webnovel

24. Di kantor

POV Aditya

Ketika aku mencuci piring, ponselku berdering.

"Angkat saja teleponnya," seruku setelah melihat Kayla yang hanya melihat layar ponselku.

Kayla menjawab teleponnya dan berbincang dengannya sebentar. Aku menghampirinya.

"Rival yang menelepon," ucap Kayla sambil memberikan ponselnya.

Aku menerimanya lalu menempelkan benda pipih itu di telingaku.

"Adit, paman meminjam uang pada perusahaanku. Dia meminjam uang yang tidak masuk akal. Berkasnya masih ada padaku karena pemimpin perusahaan hari ini tidak ada. Paman meminjam lima milyar ..."

"Apa? Astaga, sudah gila memang dia."

suaraku yang memang agak kencang hingga Kayla memukulku untuk tidak berbicara kasar depan Clarisa. Aku pun agak menjauh dari Kayla.

"Lebih baik kau temui saja dulu ayahmu itu, aku tidak akan menyerahkan berkas ini pada atasanku nanti. Aku akan menunggu kabar darimu untuk ini," lanjut Rival.

"Oke. Baiklah aku akan datang ke sana untuk ini, bisa-bisa perusahaan bisa bangkrut jika dia meminjam sebanyak itu. Thanks untuk informasinya."

Aku mengajak Kayla untuk datang ke rumah keluarga Kusuma. Aku tidak punya banyak waktu untuk meminta tolong Fikram atau siapa pun untuk meminjamkan mobilnya.

Tiba di kediaman keluarga Kusuma. Siti kepala asisten rumah tangga membukakan pintu. Tersenyum melihat kami datang tak lama, ibu pun datang. Ibu terlihat bahagia melihat kedatangan kami dan langsung menggendong cucunya. Aku sudah tidak ingin berbasa-basi lagi.

"Aku tidak punya waktu untuk itu. Di mana ayah, bu?" tanyaku.

"Sebentar lagi juga ayahmu datang, ini waktunya pulang kan?" jawab ibu.

Kayla mengikuti ibu masuk ke rumah, sedangkan aku masih berada di halaman rumah. Menghubungi Bayu yang masih bekerja sebagai asisten di perusahaan VK Group. Tidak membutuhkan waktu lama, dia membalas pesanku dan memberitahu bahwa pekerjaannya belum selesai dan akan lembur begitu juga dengan ayah. Aku langsung pergi ke kantor.

Setibanya di kantor, Robi langsung menghentikanku. Membuka helm dan turun dari motor.

"Bapak sudah tidak diizinkan untuk datang lagi ke sini," ujar Robi.

"Aku harus menemui presdir sendiri apa salah? Ini menyangkut perusahaan! Kalau perusahaan hancur kamu juga tidak akan bekerja lagi di sini!" bentaku yang tidak bisa menahan amarah.

Dia menunduk dan melangkah mundur selangkah. Aku teringat belum memberitahu Kayla. Takut dia khawatir aku mengirimkan pesan saja padanya.

Kayla aku ada di kantor, maaf aku tidak mengajakmu. Isi pesanku.

Aku langsung masuk. Aku berpapasan dengan bunga. Dia membungkuk memberi hormat. Lalu bergegas pergi, mungkin dia takut muncul gosip baru lagi. Aku pun melihat Rena sedang sibuk dengan pekerjaannya sampai dia tidak menyadari kehadiranku. Aku masuk lift, kebetulan sekali di lift kosong. Sampai di depan ruanganku dulu, Bayu memberitahuku bahwa ayah sedang ada di dalam bersama tamu. Tanpa aba-aba, aku langsung membuka pintu. Ayah dan seorang wanita terperanjat melihatku.

"Berani sekali kamu masuk tidak mengetuk pintu. Ke mana perginya Bayu? Bayu!" teriak ayah.

"Untuk apa memanggilnya? Aku yang menerobos masuk ke sini, tidak perlu bawa orang lain untuk di salahkan!" jawabku ketus.

Aku duduk di sofa menghadap ayah. Wanita itu menyeringai.

"Kamu ingat aku menantuku?" ucapnya.

"Aku tidak ada urusan dengan anda. Maaf anda boleh pergi sekarang karena ada hal yang ingin saya bicarakan dengan pak presdir," sahutku.

"Tidak sopan kamu! Dia calon mertuamu setelah kau bercerai dengan wanita murahan itu," timpas ayah yang membela wanita itu.

