webnovel

34. Menangkap Pelaku

"Oh sudah sampai. Aku ketiduran ternyata," kata Aditya.

"Iya, tidak apa-apa. Aku tidak tega untuk membangunkanmu, jadi aku tunggu saja," jawabku dengan tersenyum.

Aditya menggendong Clarisa. Kami berjalan masuk ke rumah. Rumahnya bersih. Asisten rumah tangga menyapa kami. Pantas saja rumah ini bersih. Ternyata Aditya sudah bisa mengembalikan perusahaannya sampai mampu membayar art. Aditya menyuruhku untuk membersihkan diri terlebih dulu.

Selesai makan malam, aku duduk di sofa depan TV dengan Clarisa yang berada di strollernya. Aditya duduk di sampingku. Mengambil tanganku lalu dipijatnya. Aku tersenyum.

"Aku tahu kamu lelah beberapa hari menggendongnya. Biarkan aku memijatnya," ucap Aditya.

"Ayo pijat saja semuanya."

"Jangan aneh-aneh! Nanti aku mau bagaimana?"

"Ha-ha. Baiklah, pijat saja sesukamu."

Aku merasa senang saat aku Dijadikan sebagai ratu di sini. Hatiku jadi luluh lagi. Tiba-tiba ponsel Aditya berdering. Dia mengangkatnya.

"Bawa dia! Dia harus dihukum terlebih dahulu sebelum menjebloskannya ke dalam penjara," ujar Aditya yang tampak kesal.

Setelah menutup teleponnya, aku pun bertanya apa yang terjadi padanya. Ternyata Fikram sudah menangkap orang yang menyebarkan gosip tentang kami. Terlebih aku sangat terkejut saat Aditya memberitahu bahwa orang itu adalah Bunga yang sempat menolongku dulu.

"Sayang, itu enggak mungkin dia. Kalau dia ingin melihat kita berpisah kenapa dia membantu kita?" tanyaku.

"Dia seperti itu karena membutuhkan uang dan dia pergi melarikan diri tepat saat kamu pergi. Dan ternyata di luar negeri dia mengatakan sendirinya tentang itu," jawab Aditya. "aku pergi dulu. Kamu tidur saja, tidak usah menungguku. Aku tidak tahu akan pulang jam berapa."

Aku mengangguk. Dia mengecup keningku begitu juga dengan Clarisa sebelum dia pergi. Aku sudah tertinggal banyak cerita di sini. Aku masih tidak percaya Bunga melakukannya demi uang, dia tidak memikirkan akibatnya jika dia berbuat seperti ini. Aku membawa Clarisa ke kamar untuk tidur.

***

POV Aditya

Begitu di halaman rumah, aku menelepon Bayu untuk mengirimkan penjaga di rumahku karena aku tidak ingin terjadi sesuatu lagi pada istri dan anakku. Aku pergi menggunakan mobil. Semenjak aku kembali ke perusahaan, ayah mengembalikan semua barang-barangku yang disita olehnya termasuk mobil ini.

Sampai di gedung tua. Markas anak buahnya Fikram. Aku bergegas masuk. Bunga dan Agus sudah diikat supaya tidak berontak. Aku berjongkok di hadapan mereka. Dengan satu tangan bertumpu pada lutut kanan.

"Tidakku sangka kalian berbuat seperti ini. Katakan padaku siapa yang menyurih kalian?" tanyaku.

Mereka tetap diam. Tidak berbicara sepatah kata pun dan hanya menundukkan kepalanya.

"Beri mereka pelajaran sampai dia bicara," ketusku.

Anak buah Fikram yang memberi mereka pelajaran. Aku hanya melihat mereka merasakan kesakitan.

"Baik. Cukup. Hiks," tangis Bunga.

"Tahan!" seruku pada seorang laki-laki memakai jaket dengan memegang cambuk di tangannya.

Aku kembali berjongkok di hadapannya. Melihatnya meringis kesakitan.

"Sakit. Aku mohon berhenti," lirih Bunga.

"Saya tidak akan jahat seperti ini kalau kamu tidak susah diatur. Katakan, siapa yang menyuruh kalian?"

"Jangan jawab Bunga! Dia sudah memberikan uang banyak padamu lebih dari pada dia," bentak Agus.

"Aku tidak mau mati konyol seperti ini!" sahut Bunga.

"Berapa yang dia beri untuk kalian melakukan itu?" tanyaku.

"Lima milyar," jawab Bunga.

"Diam!" teriak Agus.

