webnovel

10. Tawaran Kencan

Berlian duduk di hadapan pria yang tengah memakai kemeja biru laut dengan lengan yang digulung sebatas siku. Gadis itu menatap lekat ke arah Bara, begitu pun dengan Bara. Sudah lima menit mereka saling berpandangan, tapi dari mereka tidak ada yang mau membuka suaranya.

Bara mengetuk-ketukkan ujung jarinya ke meja, pria itu tengah mengamati Berlian yang sepertinya tidak terlalu fokus. Bara menggeser bolpoin di saku kemejanya ke arah pinggir. Hal itu ditangkap penglihatan Berlian. Dengan spontan Berlian berdiri dan menerjang tubuh Bara.

Bara membulatkan matanya tatkala wajah keduanya hanya berjarak beberapa centi. Berlian menarik bolpoin Bara dan meletakkan tepat di tengah saku. Setelah selesai, gadis itu segera menjauhkan tubuhnya. Berlian berdehem kecil, sedangkan Bara menegakkan tubuhnya.

"Letakkan bolpoin di tempat yang benar!" ucap Berlian.

"Ini juga benar," jawab Bara menggeser kembali bolpoinya. Berlian ingin kembali membenarkan, tapi Bara mencegahnya.

"Duduk!" titah Bara menunjuk kursi yang ada di depannya.

"Tapi-"

"Duduk, Berlian!" titah Bara dengan tegas.

"Hahahaha ...." Berlian tergelak mendengar perintah Bara. Gadis itu tertawa kencang membuat Bara mengerutkan dahinya.

"Selama ini tidak ada yang berani menggertakku. Kamu juga tidak bisa-"

"Aku dokter kamu, kamu di bawah kendaliku. Sekarang duduk atau keluar dari sini," sela Bara dengan cepat.

"Aku yang sudah membayarmu."

"Kamu membayarku karena kamu mau sembuh. Kalau kamu hanya main-main-"

"Baik, aku duduk," sela Berlian menghentakkan kakinya. Berlian mengambil duduk dan duduk dengan tenang.

Tidak sepenuhnya tenang, karena mata gadis itu masih menatap Bara dengan tajam, dan tangannya yang terus bergerak memukul-mukul kecil tangan kursi.

Bara menarik napasnya dalam-dalam sebelum mendekati Berlian. Pria itu sudah menguatkan mentalnya untuk menghadapi gadis di depannya itu. Gadis yang pura-pura kuat di balik segala macam masalah yang dihadapi. Bara duduk di meja depan Berlian, pria itu memasukkan kedua tangannya di saku celananya.

"Berlian, aku tahu reputasi kamu seorang CEO. Kamu mungkin lelah harus jaga image baik kamu, lelah dengan segala kepura-puraan yang kamu jalani, ingin melepas semua tanggung jawab kamu, ingin bebas, ingin menjadi diri kamu sendiri. Selain hal itu, apa yang kamu inginkan?" oceh Bara.

Berlian memutar bola matanya jengah, gadis itu ingin bersuara. Namun terhenti saat Bara menarik kaki kursi hingga mendekat ke arahnya. Berlian yang turut mendekat pun tersentak kecil. Tubuh Berlian dan tubuh Bara tidak lebih dari tiga puluh centi meter, Berlian tidak bi

"Berlian, acapkali kamu gelisah kamu selalu meminum obat penenang. Tidak pernah kah sedikit saja kamu bosan?" tanya Bara lagi. Berlian berpikir sejenak, gadis itu berdehem kecil dan menganggukkan kepalanya.

"Pejamkan matamu!" titah Bara. Kalau dengan Dokter Ayu, harus ada perdebatan dan adu kekuatan dulu baru Berlian mau menuruti. Namun sekarang tanpa Bara berucap dua kali, Berlian sudah memejamkan matanya.

Bara mengambil mp3 dalam saku celananya, pria itu memasangkan headset pada telinga Berlian. Berlian tetap memejamkan matanya, sampai telinganya mendengar suara gemericik air yang sangat lembut.