Sudah jelas itu adalah Karmila, ibu dari Sherlin. Aku hanya menatapnya datar.

"Ada urusan apa kamu datang ke mari?" tanya ayah.

"Aku datang karena meragukan kinerjamu. Bagaimana bisa kehilangan klien dalam kurun waktu yang begitu cepat? Apa saja yang kamu lakukan sampai mengalami kerugian seperti ini? Sampai meminjam dana pada perusahaan lain?" tanyaku..

"Oh, ternyata kamu diam-diam mengintai kinerja kantor. Ataukah kamu yang membuat perusahaan ini rugi? Dasar kurang ajar kamu!"

"Oh, tunggu sebentar. Ini alasan kamu memintaku untuk datang, Retno?" ucap Karmila. "Aku bisa memberimu uang yang kamu perlukan dengan syarat ..."

"Benarkah?" tanya ayah antusias.

"Ya, aku ingin putriku dibebaskan dan untuk membersihkan namanya dengan cara anakmu menikahi putriku dan menceraikan perempuan sialan itu," ucap Karmila.

"Tidak!" bentaku sambil menggebrak meja. "Aku tidak akan menceraikan istriku dan satu hal lagi, anakmu memang pantas untuk mendapatkannya."

"Berani-beraninya kamu bicara seperti itu tentang anakku!"

"Aditya! Jaga sopan santunmu! Siapa yang mengajarkanmu untuk melawan orang tua?" sahut ayah yang ikut berdiri.

Aku menatapnya tajam. "Tidakkah kau menyadarinya? Kau mengajari anakmu untuk melakukan hal yang dibenci oleh Tuhan? Di mana otakmu?" ujarku sambil menoyor pada keningnya. "Tak habis pikir Kenapa ibu mau menikahi pria seperti ini," gumamku.

Ayah memukul pipiku dengan cukup keras. Aku menggenggam kerah bajunya.

"Kau tidak pantas untuk menjadi seorang ayah! Tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya bercerai, bajingan!" teriakku lalu memukulnya bertubi-tubi.

Karmila berteriak meminta bantuan. Bayu segera masuk dan menarikku supaya berhenti memukulnya. Sungguh aku masih kesal dibuatnya. Aku melepaskan tangan Bayu yang masih memegangku, lalu merapikan pakaianku yang berantakan. Melihat di ujung bibir ayah berdarah.

"Mau berapa kali kau mengancamku, aku tidak akan melepaskan Kayla," ucapku ketus.

Terlihat ayah mengendus kesal. Aku pergi meninggalkannya dari pada harus ribut tidak jelas dengannya. Keluar dari lift, mataku langsung tertuju pada meja Rena. Dia menundukkan kepalanya di meja dengan bantalan tangannya yang disilangkan. Aku menyentuh bahunya. Dia menengadah dan matanya langsung berkaca-kaca. Memelukku.

"Aku senang melihatmu, kak. Ini bukan mimpi kan?"

Aku melepaskan pelukannya dan melihat pipinya sudah basah oleh air mata.

"Barusan klien memutuskan kontraknya lagi. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana, tugas kuliah juga belum selesai padahal besok deadline pengumpulan tugasnya," jelas Rena.

"Kamu tidak malu menangis di depan banyak orang?"

"Biarkan mereka tahu kalau aku capek. Ayah hanya menambah pekerjaan padaku! Aku setiap hari lembur aku juga butuh untuk tidur," lanjutnya dan menjadi pusat perhatian semua orang.

Aku menyuruh mereka melanjutkan pekerjaannya. Aku pun memeluk Rena untuk menenangkannya. Sudah ada tiga gelas kopi di atas mejanya. Menghela napas panjang.

"Kamu minum ini sehari tiga gelas?" tanyaku sambil menunjuk pada cup kopi.

Rena hanya mengangguk. Aku menyuruhnya untuk makan dan mengerjakan tugas kampusnya. Tidak tega melihat adikku satu-satunya itu bekerja sangat keras seperti itu. Aku memanggil petugas kebersihan untuk membersihkannya.

"Baik, pak. Saya bersihkan," katanya.

Saat mengambil cup, dia membuka pembicaraan denganku.

"Maaf, pak. Apa bapak akan kembali bekerja di sini?"

"Ada apa memangnya?"

Belakangan ini kantor sedang kacau pak. Pak presdir tidak sebaik bapak saat mengelola ini. Maaf jika saja lancang," ucapnya lalu pergi.