webnovel

29. Berpisah

POV Aditya

Setibanya di rumah, aku tersenyum lalu masuk. Begitu sepi, tidak terdengar suara apa pun.

"Sayang, aku pulang," ucapku.

Tapi tidak ada sahutan. Bahkan aku tidak melihat Vina. Mungkin dia sudah pulang karena tahu aku akan datang. Aku membuka pintu.

"Sa ..." perkataanku terhenti.

Kosong, tidak ada siapa pun di kamar. Aku berteriak menyebut nama Kayla berharap akan ada sahutan. Begitu pun dengan ruang kerjanya. Sungguh mengesalkan. Kayla pergi ke mana di jam seperti ini. Vina, pasti bersamanya.

Setelah menutup telepon, aku melihat amplop coklat di atas meja kerjanya. Aku merogoh tas mengambil ponsel, lalu aku menelepon Vina. Telepon tidak tersambung. Aku mengalihkan telepon pada Fikram, memintanya untuk datang segera. Tidak lama kemudian Fikram datang.

"Cari tahu alamat Vina sekarang!" bentakku.

"Tunggu, untuk apa? Apa yang terjadi?" tanya Fikram yang kebingungan.

"Cepat!"

Tidak banyak bertanya lagi, dia langsung menuruti perkataanku. Setelah mendapatkan alamatnya, kami bergegas menuju tempat tinggal Vina. Hingga sampai di tujuan. Aku langsung turun dari mobil yang diikuti dengan Fikram. Mengetuk pintunya sambil memanggil-manggil namanya.

"Adit, kamu mau diusir dengan berteriak seperti itu?" ujar Fikram.

Seorang wanita paruh baya membuka pintu.

"Ada urusan apa di jam seperti ini kau berteriak memanggil nama anakku?" tanya ibunya Vina.

"Saya ingin bertemu dengan Vina. Dia tadi bersama istri saya dan sekarang mereka tidak ada di rumah, pasti anak ibu yang menyembunyikannya," sahutku.

"Tunggu! Vina tidak ada di rumah Kayla? Lalu ke mana anakku? Kamu pasti yang menculik anakku kan?" tuduh ibu itu.

"Maaf bu, lebih baik bicara yang sejujurnya saja," ujar Fikram.

"Tapi anakku benar belum pulang. Aduh di mana anakku sekarang," ucap ibu itu yang memang terlihat cemas mendengar anaknya tidak ada.

"Baiklah kalau begitu kami pamit. Maaf telah membuat keributan. Jika saya bertemu dengannya saya akan mengantarkannya ke mari," kata Fikram.

"Apaan sih?" sahutku.

"Sssttt! Diamlah," katanya dengan suara pelan. "Kami permisi dulu bu."

Fikram menarikku memaksa untuk pergi dari sana. Aku pun duduk di mobilnya kembali.

"Apa sebenarnya yang terjadi? Dari tadi kamu menelepon istrimu, kenapa? Kalian bertengkar?" tanya Fikram sambil memasangkan sabuk pengaman.

"Cari tahu alamat Raka!" bentakku kemudian.

Fikram melajukan mobilnya. Aku pun bercerita padanya bahwa Kayla pergi dan meninggalkan surat perceraian sudah ditandatangani. Fikram hanya menghela napas ketika mendengarnya. Raka pun tidak di temukan saat itu. Mereka entah membawa Kayla ke mana.

"Brengsek!" umpatku yang membuat Fikram sedikit terkejut.

"Ada nomor teleponnya kan?" tanya Fikram. "Berikan padaku," pintanya.

Aku tidak banyak bicara dan memberikan nomor telepon Kayla. Beberapa menit kemudian.

"Nah, ketemu. Tapi ini lokasinya berada di stasiun ..."

"Cepat ke sana!" teriaknya.

Dengan kecepatan tinggi, kami menuju stasiun itu karena jaraknya cukup jauh. Aku menghubungi kak Tyas. Tapi kak Tyas juga tidak tahu kalau adiknya akan datang ke rumahnya.

Sampai di Stasiun. Aku tidak bisa menemukannya. Mataku sudah berkaca-kaca. Fikram mengajakku pulang.

"Biarkan anak buahku yang mencari dia. Lebih baik kita pulang dulu," ujar Fikram.

"Baiklah, antar aku ke rumah. Aku mau bertemu dengan ayah," jawabku.

Sampai di kediaman Kusuma. Aku langsung menerobos masuk. Berteriak-teriak memanggil ayah hingga semua orang keluar karena kegaduhan yang aku buat. Melihat ayah keluar dari kamar, aku langsung menghampirinya. Menarik kerahnya lalu memukulnya.

