Aku mengajak Rival untuk pergi meninggalkan mereka berdua, hanya saja Rival masih ingin mendengar pembicaraan mereka berdua. Tidak di sangka Fikram pun keluar dan terkejut melihat kami yang ketahuan sedang menguping.
"Sedang apa kalian?" tanya Fikram melangkah mundur karena kaget.
"Tidak ada. Aku hanya ingin mendengar jawabanmu karena dia mengajakmu menikah," ejek Rival.
"Lagi pula buat apa kamu menunggu Tamy, dia juga sudah bertunangan dengan pria lain," kataku.
"Memangnya aku kurang apa perempuan itu? Aku lebih baik dari dia kan Dit?" tanya Vina sambil menghampiri kami.
Aku hanya menganggukkan kepala. Vina pun pergi sambil membawa nampan yang berisi beberapa gelas dan sepiring kue.
"Lihat Fik! Dia enggak meminta apa-apa dia langsung mengajakmu menikah tanpa tahu kamu," ujar Rival.
"Iya, meskipun dia agak kasar, dia tidak sekasar itu, dia peduli orangnya. Itu yang aku lihat," kataku.
"Aku hanya belum siap menjalin hubungan baru lagi," jawab Fikram.
Ibu datang mencariku. Dia memintaku untuk membelikan pembalut karena persediaan di rumah habis. Aku pun ke minimarket. Ketika sampai, aku tidak tahu pembalut mana yang sering di pakai oleh Kayla. Dari pada nanti harus balik lagi lebih baik aku tanyakan saja pada Kayla. Video call pun di angkat oleh Kayla.
"Aku lupa tidak menanyakannya tadi. Yang biasa kamu pakai yang mana?" membalikkan kamera belalang supaya Kayla bisa memilih.
"Nah yang itu saja," katanya.
"Ada yang ingin dibeli lagi sebelum aku membayarnya?" tanyaku.
"Belikan camilan Dit, untuk anak-anak," sahut kak Cintya.
Aku pun mengiyakannya. Mengambil beberapa pembalut dan beberapa camilan. Ketika aku akan pergi ke kasir, aku berpapasan dengan seorang perempuan, yang tidak lain mantan karyawanku. Dia sedikit terkejut melihatku.
"Pak Adit," ucap Bunga.
"Ah, kebetulan sekali kita bertemu di sini," kataku. Dia mengangguk dan tersenyum.
"Maaf pak sebelumnya, istri bapak sudah melahirkan? Karena terakhir bertemu dengannya beliau sedang hamil besar."
"Iya. Dia baru pulang dari rumah sakit."
"Selamat ya, pak."
"Terima kasih. Kamu sudah selesai berbelanjanya?"
"Ah, be-belum pak."
"Baiklah, silakan di lanjut berbelanjanya."
Dia kembali membungkukkan kepalanya tanda hormat. Selesai membayar, Bunga juga sudah berbelanjanya. Aku membayar belanjaannya sebagai tanda terima kasih karena telah membantuku mendapatkan bukti untuk menjebloskan Sherlin ke penjara. Bunga memang menolak awalnya, lalu dia pun menerimanya.
Kembali ke rumah. Di kamar, Kayla di temani oleh para wanita, yang tidak lain ibu, kakak-kakakku dan juga Vina. Vina berhenti bermain dengan anak-anak mungkin karena di sana ada Fikram yang sudah menolaknya. Sungguh malang.
"Biarkan istri dan bayiku istirahat. Besok lagi saja bergosipnya," ujarku ketika mendengar mereka tengah membicarakanku saat aku kecil.
"Kamu ini, biarkanlah ibu bercerita tentangmu pada istrimu sendiri," jawab ibu.
Sepertinya ibu dan juga kak Cintya sudah bisa mengakrabkan diri dengan Kayla. Ibu juga sampai memperhatikannya seperti saat kak Cintya melahirkan pertama kalinya.
"Kamu tidak malu membeli pembalut?" celetuk kak Tyas.
"Kenapa harus malu?" tanyaku heran.
"Suamiku dulu malu disuruh beli itu," jawab kak Tyas.
"Iya, ayah dulu juga seperti itu waktu melahirkan kamu Cin," timpas ibu.
"Benarkah?" tanya kak Cintya penasaran.
"Ayahmu kan memiliki gengsi yang besar, makanya dia menyuruh oleng lain untuk membelikannya," jawab ibu.
"Tidak baik bergosip di hadapan anak kecil, masih bayi pula," kataku.
