Hari itu Lea tidak masuk kantor, dia lebih memilih membawa Bi ke dokter specialis kanker di kota besar itu.
Rasa kawatir nya membuat nya sesekali bergetar, dia takut akan kehilangan Bi lagi.
"Dokter apa yang bisa kita lalukan untuk menyembuhkan suami saya?" Lea bertanya sambil menahan tangis nya.
"Begini buk, tidak banyak hal yang bisa kita lakukan saat kanker sudah menyerang seperti ini, apa lagi ini adalah tahap akhir kanker. Kita bisa lakukan kemoterapi dan obat lain nya, tapi itu juga memiliki resiko bagi pasien"
"Jadi apa yang harus kita lakukan dok, saya mau suami saya sembuh" Lea ngotot tidak mau diam menunggu akhir hidup suami nya.
"Pertama bapak Bimo harus di rawat di rumah sakit, kita bisa lakukan pengobatan pada umumnya, setidaknya memperlambat kematian dan penyebaran yang semakin cepat"
"Dok lakukan yang terbaik, saya akan bayar semua" Lea menghapus air mata nya yang berjatuhan.
"Kita akan lakukan yang terbaik buk" dokter berkata lirih ke arah Bi dan Lea yang tampak terpukul.
Setelah mengurus perawatan Bi yang akan di lakukan di rumah sakit itu, Lea tampak menelepon seseorang dan menangis seolah bercerita apa yang di alaminya.
"Sayang kamu telepon siapa? "Bi yang tampak lemah dan pucat datang ke arah Lea.
"Ahkk...aku telepon mami sayang, ayok kamu ngapain di sini kamu harus berbaring aku ga mau kamu makin sakit" Lea nenuntun Bi ke tempat tidur nya.
"Sayang kalau aku mati apa kamu akan lupa dengan ku?"
"Aku ga suka kamu nanya hal hal yang gak masuk akal gitu Bi."
"Aku cuma mau tau, apa kamu bakalan lupa?"
"Aku gak akan lupa aku akan selalu sayang Bi" Lea menangis di pelukan Bi, membayangkan bagaimana dia tampa Bi.
Lea duduk di samping Bi yang tampak tidur pulas setelah meminum beberapa obat.
Sambil mengusap pipi air matanya tak terasa jatuh, bagaimana tidak orang yang di baru saja menjadi suaminya dan baru saja kembali harus di uji lagi dengan penyakit itu.
Lea menggenggam tangan Bi seraya berdoa dalam hati, agar ada kesembuhan untuk suami nya itu walaupun dokter berkata kesempatan sembuh sangat tipis.
Tok tok...pintu berbunyi.
Lea melirik dan melihat Bu rena di sana.
"Mi kita ngobrol di luar aja ya" Lea menggandeng tangan Bu Rena dan membawanya ke kursi yang berada di luar kamar Bi.
"Sayang gimana kabar Bi?" Bu Rena bertanya kawatir.
"Mi..Lea gak tau harus gimana lagi, kita harus bawa Bi ke rumah sakit yang lebih besar mi" Lea memohon pada Bu Rena
"Rumah sakit itu kurang baik menurut mu?" Bu rena bertanya.
"Lea gak tau mi, tapi kalau tidak ada perubahan Lea bakalan bawa Bi kalau perlu ke luar negri mi" Lea mulai meneteskan air mata nya.
"Ia sayang..apapun yang kamu rasa baik mami mendukung kamu dan Bimo, mami sayang kalian berdua"
"Mi tolong jangan kasih tau kabar buruk ini dulu ke mama "
"Bu Septi sayang?"
"Ia mi..aku ga mau mama nya Bimo panik dengar kabar buruk ini apa lagi papa juga lagi sakit" Lea meminta pengertian Bu Rena.
"Ia ia sayang..kalianlah yang harus menjelaskan keadaan Bimo, kalau mami yang sampaikan mami takut Bu Septi gak terima"
"Ia mi" Lea mengangguk pelan.
