"Silahkan, cicipilah dan nikmati semua hidangan ini?" titah ibu ratu mempersilahkan orang-orang yang sudah duduk di tempat duduk masing-masing untuk makan bersama.
Mata ibu ratu masih tertuju kepada gadis cantik nan mungil yang baru ditemuinya. Diliriknya kembali putranya yang sedang sibuk dalam fikirannya sendiri. Malika duduk tepat di sebelah Yafizan. Merasa canggung karena duduk di samping lelaki yang sangat menyebalkan baginya. Sesekali mereka beradu pandang dan saling mengejek dengan pandangan mata.
Ibu ratu tersenyum melihat tingkah laku mereka yang kekanak-kanakan.
Mayra menjamu ibu ratu dan Yafizan dengan baik. Sikap dan aturan tata krama yang diajarkan padanya menuntunnya menjadi wanita bangsawan yang berpendidikan tinggi dan bermartabat.
Tak lepas dari itu semua, ia lebih memperhatikan Erick dari pada tunangannya sendiri yang memang duduk tepat di depannya. Yafizan berbinar seolah ingin diperhatikan lebih. Matanya tak lepas memandangi, ia sangat mengagumi kecantikan calon istrinya yang terlihat lebih dewasa dan lebih elegant. Ia menatap penuh kagum dan bangga karena teman semasa kecilnya itu kini akan menjadi istrinya.
Tak disangka-sangka memang, namun begitulah takdir menuliskan nasibnya saat ini.
Malika menikmati makanannya, disela-sela makannya ia menatap mata penuh cinta dari pria yang sedang duduk di sebelahnya, bergantian ia menatap Mayra yang matanya tak pernah mempedulikan pria yang sangat mengharapkannya. Tatapan hangatnya hanya tertuju pada Erick, sang kekasih sesungguhnya di hati Mayra.
Sungguh ironis, Tuan Muda ini. Nasibnya tak jauh berbeda dengannya. Mencintai tapi tak dicintai.
Cinta memang mempunyai porsi dan kadarnya masing-masing.
Disela-sela menikmati hidangan, datanglah seorang pengawal memberitahu kedatangan seorang tamu lagi. Miller, pria itu tiba dengan gagahnya. Memberi senyum manis dan hangat menyapa orang-orang yang sedang menikmati makanannya masing-masing. Tak segan ia memeluk ibu ratu yang dianggap sebagai ibunya sendiri. Lalu ia memeluk dan mencium sayang adiknya, menyapa Yafizan dan Erick yang memang sahabat kecilnya.
Miller mendudukan diri di sebelah Erick. Ia masih tak bergeming dengan gadis yang ada di hadapannya itu yang terlihat menunduk takut. Tadi, ketika Malika melihat Miller berjalan memasuki ruang makan, buru-buru ia mengalihkan pandangannya, menunduk seolah tak ingin ketahuan. Apalagi mengingat tampilannya yang sedang berantakan menurutnya. Refleks jemarinya memegang rambut ikal panjang yang jatuh tergerai indahnya tanpa dihias cantik seperti Mayra adiknya. Padahal, Malika lebih senang jika rambutnya terurai seperti itu. Namun, demi mengundang rasa kagum calon suaminya yang begitu mengagumi sosok adiknya itu, maka ia rela berdandan seperti Mayra. Bahkan Yafizan tunangan Mayra pun, menyukai perempuan yang seperti Mayra.
Aku ingin menjadi diriku sendiri...
"Ada angin apa kau tiba-tiba datang ke sini?" tanya Yafizan sinis, sudah memang gaya bicaranya seperti itu.
"Aku dengar adikku datang berkunjung." Miller tersenyum penuh ironi, tangannya disibukkan mengambil makanan yang terhidang di atas meja.
"Jangan seperti itu, Nak. Bagus jika Nak Miller datang, suasana menjadi semakin ramai," tukas ibu ratu.
Yafizan memutar bola matanya jengah. Ibu ratu hanya tersenyum melihat kelakuan putranya. Lalu, ia menyodorkan cake coklat buatannya yang tak pernah lagi sedikit pun di cicipi oleh putra semata wayangnya itu. Padahal, dulu ia sangat menyukai cake coklat buatan ibunya.
"Sudah aku bilang, Bu. Aku tidak menyukai kue itu!" ucapnya dengan nada sedikit meninggi.
"Coba cicipilah, Yafi. Ibu sudah membuatnya spesial untukmu. Bukankah kau dulu sangat menyukainya?" ujar Mayra.
"Aku bilang tidak ya tidak! Lagi pula, kenapa ibu selalu memaksaku memakan makanan manis seperti itu?! Itu hanya makanan sampah yang tak seharusnya dihidangkan di sini!" bentaknya membuat ibu ratu memasang raut kekecewaan.
TAKK
Sebuah tangan memukul kepala yang mengeluarkan kata-kata pedas itu. "AKH, apa-apaan ini?!" sengit Yafizan memegang kepalanya. Lalu, ia menoleh pada orang yang telah lancang memukul kepalanya dengan sembrono dan tanpa rasa takut, matanya melotot tajam.
