webnovel

Lebih Memahami

"Sayang, bukan Bagas yang menginginkan hal ini terjadi kepada Mama. Lagi pula ini juga bukan salah Bagas. Emang Mama ingin menyelamatkan Bagas, jadi kamu tidak bisa menyalahkan Bagas seperti itu."

"Mama kenapa, sih, selalu saja membela Bagas lagi, Bagas lagi, apa istimewanya dia? aku enggak bisa terus-terusan kayak gini dan mama selalu tersakiti."

"Arum jaga bicara kamu, tidak sopan berbicara seperti itu di depan orang tua. Kamu harus menghargai Papa Surya, minimal kamu itu bisa menyaring ucapanmu sebelum diungkapkan."

"Terlalu banyak rasa sakit yang aku terima, Ma, kalau Bagas enggak suka sama aku itu wajar, aku bisa terima. Tapi kalau sampai Bagas menghilangkan nyawa calon adikku, aku enggak bisa terima. Dan aku enggak akan pernah bisa tinggal diam."

"Sudahlah Rossa, kamu tidak perlu membela Bagas lagi. Aku tahu bagaimana perasaan Arum. Seharusnya kamu bisa memahami itu dan kamu enggak perlu marah kepada Arum. Dia juga anak kamu, wajar dia kecewa. Jadi, aku harap semuanya akan baik-baik saja."

Surya pergi meninggalkan ruang rawat Rossa dengan hati berkecambuk. Dia tidak enak kepada Rossa, namun dia juga tidak bisa menghentikan Arum yang terus menghakimi anaknya dalam situasi ini. Memang sulit, Arum tidak bisa disalahkan dan kesalahan juga tidak bisa bertumpu kepada Bagas lantaran memang Rossa yang saat itu menyelamatkan Bagas, bukan Bagas yang ingin diselamatkan.

"Apa kamu sadar, kata-katamu mungkin sudah menyinggung perasaan Papa Surya, sampai dia ke luar dari ruangan ini."

"Mama kenapa, sih, ada rahasia apa yang Mama sembunyikan tentang Bagas, sampai harus mati-matian membela dia. Mama itu celaka karena Bagas, kita kehilangan calon anggota keluarga baru juga karena Bagas."

Pelan, namun pasti, Rossa berusaha menyadarkan putrinya, jika Bagas bukan tumpuan masalah ini. Lagipula mungkin jika tidak ada kecelakaan itu pun, Rossa juga tidak bisa mempertahankan janinnya lantaran memang janinnya terlalu lemah di usia Rossa yang sudah menginjak senja.

"Arum, kamu seharusnya tidak boleh emosi seperti itu. Mama yang mengalaminya, mama yang menjalaninya, dan mama yang tahu seperti apa Bagas saat itu. Jika kamu mungkin di posisi mama dan kamu telah menjadi seorang ibu, pasti kamu akan melakukan hal yang sama. Itu tidak akan pernah berarti untuk anak siapa pun, akan kita lakukan atas nama cinta kita kepada anak dan itu yang Mama lakukan kepada Bagas."

"Bagas bukan anak mama, aku anak mama, lalu calon adikku apa, Ma? Hingga mama mengorbankannya?"

"Bukan seperti itu Arum maksud Mama, Bagas memang tidak pernah lahir dari rahim Mama, tapi dia lahir dari hati Mama. Mama sangat menyayanginya, apapun itu, tidak ada alasan untuk tidak menyelamatkan orang yang membutuhkan bantuan. Sudahlah, lupakan hari ini, maafkan semuanya, Mama ikhlas menjalaninya."

"Tapi, Mama kehilangan calon anak Mama, calon adik aku."

"Ribuan kali Mama sudah bilang, 'kan, rahim mama memang lemah di usia mama yang sudah tidak mudah lagi, jadi sebuah keajaiban jika mama bisa mengandung sampai melahirkan, tapi itu sulit, karena keajaiban tidak bisa datang ke semua orang. Tolong, kamu bisa memahami itu, 'kan, sayang?"

Berusaha terus bersikap baik kepada putrinya, dia tidak ingin ada kesalahpahaman yang semakin menjadi-jadi. Rossa melihat dendam dan benci ada di sorot mata Arum, namun sekuat tenaga dia berupaya agar Arum tidak meluapkannya kepada Bagas. Itu akan sulit untuk Bagas jalani, terlebih mereka tinggal di atap yang sama, akan ada banyak kecemburuan yang hadir di sana.

