webnovel

My Maid My Lover

Area 18+ follow ig penulis on : lamentira_hanjieun Mohon bijak dalam memilih bacaan. Banyak kata-kata umpatan dan adegan dewasa! Beware!! "Kau, Anya Smith. Sebagai pelayanku, maka kau tak boleh berdiri jauh-jauh dariku. Kau harus selalu di dekatku, karena aku tidak suka jika harus berteriak ketika mencarimu." "Aku tahu, aku ini memang seksi dan tampan, Nona Smith. Tapi kau tidak perlu memandangiku hingga seperti itu, awas hati-hati air liurmu menetes." Xavier Robertino Dmitry. Kehidupan Anya Smith seperti berada di ujung tanduk saat ia harus kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal dalam sekejap mata. Uang di dompetnya hanya tersisa beberapa dolar saja, jangankan untuk menyewa apartemen baru, untuk makan beberapa hari ke depan saja rasanya tak akan cukup. Diujung keputusasaan, ia akhirnya memilih untuk menginap di rumah Robert— ayah kandungnya yang pemabuk. Hanya itu pilihan terakhir yang ia miliki, karena sang nenek yang materialistis tak lagi mau menerima dirinya. Dalam perjalanan menuju East End, ia bertemu dengan pria manis bernama Noah. Meski tak sempat mengenal lebih jauh, namun Anya berharap bisa bertemu lagi dengannya. Sungguh malang, nasib sial kembali menimpa Anya. Sang ayah yang ia harapkan bisa membantu, ternyata malah menggunakan dia sebagai alat untuk melunasi hutang-hutangnya. Anya dibawa para penagih hutang dan dijual ke sebuah rumah bordir. Untung saja dia berhasil diselamatkan oleh seorang pria asing bernama Xavier. Pria tersebut ternyata adalah putra dari seorang konglomerat. Anya pun terpaksa bekerja sebagai pelayan di rumah Xavier, karena ayah dari Xavier— atas permintaan sang putra, telah menebus dirinya dari rumah pelacuran. Takdir ternyata membawa Anya pada sebuah permainan yang melibatkan dua calon pewaris perusahaan besar Dmitry Xeon Corporation, yaitu Xavier Robertino Dmitry dan Noah Axelles Dmitry. Sejak pertemuan pertamanya dengan Noah, Anya sadar ia menyukai sosok pria itu. Pembawaannya yang tenang dan dewasa membuat Anya nyaman. Pertemuan kembali dengan Noah di rumah itu, telah membuat Anya kembali bersemangat setelah sempat putus asa, karena merasa takkan mampu melunasi uang tebusan yang telah dibayarkan ayah dari Noah dan Xavier. Namun, sayangnya ia kini justru terjebak dengan sosok Xavier. Pria itu menjadikan dirinya pelayan pribadi, membuatnya tak bisa berkutik. Karena sebuah keadaan yang sangat mendesak, Anya akhirnya dipaksa oleh Xavier untuk menjalani pernikahan kontrak, demi memuluskan langkah Xavier untuk menjadi pemenang dalam perebutan posisi sebagai pewaris utama semua kekayaan keluarganya. Setelah pernikahan itu selesai, ia dijanjikan kebebasan dan masa depan cerah. Akhirnya Anya pun setuju, meski ia harus siap menanggung segala resiko. Mengingat sifat Xavier yang arogan, kasar, dan kekanakan.

Hanjieun · Urbano
Sin suficientes valoraciones
242 Chs

Kunjungan

Anya tak tahu kemana sang tuan muda membawa dirinya. Namun, dia enggan bertanya, karena tak mau di cap sebagai pelayan tak tahu diri dan sopan santun. Hinaan lelaki bernama D'Viore tadi masih terngiang jelas di telinganya. Tentang status dan kedudukan dia yang hanyalah pelayan. Meski dia tahu jika pria di sampingnya, beberapa kali melirik dan melihat kepada dirinya. Anya dapat melihat refleksi wajah Xavier yang terpantul di kaca mobil. Namun, dia dengan sengaja acuh dan tak pedulikan hal tersebut.