"Ya sudah, iya. Kami pergi istirahat dulu."
Memang sudah malam, makanya aku bersikeras menyuruh mereka pergi. Karena dari sepulang di rumah sakit, Kayla belum beristirahat. Aku menutup pintu dan membalikkan badan, melihat Kayla tersenyum.
"Terima kasih, sayang. Aku benar-benar lelah, tetapi ibu begitu bersemangat mengurusku dan Clarisa," katanya.
Clarisa Nur Aini, nama yang aku berikan pada anak perempuanku. Aku tersenyum padanya lalu mengecup keningnya. Kayla membalas kecupanku di pipi. Clarisa memang sudah terlelap sedari tadi. Kasur pun di geser ke dekat tembok supaya tidak jatuh. Kayla menolak untuk dibelikan box bayi, katanya itu membuang uang dan lebih praktis jika Clarisa tidur di sampingnya karena lebih dekat dan tidak perlu turun dari kasur. Kayla memelukku. Sikap manjanya masih tidak hilang.
"Kamu tahu? Tadi temanmu mengajak Fikram untuk menikah ..."
"Benarkah?" sahutnya.
"Iya, tapi Fikram bilang belum siap untuk menjalin hubungan baru setelah diselingkuhi sama ceweknya."
"Oh, baru tahu. Vina juga sama diselingkuhi."
"Mungkin Fikram masih butuh waktu, untuk memutuskan akan menikahinya atau tidak. Meskipun tadi aku dengar dia menolaknya tapi jika sesuatu terjadi pada Vina dia pasti tidak akan tinggal diam."
"Iya, benar. Pantas saja dia tiba-tiba bawa minuman dan tetap di sini tadi, soalnya sebelumnya dia bilang akan bermain dengan anak-anak di luar sama Rena juga."
"Hanya Rena yang menemani anak-anak main tadi, dia sibuk bicara dengan Fikram di dapur. Sudahlah, lebih baik kita beristirahat sekarang."
Kayla mengecup kembali pipiku, kemudian terlelap dalam pelukanku. Aku selalu mensyukuri apa yang aku dapat sekarang, termasuk Kayla.
Terdengar keributan di luar. Aku beranjak dari tempat tidurku lalu keluar kamar. Tampak ayah sedang marah-marah di ruang tamu.
"Kenapa datang membawa keributan? Bukankah kau mengetahuinya sendiri di sini ada anak-anak yang sudah tidur?" ujarki begitu sampai ruang tamu.
"Tuan rumah datang juga akhirnya," ucapnya.
Di ruang tamu ada Rival, Fikram, ibu dan Rena.
"Kamu tidak ada sopan santunnya, di mana etikamu terhadap orang tua? Harusnya kau menyambut kedatanganku," celoteh ayah.
"Aku tidak menyambut orang yang tidak menyambut istriku juga jika kami berkunjung," jawabku.
"Ck! Apa hebatnya wanita murahan itu?"
"Dia lebih berharga dari pada perempuan pilihan ayah."
"Berani kamu menjawab!" Bentaknya.
Sungguh menyebalkan ribut di tengah malam. Aku jadi tidak bisa menikmati tidur malamku.
"Apa tujuan ayah datang kemari?" tanyaku tanpa berbasa-basi lagi.
"Ibumu pergi tanpa izin dariku, bukankah itu keterlaluan? Aku hanya akan membawanya pulang," jawabnya.
"Aku sudah bilang padamu bahwa aku akan pergi bersama Rena dan kau mengizinkannya," sahut ibu tak terima jika disalahkan.
"Berhenti membuat keributan. Kau bisa menginap di sini jika kau mau atau pergi dari tempat ini. Jika ingin tinggal, jangan membuat keributan," ucapku ketus dan memutar badan melenggangkan kaki untuk kembali ke kamar. "Rival tolong kunci pintu jika dia sudah membuat keputusan."
Aku memang sadang lelah apa lagi untuk bertengkar. Lebih baik aku membiarkannya dan aku istirahat lagi. Setibanya di kamar, Kayla terbangun dan sedang menyusui bayi mungil.
"Ada apa? Aku dengar ada ribut-ribut di luar," tanya kayla. Aku kembali duduk di ranjang.
"Ayah datang dan membuat keributan," jawabku
"Lalu? Apa ayah sudah pergi?"
"Tidak tahu, aku tidak begitu meladeninya. Aku malas jika harus berdebat dengannya sekarang."
Kayla meletakkan Clarisa di samping kanannya. Lalu mengajakku untuk tidur lagi karena masih malam.