Tadi, sebelum mereka pulang, Malika meminta izin pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah selesai, kemudian ia berpapasan dengan Yafizan di lorong istana hendak menuju ruang depan.
Yafizan mengalihkan pandangannya, tak suka. Rasa geram masih menyelimuti dirinya ketika ingat perlakukan Malika padanya sejak pertama kali bertemu.
Malika hendak tersenyum, namun diurungkannya karena pandangan tak suka Yafizan terhadapnya. Mereka pun berjalan saling melewati dan tak bergeming.
"Tunggu!" seru Yafizan. Malika menghentikan langkahnya, ia lalu membalikkan badannya.
"Apa yang kau lakukan sehingga ibuku sepertinya sangat menyukaimu?" tanyanya membuat Malika mengernyit heran.
"Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apapun," jawab Malika yang dibalas dengan pertanyaan.
"Dari pertama aku sudah merasa sial bertemu denganmu. Jadi, jangan membuat kesialan berkali-kali hanya karena ibuku baik padamu."
Ucapan Yafizan membuat hati Malika terkoyak. Bagaimana bisa dalam situasi sekarang mulutnya tetap berkata kasar. Malika menghampiri Yafizan, langkahnya terhenti tepat hanya sejengkal tangan. Malika mendongakkan wajahnya menatap Yafizan yang memang lebih tinggi darinya.
"K-kau mau apa?" Yafizan memundurkan badannya, tatapan Malika membuatnya gugup. Malika mengangkat tangan kanannya, refleks Yafizan menundukkan kepalanya seolah melindungi dirinya.
Yafizan terdiam, tatkala tangan kanan yang tadi diangkat Malika seakan ingin menghajarnya ternyata mengusap pelan rambut kepalanya. Ia pun melirik perlahan tangan yang sedang mengelus-ngelus kepalanya itu.
"A-pa yang kau..."
"Apa tadi sakit?" sambil masih mengusap. "Maaf, jika pukulanku tadi menyakitimu. Bukan maksudku bersikap tidak sopan dan kurang ajar padamu, Tuan Muda," sesalnya terjeda. "Seharusnya...bagaimanapun kau membenci sesuatu, apapun itu, jangan pernah berkata dengan kasar. Apalagi terhadap orang tuamu, terutama pada ibumu. Seharusnya kau bisa melihatnya, bagaimana sedihnya ibumu tadi. Padahal cake coklat buatan ibumu lezat sekali," tuturnya lembut membuat Yafizan terbuai.
Yafizan menatap Malika dalam, sejenak ia begitu hanyut akan ucapan demi ucapan yang Malika utarakan padanya. Malika tersenyum, saat mendapati Yafizan menatapnya. Senyuman itu meneduhkan hati siapa saja yang melihatnya. Ada perasaan sejuk hinggap di hatinya.
"Maaf, kalau pukulanku tadi membuat otakmu sedikit..." Malika menghentikan usapannya lalu jarinya memutar-mutar di kepalanya sendiri memperagakan sesuatu. Kakinya sudah tidak berjinjit lagi. Ia menatap Yafizan yang berdiri tegak menjulang membuatnya ia mendongakkan kepalanya.
"Apa maksudmu?"
Malika hanya tersenyum getir. Lalu pergi meninggalkan Yafizan yang masih berdiri dengan kesal.
"UGH!" Yafizan tersadar akan maksud Malika. "Kau fikir aku gila? HEI!! Gadis kerbau!!" teriaknya memanggil Malika, namun gadis itu hanya menoleh sedikit lalu tersenyum puas karena berhasil membuat tuan muda sombong itu kesal.
Tanpa mereka sadari, Miller memperhatikan tindakan mereka, membuat ia tak menyadari sudah mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.
***
"Kakak, kau menyakitiku," ucap Malika ketika Miller mencengkram tangannya dengan keras.
"Maaf." Miller melepaskan tangannya cepat.
Malika meringis mengusap pergelangan tangannya yang sudah memerah. Miller memperhatikannya, namun ia enggan bersimpati kepada calon istrinya tersebut. Gengsi.
Mayra memperhatikan sikap kakaknya yang tiba-tiba menjadi emosional. Entah kenapa hari ini, semua orang, termasuk kakak, kekasih bahkan ibu ratu dan tunangannya sendiri berempati pada Malika.
Bahkan kakaknya Miller, hari ini tiba-tiba melelehkan gunung es nya. Sepanjang perjalanan tadi Miller tak melepaskan tangannya melingkar pada pinggang Malika, bahkan ia mecengkram tangan Malika ketika turun tadi dari kereta kudanya seakan tak ingin melepaskan wanitanya.