Perjalanan menyebalkan ini terasa sangat lama dan menjenuhkan, ia ingin sekali sampai di tempat tujuan agar ia tak perlu duduk di sebelah tuan muda angkuh tersebut. Seandainya saja, dia bisa bertukar tempat dengan pelayan lain, tentu saja Anya akan sangat senang sekali. Terlebih jika ia bisa pindah ke istana tempat dimana Noah tinggal, tentu saja hal itu jauh lebih baik. Sayang sepertinya hal itu mustahil dilakukan.

Mobil yang mereka tumpangi kini telah memasuki wilayah hutan, meninggalkan hiruk pikuk kota yang padat. Suasananya sangat sepi, dan Anya sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya di daerah ini. Pepohonan tinggi begitu rapat, sehingga cahaya matahari tak dapat menembus sampai ke bawah. Daun-daun pepohonan yang lebat membuat suasana gelap, dan berkabut.

"Maaf Tuan muda, aku tidak bisa menyetir terlalu kencang. Banyak rusa liar berkeliaran disini, mereka menyeberang jalanan seenaknya," celetuk sang supir, seraya mengurangi kecepatan mobilnya.

"Berhati-hatilah," sahut Xavier.

Hanya selang beberapa detik setelah percakapan itu, mobil tiba-tiba saja direm mendadak. Membuat empat orang yang ada di dalam terkejut, dan hampir saja terantuk. Sialnya lagi, karena tak siaga, tubuh Anya terhempas ke dada pria di sampingnya. Akan tetapi, Xavier dengan sigap menangkap, serta membantunya duduk kembali dengan benar. "Sial!" racau Anya saat sadar ia kini telah berada di depan dada Xavier.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Xav sambil memegang bahu gadis itu, Anya pun menggeleng, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dengan kasar ia mengibaskan tangan Xavier dari bahunya.

"Ron, apa kau mau membunuh kami semua?" pekik pria berambut putih dengan nada marah. Suara D'Viore seketika membuat semua orang yang berada di dalam mobil terkejut.

"Maafkan aku tuan, anda lihat sendiri. Seekor rusa dan anaknya menyeberang jalan dengan tiba-tiba," ujarnya membela diri.

"Sudah paman, jangan marahi Ron," tukas Xavier yang tak mau memperpanjang masalah.

"M—maafkan aku, tuan muda. Aku benar-benar tidak sengaja," katanya.

"Sudahlah, cepat jalan lagi, aku tak mau kita datang terlambat."

***

Dua jam kemudian, mereka pun sampai di tempat tujuan. Di sebuah danau buatan yang dikelilingi perbukitan hijau yang indah. Sejenak Anya takjub dengan pemandangan yang terpampang di depan matanya.

"Tempat ini seperti surga," gumam Anya lirih.

"Kalau tempat ini adalah surga, berarti kau dan aku sudah mati, Anya," sahut Xav ketus. Entah sejak kapan pria itu sudah berdiri di belakang Anya.

"Jikalau tempat ini adalah surga, aku yakin kau tidak akan berada disini tuan muda. Surga bukan tempatmu, kau tak layak berada disana," timpal Anya santai tanpa rasa bersalah sedikitpun. Ia masih menyimpan kekesalan dengan kejadian tadi. Saat D'Viore menghina dirinya. Entah kenapa ia merasa jika hinaan D'Viore berasal dari mulut Xavier. Tentu saja pria kaya seperti dia, tak tahu rasanya dihina. Kekayaan yang dia miliki membuat dia dihormati semua orang, tanpa pedulikan moralitas sang tuan muda.

"Kita akan menginap dua hari disini," ujar Xavier cepat dengan nada angkuh dan dingin.

"Cepat turunkan semua barang-barangku!" suruhnya lalu pergi meninggalkan Anya yang masih ternganga.

"Nona Smith, sebaiknya kau cepat menurunkan semua barang bawaan tuan muda, ada banyak pekerjaan menantimu, kau ikut kesini bukan untuk liburan." Pria tua itu mengimbuhi.

Anya pun segera bergerak dan menurunkan semua barang bawaan tadi. Dengan susah payah ia membawakan tas-tas tesebut ke rumah kayu yang terletak di tepi danau, cukup jauh dari tempat mobil itu terpakir. Sialnya lagi, tak ada satupun orang disana yang berniat membantunya. Bahkan si supir sudah terlihat lelap. Padahal mereka baru saja sampai disana, sekitar sepuluh menitan yang lalu.

Belum juga Anya menyelesaikan satu tugasnya, pria tua bernama D'Viore itu menghampiri dirinya.

