webnovel

05. Koma

Naya seharusnya senang mengingat sejak hari pertama ia bangun sebagai Nika, Ben masih mau mengajaknya berdiskusi dan tak egois dalam mengambil keputusan dalam situasi seperti ini. Bahkan sampai di titik ini pula, laki-laki itu masih melibatkan Naya untuk mengambil setiap keputusan yang akan mereka ambil. Bukankah hal itu patut di apresiasi? Di saat ia sepenuhnya sedang bimbang untuk menimbang dan menimang jalan mana yang akan ia lalui sebagai seorang Nika. Bukan tanpa alasan, selain karena masih cukup shyok dengan apa yang ia alami, Naya juga memikirkan bahwa keputusan apapun yang akan ia ambil pasti memengaruhi kehidupan si pemilik tubuh di masa yang akan datang, sebab Naya yakin bahwa semua kejadian yang ia alami ini pasti akan berakhir entah kapan itu akan terjadi.

Yah, menurut novel dan drama Korea yang selama ini ia nikmati, hal-hal seperti ini akan terjadi.

"Ambil waktu secukup yang kamu mau, tapi jangan lupa kalau aku nggak bisa nunggu terlalu lama," kata Bentala pelan, tapi nada bicaranya yang santai itu selalu sukses membuat Naya terinimidasi.

Gadis itu menelan salivanya pelan, jemarinya sibuk memainkan pulpen di tangan dan menatap lembaran kertas kontrak yang belum ditandatangani itu dengan gamang. Sampai sedetik kemudian ia menarik kertas itu dan memasukkannya ke dalam tas.

"Oke, kamu bener ... Saya pasti butuh waktu," tegas gadis itu mengatakan kalimat tersebut untuk dirinya sendiri.

"Tapi, sebelum itu, saya mau minta tolong satu hal sama kamu." Tiba-tiba saja gadis itu mengalihkan tatapan sepenuhnya ke arah Bentala yang tengah memasukkan sepotong sushi ke dalam mulutnya.

"Bilang aja," balas Bentala tanpa menatap lawan bicaranya itu.

"Anter saya ke suatu tempat."

"Ke mana?" kontan kedua mata mereka saling bertemu saat Bentala mengangkat pandangannya dan bertemu dengan manik mata Naya yang berada dalam raga milik Nika.

***

Laki-laki berusia dua puluh lima tahun itu sekali lagi menghela napas bosan saat wajah seorang wanita kembali muncul di sebelahnya dengan senyum yang dibuat-buat. Nyaris saja Pandhu membanting ponsel keluaran terbaru yang sengaja ia beli untuk kebutuhan gamming, namun ia ingat pengorbanan untuk membeli ponsel itu. Pandhu sampai terkena tipes karena bekerja selama lima hari hampir tanpa tidur.

"Udah gila, ya, kamu?" sentak Pandhu berdiri dari kursi taman yang sepi.

Kebetulan letaknya memang tak jauh dari indeks, dan tempat ini memang tempat di mana Pandhu bermain game tanpa takut akan gangguan dari kakak atau ibunya.

"Pan, ini aku ... Naya," ujar Naya masih berusaha meyakinkan seseorang yang mengenalnya itu dengan tubuh Nika.

Jelas, orang mana yang akan mempercayai Naya semudah itu. Semua yang berada di posisi Pandhu pasti akan melakukan hal yang sama dengan pria itu.

"Jangan ngelindur, kamu pasti salah orang. Saya nggak kenal sama kamu," balas Pandhu lagi seraya bangkit dari posisi duduknya.

Laki-laki tinggi itu berjalan menjauhi Naya yang masih menarik ujung kaosnya dengan tatapan penuh harap.

"Oke-oke, kita nggak saling kenal," kata Naya cepat, "tapi, tolong aku sekali ini aja, ya?"

Mendengar ucapan itu kontan Pandhu menoleh dan mendapati sosok wanita asing yang sudah sejak setengah jam lalu mengganggu ketenangannya di taman untuk bermain game. Wanita konyol berambut sepundak yang mengaku bahwa dirinya adalah Naya. Ia menatap malas ke arah wanita itu sambil tersenyum.

"Nggak mau!" tekan Pandhu sebelum kemudian ia bergegas pergi meninggalkan Naya begitu saja.

Akan tetapi, siapa bilang Naya akan menyerah dan menangis begitu saja. Saat ia sudah datang ke kamar Indekosnya yang terkunci bersama Bentala, gadis itu bahkan tak menjumpai keberadaan dirinya di sana. Mini market tempat ia bekerja paruh waktu, di sana ia juga tak menjumpai Nika yang saat ini pasti menaungi tubuhnya.

Sebenarnya, ke mana Nika membawa tubuhnya pergi selarut ini?

Gadis itu berhenti untuk berpikir sejenak dan berlari menghampiri Pandhu yang sudah berjalan sejauh dua meter di depannya. Ia melemparkan sebuah pukulan keras di punggung cowok tinggi itu dan sukses membuatnya mengaduh sakit.

"Woi! Kamu ini udah beneran sinting, ya?!"

"Iya!" balas Naya tak kalah galak. "Anggap aja sekarang aku sinting, tapi sekali ini aja kamu harus bantu aku, atau ...," ucap Naya terhenti sejenak.