Malika mengerucutkan bibirnya karena sikap Miller berubah seperti biasanya. Padahal, tadi ia sudah merasa senang ketika Miller memeluk pinggangnya dan tak melepasnya.
Karena hari sudah malam, mereka pun beristirahat.
Masih terngiang jelas kata-kata terakhir Malika tadi. Sempat kesal namun berakhir dengan menyunggingkan senyuman di bibirnya. Hal serupa juga dirasakan oleh Miller yang sejak ia melihat sisi lain dari Malika yang tanpa mengikuti jejak Mayra. Wajah mungil bulatnya itu terlihat begitu cantik dalam balutan rambut ikal panjangnya yang menjuntai mengikuti gerak tubuhnya. Serta ungkapan perasaan yang Malika ucapkan tadi membuat hatinya sedikit tergerak untuk mencoba menerimanya.
Yafizan tampak merenung dalam keremangan kamar tidurnya. Ia menerawang langit-langit kamarnya.
Ciuman hangat tadi membuat jantungnya berdegup kencang. Ia menepis semua bayangan tadi siang yang ia lewatkan karena Malika. Mencoba menyangkal, namun tak dapat ia pungkiri jika hatinya menghangat. Dipandanginya kembali telapak tangannya. Telapak tangan yang tadinya memerah berubah menjadi biru yang menyejukkan.
Lagi, ia tersenyum sendiri mengingat kejadian konyol yang menimpa dirinya hari ini.
***
Hari-haripun berlalu. Kini mereka sering bertemu dan berkumpul bersama.
Tak ada lagi yang istimewa dari perlakuan Yafizan terhadap Mayra, tak pula ia berurusan dengan Malika, pun sebaliknya.
Malika hanya datang ketika ibu ratu mengundangnya. Ia lebih akrab dengan ibu ratu daripada yang lain. Ibu ratu yang begitu menyanyangi Malika daripada Mayra menimbulkan rasa iri yang membuatnya berubah menjadi berhati dengki terhadap Malika. Bahkan kini, Mayra jadi lebih sering menghabiskan waktunya bersama Erick. Seolah tak ingin melepaskan Erick karena Erick pun, sama respect-nya terhadap Malika.
Sikap Miller pun masih saja sama memperlakukan Malika, walaupun sebenarnya dalam hatinya ia ingin mencoba menerima perjodohannya. Hanya karena gengsi, ia masih memperlkukan Malika seolah tak peduli.
Mayra tak peduli lagi akan pertunangannya. Yang ia butuhkan sekarang adalah bisa bersama pria yang dicintainya hingga akhirnya Miller pun mengetahui kisah asmara yang terjalin antara mereka berdua.
Hingga suatu masa ketika ia berkencan dengan Erick kekasihnya dan Yafizan mendapati kisah cinta mereka.
Merasa terkhianati, akhirnya mereka bertempur dan mengakibatkan dua perempuan itu meninggal.
***
Suara teriakan serta darah yang memuncrat dari mulut membuat Soully membuka matanya.
Nafasnya terengah setelah mendapati dirinya tertidur di bawah lantai yang dingin. Seluruh badannya remuk dan terasa sakit. Dilihatnya jam pada layar ponselnya. Sudah pukul 06.00, dan semuanya masih sama. Tak ada satupun pesan yang terbaca.
Ia lalu teringat akan mimpi yang dialaminya. Namun, memorinya sulit mencerna. Yang ia rasa, mimpi itu begitu nyata dan lama, seakan bertahun-tahun lamanya ia berada di alam itu.
Soully mengacak rambut kepalanya. Hingga akhirnya setelah menenangkan diri, ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Suasana sudah mulai ramai. Acara reality show yang diselenggarakan berjalan dengan lancar. Kesibukkan membuat Soully sedikit melupakan masalahnya. Walaupun sesekali ia terus mengecek ponselnya, masih bertanya-tanya ke mana suami dan asistennya itu pergi?
Waktu terus berganti, ini sudah hari ke tujuh Soully menunggu. Mau melapor kantor polisi, ia sendiri juga bingung, sebab tak ada tanda-tanda penculikan atau hal yang mencurigakan.
Selama satu minggu ini pun Miller terus menemaninya, walaupun dibalas sikap acuh tak acuh oleh Soully. Miller memakluminya. Walaupun ia berjuang dengan susah payah untuk memenangkan hatinya yang terasa disayat sembilu.