"Setelah ini, tolong siapkan makan siang untuk tuan muda," katanya.

"Makan siang?" Anya mengulang kata itu dengan dahi tertekuk.

"Ya, ini sudah hampir jam dua siang, jam makan siang sudah lewat," kata D'Viore.

"Apakah ada bahan makanan disini?" tanya Anya. Ia sama sekali tak siap untuk tugas ini, lagipula ia tak terlalu pandai memasak.

"Dapur kami selalu dilengkapi bahan makanan berkualitas tinggi, kau bahkan tak akan menemukan semua itu di supermarket biasa," tegas si pria tua yang kini sedang menatap Anya dengan intens tersebut.

"B—baiklah, aku akan memasukkan semua tas-tas ini ke dalam dulu tuan D'Viore —"

"Sebaiknya kau bergegas gadis lamban!" seru D'Viore kasar, lalu pergi meninggalkan Anya yang kini sedang mengutuk pria itu dalam hati.

Gadis itu membawa tas ke tempat yang telah ditunjukkan oleh D'Viore. Di lantai dua, ada sebuah kamar kosong tanpa perabot. Kamar luas yang jendelanya menghadap langsung ke danau, sangat indah dan menakjubkan. Air danau yang gemerlapan saat sinar matahari jatuh ke atasnya. Perbukitan yang tampak hijau bak lukisan pun terlihat jelas dari sini. Sejenak Anya terdiam di ruangan itu sembari membayangkan seandainya ruangan itu menjadi kamarnya. Pasti ia akan betah sekali berlama-lama disini.

"Apa yang sedang kau lihat?" celetuk sebuah suara yang berasal dari belakangnya. Anya terperanjat, ia berbalik dan mendapati Xavier telah berdiri di pintu, dengan menyandarkan sebagian berat tubuhnya ke salah satu sisi. Gadis itu tak tahu jika pria tersebut sudah beberapa lama disana.

"Hmm ... pemandangannya sangat indah, itu saja," katanya lalu segera berjalan. Hendak pergi meninggalkan ruangan itu. Tapi, Xav tiba-tiba saja menggeser tubuh, sehingga pintu itu terhalang olehnya.

"Tolong minggir, Tuan muda. Aku harus segera membuatkan anda makan siang," kata Anya menunduk. Ia tak mau bersitatap dengan pria dihadapannya.

"Tunggu dulu!" kata Xav sembari masih bergeming di tempatnya.

"Kurasa kau tak perlu membuatkan ku makan siang. Katakan pada pamanku, kalau aku mau berangkat sekarang," ujarnya lalu menyingkir. Anya dapat melihat kilatan mata Xav yang tampak tak biasa.

"Pergi?" Anya menanyakan hal yang seharusnya tak ia tanyakan. Lagipula itu bukan urusannya.

"Katakan saja padanya begitu, aku yakin dia tahu maksudku," imbuh Xav. Anya pun mengangguk. Dia segera pergi menuju lantai bawah, dan langsung berjalan ke halaman belakang, tempat dimana ia melihat D'Viore sedang menikmati kopinya.

Anya pun memberitahukan pesan Xav pada D'Viore, saat itu juga pria tua itu meninggalkan halaman belakang dan segera menemui Xav di lantai dua.

Anya masih penasaran, dalam rangka apa tuan muda itu datang ke tempat ini. Karena tak satupun orang mau memberitahunya.

Selang berapa lama, ia melihat D'Viore dan Xav turun ke lantai satu bersama-sama. Pria muda itu membawa dua buket bunga, berisi mawar merah dan lily.

"Ikutlah bersama kami," kata Xav tanpa melihat pada Anya.

"A—aku?"

"Ya! Kau, siapa lagi?" tegasnya dengan nada tak menyenangkan.

Tanpa menunggu aba-aba, Anya pun segera mengekor langkah kedua pria yang sama-sama menyebalkan itu.

Baru saja Anya berjalan beberapa langkah, "kunci pintunya!" suruh Xav sedikit berteriak, membuat Anya terperanjat.

"Baik!" jawabnya ketus. Lalu segera mengunci pintu kayu itu.

Sesungguhnya Anya sangat kesal dengan cara Xav memerintah dirinya. Ingin sekali rasanya ia mengatakan kepada Xavier kalau dirinya tidak tuli.