Ia menimang kembali pikiran yang melintas dalam kepalanya jika ia mengambil keputusan ini murni tanpa campur tangan Nika yang asli. Dan hal itu justru membuat Pandhu menatapnya heran sekaligus aneh. Laki-laki itu masing berusaha mengusap punggungnya yang terasa panas karena tamparan wanita tak dikenal itu.

"Atau apa?"

Naya tak langsung menjawab. Wanita itu menjambak rambutnya sendiri dengan gemas sekaligus frustrasi. Bersamaan dengan hal itu ia mendengar Pandhu menggerutu saat ponsel dalam saku celananya berdering panjang menandakan sebuah panggilan masuk.

"Anjrit! Siapa lagi, sih?" gumam Pandhu merasa kesal.

Namun, meski demikian ia tetap saja mengangkat panggilan tersebut dan segera menempelkan benda pipih di telinganya. Siapa tahu itu adalah klien yang akan menyewa jasanya lagi.

"Ya, Halo?" sapa Pandhu.

Untuk sesaat suasana di taman kecil itu cukup tenang setelah perdebatan Pandhu dan Naya.

"Benar, saya Pandhu temannya Naya. Ada apa, ya?"

Meski tak dapat menatap wajah Pandhu sepenuhnya dengan jelas, tapi saat ini Naya dapat menangkap nada khawatir dari laki-laki tinggi yang berada di sebelahnya itu.

"Baik, saya ke sana sekarang!" Laki-laki itu bergegas meninggalkan taman diikuti Naya yang berjalan cepat berusaha menyamai langkah Pandhu yang panjang.

"Kenapa? Naya kenapa? Bilang ada apa sama aku?" ucap gadis itu masih sambil memegangi lengan kaus Pandhu.

Hanya saja sepertinya laki-laki ini sudah sepenuhnya muak dengan keberadaan Naya yang menaungi tubuh Nika. Nyatanya Pandhu bahkan sampai menyentak tangan Nika dari lengannya sampai terhempas.

"Sialan lepasin!" teriak Pandhu, "jangan pernah muncul di depanku lagi!"

"Kamu Cuma tinggal bilang ada apa sama Naya!" sentak Naya balik tak kalah keras.

Kini kedua matanya sudah berair nyaris saja menangis karena frustrasi.

"Naya kecelakaan. Puas kamu," tegas Pandhu sebelum sedetik kemudian melesat pergi dengan kaki panjangnya meninggalkan Naya yang mematung dengan kedua bola mata yang sudah beriar.

Pipi putuhnya sudah basa dialiri air mata, ia kontan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Mendadak dadanya terasa sesak mendengar sepenggal kabar yang disampaikan oleh Pandhu barusan.

Sedangkan Bentala yang sedari tadi hanya mengamati dari kejauhan karena tak mau terlibat dengan urusan pribadi Nika, laki-laki itu akhirnya berlari kecil menghampiri Nika yang sudah berlinang air mata. Bentala benar-benar tak tau apa yang terjadi di antara dua orang yang mungkin saja sepasang kekasih ini sampai membuat Nika kenudian menangis seperti ini. Sebuah pemandangan yang tak biasa ia saksikan.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Bentala sambil memegangi kedua lengan Nika.

Sebab sejak kedatangannya tadi, Nika sudah oleng dan nyaris saja jatuh jika ia tak memeganginya.

"Kita ke rumah sakit sekarang," ujar Nika sesenggukan di sela tangisnya.

***

Seorang dokter baru saja keluar dari ruang pemulihan. Di mana tubuh asli Naya tengah terbaring di sana dengan mata tertutup. Sehingga hal itu sontak membuat ketiga orang yang sejak tadi berada di depan ruangan tersebut, tak terkecuali Bentala berjalan mendekat ke arah dokter.

"Nggak ada luka fisik yang serius, tapi terjadi pendarahan di otaknya karena pasien terlalu kelelahan dan sepertinya banyak terjaga di malam hari. Operasi kecil untuk mengeluarkan darah dari dalam otak pasien sudah berhasil, tapi kabar terburuknya adalah," ucap Dokter tersebut terhenti.

Pria paruh baya yang tampak bijaksana dengan setelan jas dokter itu menatap tubuh Naya yang terlelap di atas brankar diiringi helaan napas panjang yang terdengar berat.

"Ada apa, Dokter? Bukannya operasinya lancar, berarti dia akan segera bangun, 'kan?" tanya Naya yang berada dalam tubuh Nika tak sabaran.

Dokter itu menoleh ke arah Nika, lalu tersenyum sebentar.

"Kami sudah melakukan beberapa tes kepada pasien bernama Naya, tapi sayang sekali pasien dinyatakan koma," jelas Dokter tersebut sebelum kemudian ia beranjak permisi meninggalkan Pandhu, Nika, dan juga Bentala yang masih belum mengerti situasi yang sebenarnya.

Siapa gadis bernama Naya yang terus-menerus di sebutkan oleh Nika, dan hubungan seperti apa yang dimiliki Nika dengan gadis yang saat ini terbaring tak sadarkan diri itu. Sampai-sampai sukses membuat Nika berjongkok di lantai dengan tangis histeris.

'Aku koma?' batin Naya, 'nggak, ini nggak mungkin. Ini nggak boleh terjadi!'