webnovel

27. Surat Perceraian

POV Kayla

Setelah Aditya mendapat telepon dari Fikram, dia langsung pergi ke kantor. Aku menelepon Vina kembali untuk datang menemaniku. Vina pun datang sambil membawa kantong plastik.

"Seblak. Tadi saat kamu menelepon aku lagi di warung seblak," kata Vina.

"Pantas saja ramai. Kenapa enggak bilang? Aku juga mau!"

"Ha-ha. Kamu lagi menyusui jangan makan yang pedas dulu."

"Ah, enggak asyik. Aku kan sudah lama juga enggak makan itu."

Vina tertawa melihatku karena aku kesal tidak bisa makan itu. Dia pun mengeluarkan corndog.

"Ibu menyusui boleh kan makan ini?" tanya Vina sambil menunjukkan corndognya.

Aku langsung merebutnya. "Boleh," sahutku dan langsung membuka bungkusnya.

"Kalau terjadi apa-apa aku enggak tanggung jawab ya?"

"Lagi pula ini sausnya tidak pedas, enggak apa kali."

Aku melahap sosis itu. Melihat Vina yang kepedasan karena makan seblak, membuatku tergiur dan menelan saliva.

"Ah, menyebalkan!" gerutuku yang tidak bisa ikut menikmati makanan berkuah pedas itu.

Ponselku berdering. Terlihat ibu mertuaku menelepon. Aku mengangkatnya. Ternyata ibu hanya bertanya kenapa aku tidak datang ke rumahnya saat Aditya bekerja. Aku tahu ibu seperti itu karena merasa kesepian. Tapi aku tidak bisa pergi karena anakku yang masih terlalu kecil untuk dibawa bepergian.

"Ibu, aku ditemani oleh Vina kok. Ibu tidak perlu khawatir, ada yang menemaniku di sini," kataku berusaha meyakinkan ibu.

"Baiklah, kalau terjadi sesuatu jangan sungkan meminta bantuan pada ibu ya?"

"Iya, bu. Terima kasih."

Ibu pun menutup teleponnya. Lalu aku meletakan ponselku itu di atas meja. Vina selesai makan seblaknya. Dia bersandar di sofa.

"Beruntung banget ya kamu, dapat ibu mertua yang sayang sama kamu seperti anaknya sendiri," kata Vina.

"Iya, aku sangat bersyukur memiliki ibu mertua seperti itu. Sayangnya ibu dan ayahku sudah tidak ada melihat menantu dan cucunya ini," kataku gemas sambil melihat pada Clarisa.

"Aku juga ingin tahu, tapi tadi tumben sekali Fikram tidak datang ke mari."

"Ah, iya. Tadi dia bilang sibuk ada kerjaan lain jadi hanya menelepon suamiku saja."

"Aku kangen dia tahu enggak? Memang tipe idamannya seperti apa sih sampai tidak mau denganku?"

"Ha-ha. Dia hanya canggung denganmu. Kata Adit juga dia jarang dekat sama perempuan selain mantannya itu, jadi dia masih terluka mungkin ..."

"Menyebalkan," umpat Vina.

Karena sudah pukul empat, aku menitipkan Clarisa pada Vina sementara aku membersihkan diri. Beberapa menit kemudian, aku pun sudah selesai. Kami bercanda, tertawa hingga tak terasa sudah pukul lima. Harusnya Aditya pulang jam segini, tapi dia tidak memberi kabar.

Raka menelepon pada Vina dan memberitahu bahwa dia akan datang ke rumah dan membawa martabak manis juga. Vina langsung menyetujuinya tanpa bertanya padaku lebih dulu.

"Apa sih Vin, aku aja belum mengiyakannya," sahutku.

"Sudahlah dia juga kan bawa martabak. Lumayan loh, perutku bisa kenyang," jawab Vina.

"Pikiranmu hanya makan. Ya sudah, aku bilang dulu ke Adit kalau Raka akan datang ke sini," aku mengambil ponsel dan mengirimkan pesan padanya.

"Kenapa harus minta izin segala? Kan ada aku juga di sininya."

"Beda, sekarang aku istri orang aku enggak boleh bertemu laki-laki tanpa sepengetahuan suami."

Vina hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. Vina bergegas membukanya.

"Kay, ada yang ingin menemuimu," teriak Vina.

Aku pun menghampirinya meninggalkan ruang tengah.