"Jadi bagaimana pengobatan nya?"
"Hari ini Bi di rawat biasa mi di kasih obat kimia untuk menghancurkan sebagian sel-sel kanker itu. Mungkin besok baru bisa di lakukan kemoterapi tapi tadi dokter jelasin kalau kemoterapi bisa saja memperburuk keadaan karna kekebalan tubuh Bi bakalan menurun mi"
"Sayang kamu harus kuat, kamu harus dukung Bi jangan sampai dia sedih ngelihat kamu kek gini" Bu Rena mengelus punggung Lea pelan.
"Mi kenapa seolah Tuhan gak berhenti misahin aku sama Bi"
"Itu cobaan sayang supaya cinta kalian semakin kuat, kamu jangan pernah menyerah ya"
"Ia mi.. Lea bakalan jaga Bi, dia harus sembuh mi"
"Ia Bimo pasti sembuh jangan kawatir sayang"
Sepanjang hari Bu Rena menemani Lea menunggu Bimo bangun dari tidur nya.
Setelah terbangun Bu Rena berpamitan pulang pada Lea dan Bi, Bi yang tampak lemah seolah bahagia melihat Bu Rena datang dan memberi semangat.
"Mami pulang dulu ya sayang" Bu Rena mencium Lea dan menyalam Bi.
"Hati hati mi" Lea berpesan singkat.
"Hati-hati mi" Bimo tersenyum ke orangtua baru nya itu.
"Ia Bimo, kamu cepat sembuh ya"
Langkah Bu Rena sampai di ujung pintu, pintu di buka dan Bu Rena melangkah menuju parkiran. Sepangjang jalan Bu Rena mengusap pipi nya air mata yang di tahan nya sejak tadi tumpah melihat keadaan Bi dan Lea hati nya hancur.
"Sayang kamu udah makan?" Bi bertanya pelan pada Lea.
"Udah sayang, tadi aku makan bareng mami"
"Baguslah jangan sampe kamu sakit juga ya," Bi berkata pelan pada Lea.
"Gak aku bakalan sehat dan jagain kamu" Lea tersenyum melihat Bi.
"Kamu gak ke kantor?"
"Aku udah suruh Sea ngatur semua, aku ga bisa ninggalin kamu sendiri"
"Gak apa apa sayang pergi aja sebentar waktu aku tidur"
"Aku bisa ngurus kerjaan di sini, aku ga akan ninggalin kamu" Lea mengelus pipi Bi lembut.
"Makasih sayang, aku ga tau gimana jadinya aku tampa kamu"
"Kita harus semangat ya, kamu harus sembuh" Lea tersenyum tapi air mata nya membasahi pipi.
"Ia aku harus sembuh untuk kamu" Bi mengusap pipi Lea lembut.
Lea yang duduk di sofa kamar Bi melihat sesekali ke arah Bi yang sudah tertidur lagi, efek obat membuat Bi banyak tidur.
Lea yang tampak sibuk dengan file-file dan pikiran tentang sakit yang di alami Bi membuat nya tidak fokus bekerja.
Lea mencoba menutup file kerja dan membuka situs-situs pengobatan kanker dalam negri maupun luar negri, mata nya tertuju pada salah satu situs yang memuat rumah sakit yang baik untuk mangatasi penyakit kanker di singapura.
Setelah melihat lihat lea tertarik untuk membawa Bi ke sana.
Setelah mandi Lea kembali duduk di sofa sambil melihat Bi, kamar VIP yang di pesan Lea membuat nya sedikit bisa bersantai setidaknya mengurangi hiruk-pikuk di ruangan yang bisa mengganggu pasien.
Setelah makan malam Bi bercerita sedikit dengan Lea lalu tertidur lagi. Lea mencoba mengurus keperluan kantor sampai larut malam dan tertidur di sofa itu.
Perasaan yang kawatir dan badan yang letih membuatnya tertidur.
Hari yang melelahkan dan hati yang hancur.