Sisa hari itu dihabiskan oleh Bima dengan hati yang ciut. Bima dengan rasa takut dan panik yang dipendam, tetap memberanikan diri untuk membersihkan ruangan tengah dan dapur di lantai satu.
Selama proses membersihkan tersebut, Bima enggan untuk menoleh ke sekelilingnya. Hanya memfokuskan mata ke bawah saja.
Pada saat itu juga, dia mempelajari kalau di rumahnya itu terdapat lima hantu yang bergentayangan. Si Kunti yang ditemui Bima di kamar adalah yang pertama. Hantu anak laki-laki merupakan yang kedua.
Berikutnya, Bima menemukan sesosok pocong yang berdiri bagai patung di sudut dapur. Pocong tersebut melotot ke depan. Tidak berkedip tidak juga melirik ke sana kemari. Betul-betul seperti patung hiasan. Tapi membuat hati risih ketika dirinya membersihkan dapur, karena seperti terus dipelototi.
Untuk yang keempat dan kelima. Bima belum bertemu dengan kedua sosok ini. Si Kunti berkata kalau keduanya lebih sering berada di luar.
Satu hantu perempuan berada di atas pohon mangga dan satu sosok hantu kakek, biasa berdiri di tengah halaman belakang pada malam hari.
Ketika malam tiba, sejujurnya Bima sudah terbiasa dengan kehadiran sosok hantu di sekitarnya. Si Kunti dan bocah lelaki itu selalu mengikuti serta menyaksikannya dari jarak jauh.
Mereka diam tidak berniat mengganggu, meskipun diamnya mereka itulah yang membuat perasaan Bima kurang nyaman.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya. Bima langsung pergi ke kamar utama. Sebenarnya dalam rencana awal, Bima ingin membersihkan kamar mandi di lantai satu.
Hanya saja, melihat hari yang telah malam. Dia urungkan niatnya, cerita tentang hantu di kamar mandi selalu santer terdengar di manapun. Walau si Kunti berkata kalau tidak ada apa-apa di dalam sana, memangnya Bima mau mempercayai omongan dari sosok hantu?
Daripada mengambil resiko jantungnya copot. Bima memilih tidur. Tanpa mandi? Dia tidak peduli! Dia hanya ingin malam segera berakhir. Suasana sunyi malam hanya memberikan rasa teror yang semakin menjadi baginya!
Setelah mengganti baju. Bima menaiki tempat tidurnya. Dia menatap ke langit-langit, masih dengan kacamata di wajahnya.
"..."
Bima merasakan ada orang yang memperhatikannya. Dia lirikkan matanya ke arah pintu yang tertutup.
Di sana, menembus pintu. Dua kepala memandangi dirinya yang sedang terbaring. Si Kunti dan bocah laki-laki.
Oh! Ngomong-ngomong, pada awalnya bocah laki-laki itu disangka Bima sebagai tuyul. Namun bocah itu seketika menangis, dan si Kunti menjelaskan kalau bocah itu bukanlah tuyul.
Lagipula, hantu perempuan itu memberitahu kalau yang namanya kuntilanak, tuyul hingga pocong itu hanyalah klasifikasi yang dibuat oleh manusia. Pada dasarnya semua hantu adalah sama, arwah penasaran yang keluar dari raganya. Bentuk dari hantu biasanya mencerminkan saat-saat terakhir dari sosok tersebut ketika hidup.
Kini melirik ke sosok dua hantu yang mengintipnya tidur. Bukannya takut, Bima malah kesal.
"Apa lagi? Apa kurang cukup menontoniku seharian?!"
"Hmm, karena di sini tidak ada hiburan lain," jawab si Kunti.
"...apa penampakan hantu yang sering tertangkap kamera itu adalah hantu yang kurang hiburan?"
"Kebanyakan seperti itu. Tapi ada sebagian kecil yang tidak. Mereka yang menampakkan diri untuk mengambil nyawa memang ada."
"..."
Bima mengutuk dalam dirinya. Dia lalu membuka kacamatanya. Bagai suatu keajaiban. Matanya tidak dapat lagi melihat yang mengintip dan juga mendengar suara dari para sosok astral tersebut.
Laki-laki itu merasa lelah secara fisik dan juga mental. Membuatnya seketika menutup mata, dirinya langsung terlelap dalam pelukan kasur.
Tidur malam itu dilaluinya tanpa ada mimpi dan juga mimpi buruk. Sungguh melegakan.
Pada pagi harinya. Suara siul burung yang bertengger di pohon-pohon sekitaran rumah membangunkan Bima. Kedua matanya terbuka secara perlahan, menatap langit-langit yang tampak asing. Sebelum akhirnya sadar kalau dia sudah tinggal di tempat baru.
Sadar dan mengingat kejadian yang tidak ingin diingatnya.
Bima pandangi langit-langit itu dengan seksama. Setelah dipandangi terus menerus oleh sosok astral kemarin, entah mengapa dirinya dapat merasakan bila ada sosok lain yang sedang memperhatikannya.
Bima raih kacamata di nakas tanpa memalingkan muka. Memakainya, dan melihat wajah dari hantu perempuan yang busuk itu berada tepat di depan wajahnya, sekitar tiga puluh senti jaraknya.
"Anjir!"
Bak!
Secara refleks Bima meninju kepala dari hantu perempuan tersebut.
"O my god! Bisakah kau berhenti melakukan hal seperti itu? Aku tidak mau menjadi penunggu di sini gara-gara jantungan!"