"Kamu janji, ya, jangan pernah mengungkit masalah ini di depan Bagas. Dia pasti akan lebih merasa bersalah daripada kita. Kamu juga harus menjaga perasaan Mama, juga perasaan papa Surya, tolong pahami itu Arum." Rossa berulang kali menyadarkan putrinya agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka.

Arum masih sangat dongkol. Tetapi, dia tidak bisa melawan perkataan mamanya begitu saja. Arum hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun. Semua seakan gelap, mimpi-mimpinya mulai pudar, kehadiran adik yang dinantikan telah lenyap, tidak ada lagi yang tersisa. Ini lebih sulit daripada harus memaafkan karena sekali lagi, Arum telah kehilangan dua orang yang sangat dia cintai.

***

"Di mana Bagas?" tanya Surya sekilas setelah masuk ke dalam rumah.

"Ada di kamarnya, Tuan," sahut Bibi Surti sedikit ketakutan.

"Dia ngapain aja dua hari saya tinggal, apa yang dilakukan?"

"Di kamar saja Tuan, tidak mau makan dan tidak minum obat, terus tadi Mas Bagas juga sempat mimisan. Saya mau mengabari Tuan, tapi dilarang sama Mas Bagas."

"Anak itu maunya gimana, sih, selalu bikin repot, selalu bikin marah."

Sebenarnya Mas Bagas pengen banget ke rumah sakit untuk nengokin Nyonya Rossa, tetapi saya larang karena tangannya juga terluka terus kondisinya juga sepertinya tidak begitu sehat. Terlebih dari tadi Mas Bagas pengen banget hubungin mamanya, tapi saya larang karena takut nanti Tuan marah." Bibi Surti berbicara dengan sejujurnya, dia tidak ingin ada kesalahpahaman antara majikan dan pembantu.

"Ya, sudah, saya mau lihat dia ke kamar."

"Tapi Tuan, tolong, ya, Mas Bagas jangan dimarahi, kasihan. Sepertinya Mas Bagas menyesal dengan segala yang sudah terjadi."

"Apa saya harus lunak kepada dia? apa dia tidak sadar telah menghilangkan nyawa calon adiknya? apa sih harus baik-baik saja? saya akan berikan dia pelajaran yang akan selalu diingat selamanya."

"Maaf sekali lagi, bukan maksud saya mencampuri urusan keluarga Tuan, tetapi untuk sekarang sepertinya jangan dulu. Karena saya lihat Mas Bagas sedang terguncang. Kenapa saya bisa bilang seperti ini, karena sejak bayi Mas Bagas itu sudah saya pegang, saya sudah menganggap Mas Bagas seperti anak kandung saya sendiri, jadi ikatan batin saya cukup kuat terhadap Mas Bagas."

Surya berpikir sejenak, apa yang Bibi Surti ucapkan memang ada benarnya juga. Tidak seharusnya dia mengungkapkan kemarahannya saat ini. Mengingat kondisi Bagas yang sejak kecelakaan malam itu belum mendapatkan penanganan.

"Maafkan saya, terlalu banyak masalah yang datang. Terima kasih, ya, Bi, sejauh ini sudah tetap setia terhadap keluarga kami."

"Iya, Tuan, saya mohon pengertiannya untuk Mas Bagas dan saya ingin sekali Mas Bagas segera mendapatkan penanganan dari rumah sakit karena saya takut penyakitnya semakin parah."

"Iya, hari ini juga, saya akan membawanya ke rumah sakit."

Surya bergegas menaiki anak tangga menuju kamar Bagas. Dia menata hati sekuat tenaga mencoba mengendalikan emosi agar tidak meluap di depan putranya. Apa yang Bibi Surti ucapkan memang benar adanya. Saat ini bukan masanya harus marah kepada Bagas, namun harus bisa mengambil hatinya dan lambat laun semuanya akan menjadi lebih baik.

Tanpa mengetuk pintu, Surya bergegas masuk ke dalam kamar putranya. Dia melihat Bagas meringkuk di atas kasurnya. Mendekati putranya, jantung Surya berdegup cepat, ada kemarahan yang ingin dia luapkan, namun sesegera mungkin harus dia lupakan untuk sesaat lebih dekat melihat Bagas, hatinya semakin tidak karuan.

"Bagas, ayah pengen ngomong sesuatu," ucap Surya dari balik punggung Bagas, namun tidak ada jawaban dari putranya. "Bagas, kamu bisa enggak, sih, dengerin ayah? jangan bikin ayah semakin emosi." Surya mengulangi perintahnya sambil membalikkan tubuh Bagas yang ternyata seluruh kaos putih dan juga bantalnya penuh dengan noda daraah. "Bagas!" Teriak Surya sekencang mungkin, ketakutannya menyelimuti diri.

***