Nadine menatap halaman luas yang berada di depan Kampusnya. Dengan helaan nafas yang berat Nadine turun menuruni tangga kampus. Dengan sedikit lelah Nadine melangkahkan kakinya ke tempat kursi panjang yang terbuat dari kayu, dengan di lindungi pohon besar yang rindang.
Nadine merasakan kenyamanan yang luar biasa setiap duduk dan bersandar di kursi panjang itu.
Dengan bersandar di punggung kursi kayu, Nadine menyelonjorkan kaki panjangnya. Matanya berlahan terpejam kendati hatinya masih melalang buana.
Pikirannya kembali mengingat pamannya Ardham.Tujuh tahun sudah Nadine tinggal sendiri di rumah besar milik pamannya Ardham.
Tidak tahu alasannya apa, hingga pamannya meninggalkannya sendirian. Padahal dia sangat tahu pamannya sangat menyayanginya.Tidak pernah sedikitpun Nadine di marahi. Semua keinginan Nadine dari kecil selalu di penuhi pamannya.
Memang paman Ardham bukanlah paman kandungnya. Paman Ardham adalah sabahat orang tua Nadine. Bertiga mereka hidup bersama selayaknya saudara.
Hingga saat Nadine terlahir, Ardham sangat bahagia dengan bayi Nadine yang cantik. Sering kali bayi Nadine tidur di kamar Ardham , bahkan bayi Nadine selalu tenang jika dalam gendongan Ardham di banding dalam gendongan orang tuanya. Serasa ada ikatan batin yang kuat antara bayi Nadine dengan Ardham.
Kasih sayang Ardham pada bayi Nadine sangat terlihat jelas. Bahkan Ardham memanggil bayi Nadine dengan sebutan Tuan putri, sebutan yang selalu membuat bayi Nadine tertawa riang. walau bayi Nadine belum tahu arti dari sebutan tuan putri.
Waktupun berjalan dengan penuh kebahagiaan.
Namun saat bayi Nadine berusia dua tahun musibah datang pada keluarga Nadine. Orang tua Nadine mengalami kecelakan tunggal dan meninggat saat itu juga. Nadine yang masih di usia dua tahun tidak mengerti dengan kesedihan orang-orang di sekelilingnya. Terutama melihat airmata di pelupuk mata pamannya.
Sungguh baru pertama itu Nadine melihat pamannya menangis. Hingga beberapa tahun kemudian, baru Nadine mengerti kenapa dia tidak pernah melihat orang tuanya lagi, ternyata orang tuanya sudah meninggalkannya untuk selamanya.
Nadine selalu menangis histeris jika mengingat hal itu, dan Nadine baru bisa tenang saat paman Ardham memeluknya dengan kasih sayang.
Nadine menghela nafas beberapa kali, di sudut matanya ada air mata yang menggenang.
Dia sangat merindukan paman Ardham. Nadine sangat berhutang budi pada pamannya, walau pamannya tidak tinggal bersamanya dan tidak tahu keberadaanya, pamannya selalu mengirimi Nadine uang, dan beberapa kebutuhan Nadine lainnya. Seolah pamannya tahu semua apa yang di inginkannya.
Sungguh hidup Nadine seperti putri yang hidup dalam istana. Namun demikian Nadine tidak pernah bersikap sombong, penampilannya lebih cenderung sederhana dan selalu ramah dan perhatian terhadap orang-orang yang berada di sekelilingnya.
"Paman, di mana paman sekarang, pulanglah paman..hanya paman yang nadine punya." keluh Nadine sedih dalam hati.
Nadine bangkit dari tidurnya, dan mengambil dompet kecil dari tasnya. Di bukanya dompet kecil itu nampak sebuah foto orang tuanya dan foto paman Ardham.
Nadine sangat merindukan mereka. Orang tuanya..dan Pamannya Ardham.
Di pandanginya wajah tampan pamannya walau usianya sudah menginjak kepala tiga, masih terlihat gurat ketampannya, dengan matanya yang tajam, alis yang tebal, bulu mata yang lentik, serta rahang yang terlihat keras, serta bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahangnya, sungguh sangat sempurna ketampanan pamannya di mata Nadine.
Di usapnya berkali-kali foto paman Ardhamnya.
"Paman..pulanglah..apakah paman tidak rindu dengan tuan putrimu ini?" monolog Nadine sambil menatap foto pamannya.