webnovel

19. Lahiran

Beberapa minggu kemudian. Perkiraan dokter adalah sampai bulan ini tepat pada lusa. Sungguh aku tidak sabar melihat bayi yang tidak lain adalah anakku. Sudah satu minggu aku tidak berjualan.

"Mau makan apa sekarang?" tanyaku.

"Aku enggak tahu mau makan apa. Kamu dari tadi gelisah banget," kata Kayla.

"Sebentar lagi kamu akan melahirkan. Aku tidak tahu, aku tidak sabar menunggu kelahirannya."

"Aku juga sama sebenarnya. Aku tidak sabar untuk menggendongnya," kata Kayla tersenyum.

Aku merangkulnya hingga dia bersandar padaku. Merasa bosan menemaninya menonton aku membuka aplikasi game yang ada di ponsel. Ketika fokus bermain game, Kayla bilang ingin pergi ke toilet karena perutnya merasa mules.

"Perlu aku temani?" tanyaku dengan pandangan yang masih fokus pada game.

"Tidak, aku bisa sendiri. Lagi pula tidak harus naik turun tangga juga," jawabnya.

"Baiklah, hati-hati."

Kayla menciumku lalu beranjak dari tempat duduknya. Beberapa menit kemudian game pun berakhir.

"Yeah! Akhirnya menang. Eh, Kayla ke mana?"

Aku beranjak dan berniat untuk menyusul Kayla. Tapi Kayla tiba-tiba teriak memanggil namaku. Aku langsung berlari ke dapur di mana suara itu berasal.

"Sayang, tolong ...,"

"Kamu kenapa pipis di sini?"

"Ketubannya pecah bukan aku pipis di sini, kan tadi sudah pipisnya!" Bentaknya.

"Oh, sebentar," aku menarik kursi untuknya duduk dan membantunya untuk duduk. "Sebentar ya, aku minta bantuan terlebih dulu."

Kayla hanya mengangguk dan menahan rasa sakitnya. Aku menelepon Fikram untuk datang membawa mobilnya. Sambil menunggu, aku mengambil kain lap untuk membersihkannya. Fikram pun datang. Aku langsung menggendongnya, membawanya ke mobil Fikram.

"Fik, cepat! Istriku akan melahirkan," teriakku begitu aku duduk di bagian belakang sambil memegang tangan Kayla.

"Iya tenang! Aku jadi ikutan cemas juga," teriaknya. "Hei, beri jalan! Darurat! Ada yang mau melahirkan di mobil ini!" teriaknya kembali.

Para pengguna jalan pun mau mengerti dan memberi kami jalan. Hingga tiba di rumah sakit, perawat membawa Kayla ke ruangan. Aku tertahan oleh perawat untuk tetap menunggunya di luar ruangan.

Aku berjalan mondar-mandir, cemas. Fikram datang. Mengajakku untuk duduk. Aku pun duduk. Tapi tetap saja aku tidak tenang.

"Tidak usah gugup seperti itu, lebih baik kamu hubungi kakaknya, orang tuamu, temannya juga," kata Fikram.

"Astaga! Aku lupa." Aku langsung mengeluarkan ponsel dan menelepon Vina untuk membersihkan rumah Kayla yang belum selesai aku bereskan.

"Kenapa tiba-tiba? Apa terjadi sesuatu pada Kayla?" tanya Vina.

"Kayla sedang di rumah sakit sekarang. Dia akan segera melahirkan. Tolong bereskan saja dulu rumahnya, nanti kunci dan bawa kuncinya padaku, aku lupa tadi belum menguncinya."

"Baiklah. Kirim alamatnya nanti aku akan datang."

Aku mengiyakan lalu menutup teleponnya, dan segera menelepon ibu. Ibu sangat bahagia saat mengetahuinya. Dia bilang dia akan datang bersama Rena tentu saja karena ayah sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Lalu aku juga mengabari kak Cintya dan kak Tyas. Kak Cintya sedang di luar kota dan akan pulang setelah pekerjaan suaminya selesai. Sedangkan kak Tyas dia bahagia mendengarnya.

"Benarkan adikku akan melahirkan sekarang?" tanya kak Tyas yang begitu antusias.

"Iya, kak."

"Syukurlah. Nanti kami akan datang begitu pak suamiku pulang, ya? Kabari terus kalau terjadi apa-apa."

Kak Tyas pun menutup teleponnya. Perawat pun keluar. Memberitahu bahwa Kayla sudah baik-baik saja dan ruangan Kayla dipindahkan. Aku masuk ke ruangannya. Kayla tersenyum melihatku.

"Everthing its gonna be okay," katanya.