"Dengarkan baik-baik, rasakan kamu tengah berada di alam yang bebas, tempat hijau, kamu duduk di tengah-tengah, menikmati pemandangan yang indah. Tidak ada rapat, tidak ada berkas yang kamu tanda tangani dan tidak ada yang perlu kamu lakukan. Yang kamu lakukan hanya duduk diam," ujar Bara dengan pelan.

Berlian semakin tenggelam dalam alunan gemericik air yang merdu, napas gadis itu lambat laun teratur.

"Tidak ada manusia yang harus sempurna melakukan sesuatu. Rasa perfectionist hanya timbul pada orang-orang yang butuh pengakuan. Kamu mau diakui orang lain hebat, kamu yang akan lelah, kamu yang akan capek, merasa frustasi kala kamu tidak bisa sempurna. Padahal kamu bisa bahagia dengan diri kamu sendiri."

"Bangkit, Berlian. Keluar dari segala kesempurnaan yang harus kamu lakukan!"

"Tidak bisa," ucap Berlian dengan spontan berdiri, melepas headset dan membuangnya dengan asal.

"Aku tidak bisa melakukannya, Dokter," ucap Berlian menatap Bara dengan napas yang kembali memburu.

"Setiap kali aku ingin melakukannya, aku selalu ditampar kenyataan. Aku keturunan satu-satunya keluarga Evan, tidak ada yang bisa membantuku keluar dari kesibukan ini. Kalau ditanya lelah, aku lelah, bahkan aku tidak punya waktu sekadar istirahat. Otakku sudah penuh, masa lalu itu, saat aku melihat kedua kakakku terbujur kaku dengan darah yang membanjiri tubuh mereka, aku disalahkan sebagai pembunuh, memikul tanggung jawab besar, dan aku trus dituntut sempurna. Aku capek, Dokter, capek sekali," oceh Berlian dengan mata yang berkaca-kaca.

Bara tercenung sejenak. Di antara banyaknya pasien yang datang, yang diluar dugaannya adalah Berlian. Wanita karir yang sangat sempurna, itulah image Berlian di luar. Namun siapa sangka kalau di balik wanita kuat itu ada wanita yang sangat rapuh.

Dering telfon membuat mereka saling berpandangan, Berlian mengambil tasnya dan meraih hp di dalam sana. Tanpa basa-basi Berlian mengangkatnya. Tidak sengaja gadis itu menekan tombol loudspeaker.

"Selamat pagi, Bu Berlian. Untuk proposal merk-"

Pip!

Bara menyambar hp Berlian dan mematikannya dengan sepihak. Berlian yang melihat itu lantas menatap Bara dengan berang karena pria itu yang sudah lancang. Berlian bersiap membuka suaranya, tapi ucapan Bara menghentikannya.

"Kamu sudah berada di sini, artinya semua urusan pekerjaan tidak boleh dibahas di ruangan ini. Nanti sore aku tidak ada jadwal lagi, aku akan mengajakmu ke suatu tempat," ucap Bara.

"Tapi aku harus bekerja."

"Untuk sore ini, luangkan waktu untuk dirimu sendiri," kata Bara mengembalikan hp milik Berlian. Berlian menerimanya.

"Dokter, jangan mentang-mentang dokter ganteng bisa seenaknya sendiri. Aku sudah punya pacar, gak mau pergi sama cowok lain."

Bara mendorong tubuh Berlian hingga gadis itu terduduk di kursi. Bara melepas satu kancing kemejanya yang membuat Berlian membuka matanya.

"Apa kamu lupa kalau kamu yang pertama kali tertarik denganku?" tanya Bara.

"Kapan? Aku tidak-"

"Saat pertama kali kamu melihatku, kamu sudah menarikku dan mentraktirku. Sekarang aku dengan senang hati mengajakmu kencan, apa kamu keberatan?"