Bima bergerak duduk dari posisi terbaringnya, memegangi dada di mana telapak tangannya bisa merasakan detak jantung yang memukul-mukul dari dalam.
Dia tenangkan dirinya, tidak memedulikan hantu perempuan yang tersungkur di lantai. Tampaknya setelah pengalaman kemarin dan tidur lelap semalaman. Bima kini sudah terbiasa dengan rasa takutnya.
Meskipun dia kaget melihat sosok perempuan yang tiba-tiba ada di depannya. Tapi tubuhnya sudah lagi tidak merasa kaku atau merinding.
'Kemampuan adaptasi manusia mengerikan sekali...'
Pikirnya yang seraya turun dari tempat tidur. Lalu turun ke lantai pertama. Sebelum menuruni tangga, dia melihat sosok bocah laki-laki yang sepertinya sedang berbicara dengan tangannya sendiri.
Bima hiraukan pemandangan itu lalu pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Dia telah membeli beberapa bungkus mie instan dan beberapa makanan kaleng yang mudah dibuat.
Namun ketika dia baru saja melangkah masuk ke dapur. Jantungnya sejenak terasa berhenti. Sosok pocong di sana, sepertinya masih membuat hatinya kurang enak.
Bima semerta ragu untuk memasak di dapur.
"Mmm, mari cari makanan di luar."
Gumamnya, berbalik 180 derajat. Bergegas mengambil jaket, ponsel dan dompetnya lalu keluar dari rumah.
Di halaman depan, mungkin karena rasa penasaran, Bima menoleh ke arah pohon mangga.
'Tidak ada.' Pikirnya yang seraya melanjutkan keluar gerbang.
Sepanjang perjalanan mencari makanan. Bima semerta menyesali pergi mengenakan kacamata bulat misterius, karena dia dapat melihat beberapa sosok aneh di sudut-sudut jalan. Ada yang bentuknya tidak berupa, ada yang hanya kepala saja, ada pula yang persis seperti manusia biasa.
Salah satu hantu yang benar-benar seperti manusia itu dia temui di tempat sarapan yang dipilihnya. Tukang bubur di pinggir jalan raya.
Gerobak bubur itu berada di samping sebuah tiang listrik. Tempatnya penuh, lalu pada saat satu kursi kosong, si Tukang Bubur mempersilahkan Bima untuk duduk, toh dia bakal makan di tempat.
Namun karena merasa kurang nyaman mendahului, Bima mempersilahkan seorang wanita paruh baya yang bersandar di tiang listrik untuk duduk duluan. Karena meyakini kalau wanita itu telah datang duluan.
Hasilnya... Bima mendapatkan tatapan sinis dan curiga dari orang-orang di sana.
"Bicara sama siapa, Mas?"
"..."
Bima terdiam seketika. Dia melirik ke arah wanita yang bersandar di tiang listrik. Wanita itu menatap Bima dengan tatapan penuh ketertarikan.
"Kau bisa melihatku?"
'...annjingggg!'
Dalam hati Bima berteriak, mengacuhkan pertanyaan dari tukang bubur dan hantu perempuan, Bima langsung meminta buburnya dibungkus saja.
Dia ingin segera enyah dari tempat tersebut. Tatapan curiga dari para pelanggan lain sungguh menusuk hati.
Setelah menerima pesanan buburnya. Bima mulai berjalan kembali ke rumahnya. Dia mendesah panjang, merasa kalau membersihkan rumah itu sendirian mungkin akan jauh lebih melelahkan dari dugaan. Lelah bagi mentalnya!
Bima pun mengeluarkan ponselnya. Mencari salah satu kontak temannya yang ada di aplikasi chatting, lalu menelponnya.
Bunyi dering terdengar berkali-kali sebelum akhirnya diangkat.
[Mm, hlo...?]
Suara seorang lelaki yang tampaknya baru bangun semerta terdengar.
"Rezeki akan terlewat bila kau tak menemani mentari pagi."
[Ugh, apa yang kau katakan ini? Otakku malas berpikir... ada apa, Bim?]
"Sigh, kau ada di kosan?"
[Mm.]
"Bangun. Aku sudah di Waringin. Bantu aku bersihkan rumah."
[...ogah.]
"Kutraktir makan."
[Pagi siang malam?]
"Makan pagi sudah lewat."
[Aku belum makan. Laparrrr~]
"...oke."
[Huhu, you are the best! Kirimi aku alamatnya. Sekarang bakal langsung mandi terus pergi.]
Bima menutup panggilan. Dia lalu melihat ke bubur yang ada di kresek. Mendesah pelan, dia kembali ke tempat bubur tadi dan memesan satu lagi, tentu dibungkus!
Pada saat Tukang Bubur menyerahkan pesanannya. Dia merangkulkan tangannya di leher Bima. Lalu berbisik bertanya.
"Hei, tadi kamu ngomong sama siapa?"
"..."
Mendengar pertanyaan tersebut, Bima langsung melirik ke Tukang Bubur dengan curiga. Dia melihat tatapan penuh rasa penasaran dari mata berbinar si Tukang Bubur.
Ditambah... sosok wanita yang berdiri di belakang Tukang Bubur pun memberikan tatapan yang sama, membuat Bima ragu untuk menjawab dengan jujur. Jadi, Bima pun memilih memberikan alasan...
"Dengan tiang listrik!"