Inikah yang Malika rasakan ketika ia menerima sikap dingin dan tak menerima kehadirannya dari dariku, dulu?
Miller memejamkan matanya, menghela nafas dalam. Terbayang kembali masa-masa itu ketika ia mengabaikan calon yang seharusnya menjadi jodohnya, istrinya.
Hatinya merasa sakit ketika ia mempunyai perasaan ingin memiliki disaat terakhir Malika pergi meninggalkannya selama-lamanya. Terlambat sudah.
Hatinya seketika menggelap saat teringat yang membuat Malika meregang nyawa karena kekuatan super yang terhempas dari tangan sahabat, calon adik ipar dan kini bahkan menjadi suami dari perempuan yang dicintainya kini.
Walaupun Soully bukan Malika seutuhnya, namun ia yakin dalam diri Soully ada jiwa Malika yang mengikat bersamaan dengan jelmaannya yang sekarang.
Miller membuka matanya seketika, menguarkan aura membunuh yang kuat. Ia mendongakkan pandangannya ke arah jendela teratas appartement yang Soully tempati. Lampu ruangannya menyala, Miller mensyukuri Soully pulang dengan selamat.
Tadi, ketika jam pulang kerja selesai, ia hendak mengantarkan Soully untuk pulang. Namun, perempuan mungil yang sok kuat itu lagi-lagi menolak tawarannya. Hingga akhirnya Miller memutuskan untuk mengikutinya diam-diam. Hal itu ia lakukan selama satu minggu ini.
Soully berjalan kaki menuju apartemennya karena memang jarak dari perusahaan ke apartemennya tak begitu jauh. Lumayan memakan waktu memang karena jika menggunakan mobil pribadi hanya membutuhkan waktu 20 menit saja untuk sampai. Tapi jika dengan berjalan kaki, mungkin membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit bahkan hampir satu jam jika ia berjalan ala santai seperti yang Soully lakukan selama seminggu ini.
Dengan langkah gontai, Soully menyusuri jalan setapak demi setapak trotoar yang ber-pavingblock design unik dengan pepohonan rindang dan pemandangan pinggiran kota metropolitan yang selalu indah terang benderang dengan lampu warna warni yang muncul ketika malam hari telah tiba.
Soully menyukai hal itu karena sungguh menghibur hatinya yang sedang lara. Berharap ketika ia berjalan mendapat petunjuk atas hilangnya suami dan asistennya itu.
Bayangan demi bayangan yang terlintas semenjak mimpi anehnya itu selalu muncul setiap malam. Bahkan ketika ia berjalan seperti saat ini pun, bayangan mimpinya selalu menghantuinya.
Siapakah perempuan yang memuntahkan darah lalu meninggal dalam mimpinya itu? Rasanya seperti dirinya...
Benak Soully terus bertanya sampai ia harus menahan rasa sakit di kepalanya yang dipaksakan untuk mengingat. Yang jelas ada rasa sakit yang menggelitik rongga dadanya. Saat ia berusaha mengingat, sungguh ada perasaan yang membuat dirinya dicintai sekaligus tersakiti di relung hatinya yang bagaikan terabaikan oleh seseorang yang ia kagumi.
Setiap kali ia mengingat itu, Soully selalu memegang dadanya. Sambil meremas bagian dadanya yang sakit, Soully selalu duduk di dekat taman pinggir kota lalu menarik nafasnya dalam-dalam hanya untuk menstabilkan hati, fikiran bahkan keseluruhan dirinya sendiri.
Kenapa sebenarnya dengan dirinya?
Di saat itu pula, dari kejauhan Miller yang selalu khawatir tak bisa menjangkaunya lebih dekat. Karena ia tahu, Soully pasti takkan mau Miller menghampirinya. Seandainya Soully tahu, betapa cemasnya Miller saat ini. Maka hari demi hari, setiap pulang kerja, ia pasti akan mengikuti Soully dan memantaunya dari kejauhan. Bahkan Miller tahu, di tempat ini Soully selalu terlihat pucat dan kepayahan karena seolah menahan rasa sakit. Ia khawatir jika Soully mengalami mimisan ataupun tantrum mengingat kondisi sistem imun tubuhnya pasca kecelakaan yang menimpanya. Namun, ia tak berani bertekad hanya untuk menenangkan perasaan perempuan yang sedang diamatinya dari kejauhan.
Lampu apartementnya menggelap. Dan Miller akan selalu pergi ketika melihat cahaya lampu yang terang itu berubah menjadi gelap. Soully, sudah tidur...
***
Bersambung...
Jangan lupa like sm Votenya lhooo
Makasii 😘