Aku tersenyum lalu mencium keningnya.

"Tadi perawat bilang aku sudah pembukaan empat. Cepat kan? Waktu kakak mau melahirkan lama loh," celotehnya.

Menarik kursi lalu duduk di samping ranjangnya. Aku menggenggam tangannya lalu mencium punggung tangannya.

"Sayang," panggil Kayla.

Aku memandangnya, mendengarkan dengan sesama.

"Maaf jika di antara kita ada yang pergi atau kami pergi," lanjutnya.

"Hus! Bicara apa kamu ini? Kalian berdua akan selamat. Percayalah. Aku tidak mau jika harus kehilangan kamu lagi."

Aku kembali mengecup keningnya untuk menenangkannya. Aku sangat tidak menyukai perkataan seperti itu, terlebih Kayla yang mengucapkannya. Pintu di ketuk. Aku membuka pintu, terlihat ibu dan Rena sudah tiba.

"Mana Kayla?" tanya ibu ketika aku membuka pintu.

Belum juga aku menjawab, ibu langsung menerobos masuk. Terlihat sekali ibu merasa senang sekali pun merasa cemas. Ibu membawa tas yang cukup besar.

"Ibu itu membawa apa?" tanyaku.

"Ini perlengkapan bayi. Kamu pasti tidak membawanya karena panik kan?"

Aku tersenyum. Memang benar aku panik tadi hingga aku lupa membawanya. Aku meminta Fikram untuk membersihkan rumahku, karena aku berniat untuk membawa anakku ke rumahku.

"Baiklah. Aku sekalian meminta Rival datang ke rumah untuk menemaniku, oke?" Kata Fikram.

"Oh, iya. Aku juga belum memberitahunya. Tolong ya!"

Fikram pun pergi. Sekarang aku merasakan hidup sederhana seperti Kayla Beberapa tahun lalu dan saat menikahinya aku maah jatuh miskin dan hanya bisa membahagiakannya dengan seadanya. Aku sangat beruntung menikahinya.

***

Terdengar suara bayi dari dalam ruangan. Hatiku merasa lega. Kayla masih terengah-engah dengan ketingat yang masih bercucuran.

"Terima kasih, sayang," kataku lalu mengecup keningnya.

Ketika Kayla akan melahirkan, aku menemaninya. Perawat pun membawa bayi itu dan memberikannya kepada Kayla untuk di susui.

"Cantik seperti ibunya," bisikku karena takut mengganggu bayi mungil nan menggemaskan itu.

Kayla tersenyum mendengarnya. Aku senang melihatnya. Di dalam ruangan juga hanya ada kita berdua, tidak. Bergita sekarang. Aku tidak membiarkan siapapun masuk sekarang karena aku tidak mau kegaduhan mereka membuat bayi mungilku terganggu.

Keesokannya. Kami pulang. Begitu ramai di rumahku, terlebih keponakan-keponakanku yang membuat gaduh karena berlari ke sana ke mari. Memang rumahku lebih besar dari pada Kayla.

"Selamat ya bro, sekarang sudah jadi ayah. Semoga jadi ayah yang baik," kata Rival sambil menepuk-nepuk pundakku.

"Ya, terima kasih. Sebentar, Fikram ke mana? Dia belum pulang kan?"

"Belumlah. Mana mungkin dia pergi tanpa pamit."

Farhan duduk di kursi karena merasa lelah bermain dengan teman barunya yang tidak lain adalah anak kak Cintya. Aku pun bertanya padanya.

"Farhan, kamu lihat teman om enggak?"

Dia diam seolah sedang mengingat sesuatu.

"Oh, yang lagi sama bi Vina ya?"

Terkejut mendengarnya aku dan Rival saling melempar pandangan satu sama lain. Lalu kembali melihat ke arah Farhan lagi.

"Kamu lihat mereka ada di mana?" tanyaku lagi.

"Di dapur."

"Oh, terima kasih ya. Om pergi dulu."

Rival menepuk-nepuk tanganku. Aku beranjak dari tempat duduk. Berniat akan memergoki mereka berdua. Aku dan Rival berjalan menyamping seperti kepiting. Mengendap-ngendap.

"Ayolah. Aku ingin tahu nomor ponselmu. Aku bisa saja meminta kepada Aditya," kata Vina.

"Untuk apa nomorku? Kita tidak sedekat itu," jawab Fikram.

"Aku tahu kamu belum menikah!"

"Memangnya apa urusannya denganmu?"

"Ayo kita menikah."

Aku dan Rival menahan tawa ketika mendengarnya. Tidak disangka, ada yang mengajaknya menikah. Terlebih yang mengajaknya itu perempuan.