"Iya, ada ap ...," aku terdiam melihat seorang pria di sebelah Raka.

"Maaf, bu. Ini saya hanya mendapat titipan dari bapak untuk bu Kayla," ucap pria itu sambil memberikan sebuah amplop coklat.

Aku menerimanya lalu dia pun pergi. Tidak sempat bertanya dari siapa lebih tepatnya. Kami pun masuk dan duduk di ruang tamu. Aku menatap Vina dan Raka ragu untuk membuka isi amplop itu. Menghela napas panjang. Vina meminta Clarisa untuk digendongnya. Setelah Clarisa digendong oleh Vina, aku pun membuka amplop itu. Sungguh terkejut aku melihat isinya. Surat perceraianku. Bagaimana bisa ini terjadi. Aku langsung menelepon Aditya. Tapi tidak ada jawaban. Aku mencoba meneleponnya lagi, tetap sama. Air mata pun mulai berjatuhan. Aku meneleponnya lagi.

"Ke mana sih dia?" gumamku sambil menggigit kuku jari.

"Ada apa?" tanya Raka lalu merebut kertas yang masih aku pegang.

Raka terbelalak begitu juga dengan Vina. Aku pun tak kuasa menahan tangis lagi.

"Bisa-bisanya dia mengirimkanku surat seperti itu saat aku sudah memiliki anak darinya? Betapa bodohnya aku masih terbuai oleh kata-katanya. Semua omong kosong. Dia tidak benar-benar mencintaiku. Boohoo."

Raka memelukku untuk menenangkanku.

"Dia ingin perceraian kan? Baik, aku akan menyetujuinya, untuk apa aku percaya padanya tapi akhirnya dia berkhianat juga. Semua bohong yang bilang tidak mau menceraikanku tapi dia pergi beralasan pergi ke kantor dan memberikan ini lewat pengacaranya."

Aku menghapus air mata dengan kasar. Lalu aku pergi ke ruang kerjaku mengambil pena lalu menandatanganinya. Lalu aku pergi ke kamar mengambil koper dan mengemasi barang-barang.

"Kamu mau ke mana, Kay?" tanya Vina.

"Aku akan pergi ke rumah kakak. Jangan beritahu siapa pun kalau ada yang bertanya mengenaiku. Aku akan pergi supaya dia tidak datang lagi untuk menemuiku," sahutku yang sesekali menghapus air mata.

Aku meminta kepada Raka mengantarkanku ke stasiun. Raka hanya mengangguk. Aku memakaikannya popok untuk berjaga-jaga supaya tidak ganti popok saat dalam perjalanan.

Kami pun pergi. Tiba di tempat tujuan. Aku menyuruh mereka untuk pulang saja dan tidak perlu menemaniku. Mereka menurut meskipun terlihat khawatir padaku. Aku membeli tiket untuk pergi ke sebuah desa, bukan ke tempat kakakku. Aku harus berhati-hati karena jika Aditya mencariku pasti dia akan dengan mudah melacakku dengan bantuan Fikram.

Kereta pun melaju. Clarisa pun tertidur dalam pangkuanku. Air mata menetes kembali. Telepon bergetar, terlihat nama Suamiku. Aku membiarkannya teleponnya. Tetapi Aditya terus menelepon dan akhirnya aku pun mengangkat teleponnya.

"Maaf sayang, begitu banyak pekerjaan di sini. Aku tidak mendengar suara deringnya," kata Aditya begitu telepon diangkat.

"Enggak usah berbasa-basi lagi, jangan cari aku!" sahutku menahan air mata.

"Apa maksudmu?"

Aku langsung menutup teleponnya. Menahan tangis meski pun air mata berlinang. Menatap jendela yang tertutup. Wanita paruh baya yang berada di sampingku memegang bahuku. Aku menghapus air mata.

"Mbak, maaf bukannya ibu mau ikut campur, tapi kalau sedang bertengkar dengan suami bicarakan baik-baik," katanya sambil mengusap bahuku.

"Aku bercerai dengannya, bu," jawabku.

"Oh, astaga. Sabar ya, mbak. Semoga kalian dapat rezeki berlimpah dan menemukan suami yang bertanggung jawab."

"Iya, aamiin. Terima kasih."

Aku membuka ponsel dan membuang kartunya. Lalu kembali memasukkan ponsel ke tas selempang. Aku pun memejamkan mata untuk melelah penat.