Bunga masih terisak-isak. Semakin menarik jika aku memberikan mereka pelajaran seperti ini supaya mereka jera untuk tidak melakukan seperti ini lagi pada keluargaku. Aku mengambil cambuk mendekati mereka lagi. Terdengar begitu keras suara yang kucambukkan ke udara.

"Tidak. Aku mohon. Berhenti," ucap Bunga. "Aku enggak tahu siapa tapi yang jelas ada logo dari perusahaan Sherlin. Aku tahu karena dulu dia sering datang ke kantor dan baju sopirnya ada logo itu. Tapi aku sungguh tidak tahu namanya," jelasnya.

"Bodoh!" teriak Agus.

Aku menyuruh laki-laki yang mengenakan jaket itu untuk merawat lukanya sampai sembuh. Beberapa orang pun masuk dan memindahkan mereka.

"Maaf aku tidak bisa datang ke sana karena ada tugas lain. Bagaimana sekarang? Mereka bicara?" tanya Fikram begitu teleponnya diangkat.

"Sudah. Bunga mengatakan orang suruhan dari perusahaan KAR. Dan mereka sedang di rawat untuk menghilangkan bekas lukanya sebelum dilaporkan pada polisi," jawabku.

"Astaga, kau tahu itu ilegal kan?"

"Ya. Aku hanya ingin tahu langsung darinya. Kalau tidak seperti ini dia tidak akan bicara."

Selesai bertelepon, aku pun pulang karena sudah larut malam. Di perjalanan ada tukang nasi goreng. Aku akan membelikannya untuk Kayla. Aku membeli nasi goreng jumbo. Pasti Kayla akan suka, eh tapi ini kan sudah malah sepertinya dia sudah tidur. Sampai di rumah. Aku masih membawa kantong plastik ke kamar. Ternyata benar Kayla sudah tidur. Ketika gendak meninggalkannya, dia memanggilku.

"Sayang baru pulang?" katanya sambil bangun mengubah posisinya menjadi duduk dengan tangan mengucek matanya. "Bawa apa itu?" lanjutnya.

"Nasi goreng," jawabku singkat.

"Mau," katanya lalu turun dari kasur.

Aku tersenyum melihatnya yang berjalan mendahuluiku. Aku duduk di sampingnya dam membawa piring untuk alas nasi gorengnya.

"Nanti kamu gendut loh makan larut malam begini," ledekku.

"Mana ada gendut? Yang ada perutnya buncit. Kalau perutku buncit perutmu juga sama sayang," jawabnya lalu menyuapkan sesendok nasi goreng.

Aku hanya tertawa mendengarnya. Kami pun makan bersama. Lebih tepatnya sepiring berdua, dan sesekali aku menyuapinya. Dia terlihat seperti anak kecil hanya saja aku tidak tahu bagaimana dia bersikap pada Yudha kemarin. Apa sama seperti ini? Aku harap tidak. Aku hanya ingin manjanya Kayla hanya ditunjukkan padaku selain orang tuanya. Saat aku akan mengambil air minum, Kayla menghentikanku lalu dia membawakan air minum untukku.

"Aku juga ingin melayanimu," katanya sambil memberikan gelas.

"Terima kasih."

Kayla duduk kembali. Nasi goreng pun habis. Kayla memelukku.

"Aku mau melepas rindu selama beberapa hari yang lalu karena tidak melihat dan memelukmu," ujar Kayla.

"Benarkah? Tidak bosan memangnya?"

"Aku suka baumu aku suka tubuhmu aku suka semuanya makanya aku rindu."

Aku mengecup pucuk kepalanya.

"Sayang, saat aku bersama Yudha dia juga memperlakukanku sepetimu. Menjadikanku ratu. Aku jadi selalu teringat padamu. Hanya saja aku tidak bisa menjadikannya sebagai rajaku karena dia bukan siapa-siapanya aku," kata Kayla.

"Oh, berarti aku raja dan kamu ratunya?" kataku menanggapi ceritanya.

"Iya. Dan Clarisa adalah putrinya. Aku hanya ingin membangun istana bersamamu."

"Sudah, sudah mengkhayalnya. Mari kita kembali ke kamar," ajakku.

Kayla menekukkan wajahnya dengan bibirnya yang cemberut. Sungguh imut. Aku hanya mengangkat alis sebelah yang bertanya apa padanya.

"Gendong," rengeknya seperti anak kecil.

Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Dia begitu manja malam ini. Ah, mungkin karena hormonnya yang belum stabil karena baru melahirkan. Akhirnya aku menuruti keinginannya dan mengendongnya sampai kamar.