webnovel

Pulang

Bab 15 - Pulang

Detik jam dinding yang berbunyi cukup keras mewarnai keheningan yang tercipta di antara kami bertiga. Baik aku, Kak Winda ataupun Mas Azzam saling berdiam diri sejak setengah jam yang lalu.

Aku menunggu keputusan yang akan diambil oleh Mas Azzam selanjutnya. Namun, sepertinya dia juga bingung memutuskan apa yang terbaik untuk kami.

"Bagaimana, Mas? Apa keputusanmu? Apa kamu akan menceraikan aku? Sebab tidak mungkin jika kamu menceraikan Kak Winda. Dia sedang hamil," tanyaku sambil memberi ide pada Mas Azzam.

"Tidak, Clara. Aku tahu kalau selama ini aku udah banyak salah sama kau dan Mas Azzam. Gak mau aku nambah dosa lagi, Mas Azzam pilih sajalah Clara!" kata Kak Winda mengejutkan aku dan Mas Azzam.

"Kak Winda, kamu ...." 

"Iya, Ra. Udah sadar aku, tapi selama anak ini belum lahir. Mas Azzam masih tinggal sama aku, ya! Kalau udah lahir nanti, baru Mas Azzam tinggal sama kau, Ra," potong Kak Winda.

"Kok kamu diam saja, Mas. Apa keputusanmu?" tanyaku dengan gemas karena Mas Azzam hanya berdiam diri saja sejak tadi.

"Aku ikut saja keputusan kalian. Apa yang terbaik, aku akan menerimanya," jawabnya santai.

"Gak bisa gitu, dong, Mas. Kamu itu kepala rumah tangga, imam kami. Seharusnya kamu yang memutuskan. Bukannya malah pasrah. Jadi cowok, kok, gak ada tegasnya sama sekali."

Aku kesal dengan sikap pasrahnya, sungguh mengecewakan sikap Mas Azzam kali ini. Dia lebih suka bermain aman, itu terbukti waktu dijodohkan denganku. 

Bukannya menolak malah menurut saja dengan alasan takut durhaka pada orang tua. 

Mas Azzam masih bergeming dengan kata-kataku, membuatku semakin kesal. Aku pun berdiri bermaksud hendak pulang ke rumahku. Namun, sebelumnya aku harus meluruskan masalah ini agar jelas sejelas-jelasnya.

"Begini saja, Mas. Karena Mas gak bisa atau gak mau memberi keputusan. Aku saja yang mundur, besok aku akan pulang ke rumah Mama dan Papa!" 

Selesai berkata begitu, aku pun berbalik dan keluar dari rumah Kak Winda. 

"Dek, tunggu dulu! Kakak saja yang mundur!" teriak Kak Winda sambil mengejarku. 

Aku pun berhenti, takutnya dia jatuh karena terburu-buru mengejarku.

"Kalau Kakak mau mundur juga, itu hak Kakak. Aku gak mau lagi punya suami plin-plan, gak punya pendirian kayak Mas Azzam!" kataku. 

Kak Winda pun tampaknya mengerti, dia tak mengejar lagi saat aku berlalu dari hadapannya.

**

Seperti janjiku kemarin, pagi-pagi sekali aku sudah bersiap pergi ke bandara. Kak Neti yang menemaniku menunggu taksi datang terkejut dengan keputusanku. 

"Apa gak bisa diubah lagi keputusan kau itu, Dek. Jadi berpisah lah kita, ya?" tanya Kak Neti yang terdengar seperti keluhan di telingaku 

"Iya, Kak. Aku muak dengan sikap Mas Azzam!" jawabku. 

"Iya, Dek. Kakak aja heran mendengar cerita kau tadi. Baiklah, hati-hatilah kau di jalan. Komunikasi kita jangan putus sampai di sini, ya. Kalau ada apa-apa kau kasih tahu Kakak!" pesan Kak Neti sambil memelukku. 

Taksi yang kupesan sudah datang, Kak Neti melepasku dengan sedih. Saat taksi mulai bergerak, aku melihat ke arah rumah Kak Winda. 

Masih tertutup rapat, pasti mereka belum bangun. Apa lagi hari ini adalah hari libur. 

Perlahan, taksi mulai bergerak menjauh membawaku ke bandara untuk terbang ke rumah orang tuaku. 

Entah bagaimana reaksi mereka melihat kedatanganku nanti.

---

Seperti dugaanku tadi, keluargaku kaget melihat kedatanganku sepagi itu di rumah mereka. 

Mama menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. Hatiku mendadak khawatir dengan kesehatan Mama. 

"Lindungilah mamaku, Ya, Allah," ucapku dalam hati. 

"Clara, kamu kenapa. Mana Azzam?" tanya Mama. 

Matanya menatapku tanpa berkedip. Aku menoleh pada Papa yang kelihatan santai, tak seperti saat aku menolak keinginannya menjodohkan aku dulu. 

