Dean! Obatnya sudah membuat tubuh Eduardus lemas dan suaranya hilang."

"Bagus! Lakukan seterusnya sampai semua saraf dalam tubuhnya tidak berfungsi lagi."

"Baik. Ngomong-ngomong kapan kau akan menikahi Soraya," tanya Rebecca.

"Sesuai perjanjian kita, Rebecca. Kau masih ingat kan perjanjian itu?"

"Tentu saja. Tapi kumohon jangan lama-lama, ya? Aku ingin segera menggendong cucu."

Setelah selesai mandi, Kensky kembali ke kamar atas untuk melihat kondisi ayahnya. Dengan tubuh yang mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana jins biru pendek, gadis itu sedikit berlari dengan rambut yang digulung tidak rapi.

"Kensky?" panggil Rebecca dari lantai bawah. Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di anak tangga pertama lantai dua, "Ayo makan dulu. Makan malamnya sudah siap."

Di saat bersamaan Soraya menuruni tangga dari lantai tiga.

"Soraya!" panggil Rebecca, "Ayo makan. Kalian makan malam saja dulu, biar mama yang akan menjaga ayah."

Soraya memasang wajah sedih. "Ayah baru saja tidur, Ma. Jadi sebaiknya Mama jangan mengganggu ayah dulu."

Kensky lega mendengar itu. Tapi ia tak mengeluarkan suara atau merespon perkataan Soraya maupun ibu tirinya. Perlahan ia pun melangkah menuruni tangga dan menuju ruang makan.

"Ma, memangnya ayah sakit apa?" tanya Soraya untuk memecahkan keheningan di meja makan.

Pikiran Kensky begitu larut oleh kondisi sang ayah sampai-sampai ia sendiri tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkan saudara tirinya itu. Dalam hati ia bertanya-tanya, "Jatuh pingsan? Tidak bisa bergerak dan tak bersuara, penyakit jenis apa itu?" katanya dalam hati.

"Kensky," panggil Rebecca. Gadis itu tak merespon.

Soraya yang duduk di hadapannya segera menyentuh kaki Kensky dengan kakinya. Saat gadis itu terkejut, ia segera mengodekan kepala ke arah ibunya.

Kensky menatap Rebecca. "Ada apa?" tanyanya dengan nada pelan.

"Apa yang kau pikirkan, Kensky? Kenapa dari tadi kau tidak makan?"

"Iya. Kami bahkan hampir selesai, tapi punyamu sepertinya tidak disentuh sama sekali," timpa Soraya, "Apa kau kurang sehat?"

"Makanlah, Kensky. Kalau kamu tidak makan nanti kamu akan sakit," kata Rebecca.

Kensky menatap Rebecca dan Soraya secara bergantian. Ia merasa heran dengan sikap dua orang itu yang tiba-tiba berubah menjadi perhatian. Normalnya mereka akan selalu berkata kasar meski di depan ayahnya, tapi kenapa sekarang mereka tiba-tiba jadi lembut?

"Apa mereka melakukan ini karena papi sakit?" katanya dalam hati.

Rebecca menatap Kensky yang kini sedang melamun. Ia seakan bisa membaca pikiran anak tirinya dan yakin kalau gadis itu sedang memikirkan perubahan sikap yang terjadi di antara mereka.

Tak ingin gadis itu berpikir macam-macam, ia pun segera berkata, "Mungkin kau merasa sikap mama padamu hanya berpura-pura. Iya, kan? Tapi mama bersumpah, sikap mama padamu ini karena bentuk kepedulian. Mama tahu kamu dan ayahmu tidak pernah akur setelah kehadiran kami di rumah ini, tapi tidak mungkin juga kan kami akan memusuhimu selamanya. Sebagai orang tua dan saudaramu, mama dan Soraya minta maaf kalau kami punya salah. Kami ingin kita berdamai dan hidup aman selamanya bersamamu, Kensky. Maukah kau memaafkan Kami?"

Hati Kensky tersentuh. Ia berdiri lalu mendekati Rebecca. "Ma, aku juga minta maaf kalau selama ini aku sering berkata kasar."

Rebecca melepaskan sendok dan garpu lalu balas memeluk Kensky. "Mama yang minta maaf, Sayang. Maafkan mama, ya?" Rebecca menangis.

"Iya, Ma. Aku memaafkan Mama, kok," balas Kensky.

"Terima kasih, Kensky. Terima kasih."

Soraya diam tanpa merespon. Ia kemudian melanjutkan mengunyah tanpa ada perasaan terharu saat melihat ibu kandungnya yang sedang bersedih bersama saudara tirinya.

***

Setelah sesi makan malam selesai, Kensky pamit lebih dulu untuk membesuk Eduardus. "Ma, aku duluan, ya? Aku ingin melihat papi sebentar sebelum tidur."

"Iya, Sayang."

"Kalau kamu lelah istirahat saja biar aku yang jaga ayah," timpa Soraya.

"Tidak apa-apa, terima kasih. Aku hanya sebentar, kok."

Kensky mendorong kursinya lalu meneguk segelas air. Sementara Rebecca dan Soraya yang masih duduk di ruang makan itu kini menatap tubuh Kensky yang berjalan meninggalkan mereka.

Bersambung___