Semua mata tertuju padanya. Malika sangat tak suka jika ada orang yang berbicara tidak sopan. Ia membalas tatapan mata yang melotot padanya.
"Kurang ajar sekali KAU!" bentak Yafizan.
"KAU yang kurang ajar! Jaga cara bicaramu itu, apalagi pada ibumu!" balas Malika tak kalah sengit.
"Dasar Kerbau!" Yafizan mendengus kesal.
"Kau yang Kerbau! Dasar Banteng!"
BRAKK
Yafizan menggebrakkan kepalan tangannya ke atas meja hingga makanan yang terhidang ikut bergetar karena kerasnya ia memukul meja makan tersebut.
Malika membalas menggebrak meja walau tenaganya tak sekuat pukulan Yafizan tadi, tapi cukup membuat semua orang terbelalak kaget, tak ada satupun yang menyela perdebatan dua anak manusia yang baru bertemu itu. Mereka menghentikan menyantap makanannya.
Mayra hanya menggelengkan kepalanya, lalu dengan mata terpejam, ia menunduk, malu.
Erick hanya menyunggingkan senyuman tulusnya melihat tingkah Malika yang menurutnya menggemaskan. Tanpa ia sadari, dirinya pun merasa kagum pada Malika.
Sedangkan Miller belum menyadari jika perempuan yang ada di hadapannya ada calon istrinya. Karena gaya rambut yang terurai indah serta riasannya yang tak seperti biasanya. Malika terlihat pangling, sehingga ia berfikir Malika adalah kerabat dekat keluarga Yafizan yang belum diketahui olehnya.
Hingga seketika tawa ibu ratu menggema di ruangan makan tersebut. Semua mata tertuju padanya. Setelah sekian lamanya, mereka melihat ibu ratu tertawa lepas dengan penuh kebahagiaan yang tak dibuat-buat.
"Haha...sungguh lucu sekali calon istrimu itu, Miller," ucap ibu ratu dalam tawanya.
Tawa ibu ratu menular. Erick pun ikut tertawa melihat tingkah Malika. Mayra melihat tawa Erick yang lepas itu baru ia rasa setelah sekian lamanya mereka bersama, tawanya itu, tanpa beban.
Miller membelalakkan matanya tak mengerti. "Calon istri? Apa maksudmu, Bu?"
"Iya, calon istrimu. Dia!" tunjuk ibu ratu menggunakan dagunya, masih tertawa.
Miller menatap perempuan yang memang sangat cantik menurutnya. Ia terkagum. "Apa maksud ibu, kau menjodohkan aku dengannya? Dia kerabat ibu dari mana?"
"Haha, apa maksudmu dengan kerabat? Bukankah dia memang calon istrimu?"
Malika menunduk takut, tak berani menatap pria yang duduk di seberangnya. Ia tahu jika Miller pasti akan memarahinya dan semakin membencinya.
Miller menatap tajam, menelisik dari atas hingga ke wajah. Wajah itu memang sangat familiar, namun terasa begitu cantik karena rambut ikal itu tergerai sangat indah.
"Ma-lika?" tanyanya ragu. Malika mengangkat kepalanya perlahan lalu menyeringai yang dipaksakan.
"Kakak...hehe..." Malika tersenyum miris.
"Kau?" Miller tak percaya. Ia salah tingkah dibuatnya sekaligus campur aduk harus bersikap apa.
"Dari mana kau mendapatkan calon istri seperti ini? Sungguh tak berpendidikan," cibir Yafizan.
Malika langsung menginjak kaki Yafizan dengan keras sehingga Yafizan meringis kesakitan.
"Malika!" bentak Miller. Ia merasa malu. "Maaf atas sikapnya, Yafi."
"Haha, tak apa-apa Miller. Yafi memang perlu diberi pelajaran sekali-kali," sahut ibu ratu yang semakin tertawa renyah.
"Ibu, kau..." Yafizah merasa jengah akan sikap ibunya yang tak membelanya. "Sebaiknya kau cepat bawa gadis kerbau ini pulang, Miller," perintah Yafizan kesal.
"Maafkan, aku. Aku akan segera membawanya pulang." Miller menundukkan badannya meminta maaf, Malika semakin tak enak.
"Tidak, tidak!" Malika beranjak dari tempat duduknya. "Ini salahku. Aku sudah bersikap tak sopan pada...Tuan Muda," bantah Malika meminta maaf. "Maafkan aku." Malika menundukkan setengah badannya.
"Sudah, sudah. Tak perlu meminta maaf. Sungguh hari ini sangat menghibur," tutur ibu ratu.
Yafizan tak menatap Malika yang meminta maaf padanya. Malika pun pamit karena Miller sudah menarik lengannya, mengajaknya untuk pulang. Namun, langkah mereka terhenti ketika ibu ratu berseru.
"Biarkan Malika tinggal dulu di sini. Kau teruskan saja makanmu, Nak. Aku ingin ditemani Malika dulu. Boleh, kan?" pinta ibu ratu.