"Adit! Apa yang kamu langkah?" teriak ibu panik melihat perkelahianku.

Aku berhenti memukulnya. Dengan napas yang masih terengah-engah. Aku menceritakan bahwa Kayla pergi lagi gara-gara ayah. Tentu saja ayah tersenyum kemenangan. Aku menuntunku untuk duduk lalu mendekapku. Tidak terasa air mata pun menetes.

***

POV Kayla

Aku memutuskan untuk tidur di apartemennya untuk kali ini, karena sudah tidak memungkinkan aku harus berjalan mencari tempat yang bisa disewa. Yudha mengajakku untuk makan malam bersamanya. Sampai di meja makan, aku melihat banyak makanan. Aku pun duduk.

"Ini semua kamu yang masak? Atau kamu membelinya?" tanyaku yang masih melihat makanan yang tersaji.

"Tidak. Aku menyuruh Agus untuk membawa asisten rumah tangga. Dia yang masak," jawab Yudha.

Yudha mempersilahkanku untuk makan. Dia memanggil asisten rumah tangganya lalu menyuruh untuk menjaga Clarisa saat aku makan. Perempuan paruh baya itu pun mengangguk.

"Makan saja, jangan sungkan. Aku tahu kamu pasti belum makan dengan benar kan?"

"Iya, sih. Karena dalam perjalanan juga aku lebih banyak minum,"

Yudha mengangguk sambil mengunyah makanannya.

"I see. Makanlah sepuasmu selagi ada. Kalau ada menu yang kamu inginkan bilang saja, nanti akan dibuatkan oleh bu Tarmi."

"Tidak, Yudha. Ini saja sudah lebih dari cukup."

Melihat perlakuannya, aku jadi teringat dengan Aditya yang selalu membuatkanku masakan apa pun yang aku mau. Aku menghabiskan makanan yang ada di piringku. Setelah selesai makan, aku beranjak dan berniat akan mencuci piringnya.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya ketika aku mengambil piring bekas makannya.

"Mau cuci piring," jawabku singkat.

"Enggak perlu, kan sudah ada bu Tarmi. Biarkan dia saja yang membereskan ini," ujarnya.

"Tapi ..."

"Sudah enggak apa-apa. Kamu temani saja Clarisa," katanya yang memotong ucapanku.

Aku pun kembali ke kamar menemani anakku yang ternyata sudah terbangun. Aku bergegas menghampirinya.

"Maaf nona, tadi dia pipis. Saya berniat mau menggantinya," ujar bu Tarmi.

"Oh, iya tidak apa-apa biar saya saja. Terima kasih sebelumnya," ucapku ramah.

Dia pun pergi dari kamar. Aku mengambil pakaian ganti untuknya. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku ikut tertidur saat menidurkan Clarisa.

"Kay," panggil seseorang yang membuatku terbangun.

Terlihat Yudha. Ternyata dia yang membangunkanku. Aku pun merubah posisiku menjadi duduk.

"Maaf, aku tertidur. Aku akan pindah keluar."

"Tidak, tidak perlu," katanya lalu duduk menghadapku. "Aku hanya mau memberikan ini padamu, maaf aku malah mengganggu tidurmu." Dia memberikan sebuah ponsel.

"Berapa harganya? Akan aku ganti."

"Tidak apa-apa. Ini untukmu dan aku sudah menyimpan nomor teleponku. Kau bisa meneleponku saat butuh bantuan."

"Tapi ..."

"Terima saja dan kembalilah tidur. Aku kira kamu belum tidur, soalnya kamarmu tidak ditutup tadi. Maaf aku tidak sopan karena masuk tanpa mengetuk pintu."

"Oh, iya. Aku lupa menutupnya. Tapi seharusnya aku yang berterima kasih padamu."

Akhirnya aku menerima ponsel pemberiannya. Dia pergi dan menutup pintu kamar. Eh, tunggu! Apartemennya ini hanya ada satu kamar, di mana dia akan tidur? Aku beranjak dari tempat tidur. Keluar dari kamar, ternyata dia sedang menonton televisi. Aku duduk di sampingnya.

"Ada apa? Aku kira kamu akan tidur lagi," ujar Yudha saat menyadari kedatanganku.

"Tidak. Kamu tidur di mana jika aku tidur di kamarmu?"

"Sudahlah jangan khawatirkan aku. Tidur saja," jawabnya lalu kembali menatap ponselnya.

Dia sedang menonton film action, dengan volume kecil. Aku pun ikut menonton. Tidak sadar aku terlelap dengan posisi duduk sambil bersandar pada sandaran kursi.