"Clara baru sampai, masih capek. Biar dia istirahat dulu, Mama juga istirahat, ya. Tadi katanya capek juga, kan?" bujuk Papa. 

Aku menatap takjub pada papaku, mengapa sekarang begitu perhatian padaku. Biasanya dia yang tak sabaran jika ada sesuatu yang mengganggunya. 

"Iya, Ma. Aku capek banget. Kita ngobrolnya nanti saja, ya?" Aku berjongkok di depan Mama. 

Beliau mengelus lembut rambutku, kemudian mengangguk. Papa pun membawa Mama ke kamarnya. Tak lama kemudian dia keluar kembali dan mengajakku bicara di teras rumah.

"Mama mana, Pa. Apa sudah tidur?" tanyaku memastikan saja.

Papa mengangguk lalu sebelum aku mengadu padanya, malah dia yang meminta maaf padaku.

"Maafkan Papa, Clara. Papa sudah egois memaksa kamu menerima perjodohan itu tempo hari. Papa menyesal!" 

"Ma-maksudnya, Papa sudah tahu semuanya. Kalau Mas Azzam itu ...." Aku menggantung kalimatku.

"Iya, Ra. Papa mertua kamu yang sudah menceritakan kenyataan sebenarnya. Namun, Papa tak bisa menyalahkan mereka juga sepenuhnya. Mereka juga baru tahu hal itu, kan?" 

"Iya, Pa. A-apa Mama juga sudah tahu?" tanyaku penasaran.

Papa menggeleng, katanya Mama belum tahu hal ini. 

"Melihat kamu pulang dengan membawa semua pakaianmu, apa Azzam memilih wanita itu?" 

"Tidak, Pa. Aku pulang karena inisiatifku sendiri. Mas Azzam serakah, dia tak ingin memilih salah satu di antara kami. Katanya biar saja seperti ini terus. Aku marah lalu memutuskan kalau aku yang mengalah. Aku tak mau hidup seperti itu terus, Pa!" Aku bercerita sambil menangis.

Papa memelukku dengan penuh kasih sayang, beliau membelai rambutku perlahan.

"Papa mengerti, nanti Papa yang akan mengurus semuanya. Papa menyesal menjodohkan kamu dengan Azzam. Kalau sejak dulu Papa tahu dia sudah punya istri, tentu akan ...." 

Kalimat Papa terhenti karena kami mendengar suara benda jatuh di balik pintu depan. Aku bergegas masuk dan berteriak histeris melihat tubuh Mama yang tergeletak di lantai.

"Papa! Mama pingsan!" teriakku kencang.

Papa masuk dengan tergopoh-gopoh dan langsung mengangkat tubuh Mama lalu membaringkannya di sofa. 

"Ma, bangun, Ma!" 

Kami berusaha menyadarkan Mama, tapi tak berhasil. Akhirnya kami putuskan membawa Mama ke rumah sakit. 

Mama segera ditangani oleh dokter di ruang IGD. Aku dan Papa menunggu di luar dengan gelisah. Aku tak mengerti mengapa Mama bisa pingsan di ruang tamu. 

"Jangan-jangan, Mama mendengar semua pembicaraan kita tadi, Pa. Mama pura-pura tidur lalu diam-diam keluar kamarnya untuk menguping," kataku pada Papa yang juga berpikiran seperti itu. 

Aku semakin khawatir dengan keadaan Mama, pasti penyakitnya kambuh karena kaget mendengar apa yang aku alami sebenarnya. 

Semoga saja beliau kuat dan kembali pulih seperti biasanya. 

"Suster, bagaimana keadaan Mama saya?" tanyaku pada seorang suster yang baru keluar dari dalam ruang IGD.

"Masih dalam pemeriksaan Dokter Imam Syahputra., Mbak. Sabar dulu, ya," jawab suster dengan ramah. 

"Dokter Imam? Bukankah biasanya Dokter Abdi yang menangani istri saya, Sus?" tanya Papa heran.

"Dokter Abdi sedang menghadiri seminar di Bandung, Pak. Jadi sementara yang bertugas di sini Dokter Imam," jawab suster itu lalu permisi untuk melanjutkan pekerjaannya. 

Terpaksa kami menunggu lagi dengan cemas. Sementara aku merasa pernah mendengar nama dokter itu.

"Apa dia orang yang sama dengan dia?" batinku. 

Tak sabar rasanya melihat rupa dari Dokter Imam. Aku penasaran dengan sosoknya dan tak lama keinginanku terkabul.

Dokter yang kami tunggu pun keluar dari ruang IGD.

"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" 

"Alhamdulillah, istri Bapak sudah sadar dan sekarang ingin bertemu dengan kalian," jawab Dokter Imam sambil membuka masker yang dipakainya. 

Jantungku serasa berhenti berdetak melihat wajahnya. Ternyata memang benar dia orangnya.

"Umami!" panggilku tanpa sadar. 

Dia pun melihatku lalu tersenyum dengan manisnya.

"Rara!" 

Bersambung.