Malika menatap Miller seolah meminta izin. Lalu Miller mengiyakan keinginan ibu ratu.
"Kenapa kau harus ditemani gadis kerbau ini, Bu? Ada Mayra di sini, dia bisa menemanimu," tanya Yafizan.
"Malika adalah teman baruku. Dan Mayra, sebaiknya kalian habiskan waktu bersama," jawab ibu ratu. "Malika, kemarilah, Nak..." ajak ibu ratu membawa Malika pergi.
Dengan canggung Malika mengikuti langkah ibu ratu. Ibu ratu masih menyunggingkan senyuman di bibirnya sehingga raut wajah yang tadinya sendu itu kini terus berbinar bahagia. Dengan diikuti dayang, mereka kini duduk di paviliun taman dekat kolam yang menyegarkan.
"Kue coklat ini sungguh sangat lezat sekali. Kenapa Tuan Muda tidak menyukainya?" tanya Malika dengan mulut yang masih mengunyah kuenya.
"Dia sangat menyukainya," tutur ibu ratu menghela nafas. "Tapi dulu."
"Kenapa?" tanya Malika dengan polosnya. Ia tak memandang ibu ratu sebagai orang yang harus disegani. Tapi tidak terlepas dari rasa kesopanannya untuk menghormati orang tua. Malika masih terus mengambil cake coklat dan terus menikmatinya. Ketika ia merasa ibu ratu belum menjawab dan memandangnya. "Maaf." Malika mengurungkan niatnya mengambil cake coklatnya lagi.
Ibu ratu tertawa. "Ambillah. Makan sepuasmu."
"Terima kasih." Malika berbinar.
"Yafi tidak menyukainya karena sakit gigi yang dideritanya selama sepekan waktu ia berusia 10 tahun. Gigi gerahamnya berlubang setelah memakan kue itu. Padahal, bukan karena dasarnya itu. Dia memang suka makanan yang manis-manis. Kebetulan saja, terakhir kali ia memakan cake coklat itu," cerita ibu ratu.
Malika hanya menganggukkan kepalanya saat mendengar cerita ibu ratu, ia masih menikmati makanannya. Ibu ratu tersenyum melihat kepolosan gadis yang baru ditemuinya itu. Ada perasaan bahagia dikala ia melihatnya. Rasa sayang pun mulai timbul, melebihi cinta kasih kepada calon menantunya sendiri, Mayra.
"Dari mana kau berasal, Sayang? Dan bagaimana kau bisa menjadi calon istrinya Miller?" tanya ibu ratu.
"Aku dari negeri seberang. Orang tua kami yang menjodohkannya," jawab Malika.
"Kau senang dengan perjodohan ini?"
"Sangat. Kapan lagi aku mempunyai calon suami yang sangat tampan." Malika berbinar senang.
"Apa Miller pun demikian? Apa dia memperlakukanmu dengan baik? Apa dia mencintaimu?" pertanyaan ibu ratu membuat Malika membungkam. Seketika tatapannya menjadi sendu.
Tanpa sepengetahuan dua orang yang sedang mengobrol itu, seseorang berdiam diri mendengar obrolan mereka tanpa sengaja. Ketika itu dirinya hendak mengajak Malika untuk pulang. Ketika dirasa Malika takkan menjawab pertanyaan ibu ratu, ia hendak meneruskan kembali langkahnya. Namun, langkahnya terurungkan ketika tanpa diduganya Malika menjawab serta menyatakan perasaannya dengan tulus.
"Mungkin saat ini Kak Miller belum menerimanya. Tapi aku yakin dia akan membalas perasaanku ini. Dan kuyakin, kelak dia akan mencintaiku sepenuhnya. Karena dia adalah pria yang baik. Dia juga akan menjadi suami yang baik untukku."
"Kau sungguh gadis yang baik. Miller beruntung memiliki calon istri yang cantik dan baik sepertimu. Akan sangat menyenangkan jika aku mempunyai menantu sepertimu."
Miller mengepalkan tangannya, ia menghela nafas dengan dalam ketika mendengar ucapan Malika. Hatinya terasa hangat namun ia menepisnya.
***
Tak terasa hari mulai petang. Banyak cerita serta obrolan yang mereka perbincangkan.
Miller, Mayra, Erick dan Malika pamit pulang.
Yafizan masih ingin berdekatan dengan tunangannya. Karena selama ini Mayra selalu menghindar darinya. Pun, saat ia diberi kesempatan untuk melepaskan kerinduannnya dengan Mayra, Mayra malah disibukkan berbincang dengan Erick tanpa mempedulikan dirinya. Yafizan pun merasa diabaikan.
Dan kini, tatapan kerinduan tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam relung hatinya ketika ia menatap Malika pergi menjauh dari pandangannya. Miller memandang tidak suka, ia merengkuh tubuh Malika dengan melingkarkan tangannya pada pinggang Malika dengan sikap yang possesif, menunjukkan kalau ia adalah pemiliknya.
***
Bersambung...