webnovel

Makan Malam Sederhana

Pelajaran pertama sore itu baru akan usai saat dua orang dayang tergopoh-gopoh mendatangi ruangan tempat Pangeran Arya dan Nalini berada. Mereka menghaturkan sembah pada Arya dan cepat menyampaikan maksudnya.

"Ampun, Pangeran Arya sudah ditunggu Ndoro Putri Bintari di ruangan dalam." Mereka mengucapkan itu dengan suara yang sengaja dikeraskan agar Nalini mendengarnya. Sekilas lirikan tajam mereka menyuruh tabib muda itu untuk segera pergi.

"Oh aku ditunggu? Aku tak ada rencana bertemu dia. Tadinya aku mau langsung pulang saja," ujar Arya Dhipa tanpa basi-basi.

Pangeran itu justru memandang pada Nalini yang sudah bersiap meninggalkan tempat itu. "Terima kasih, Pangeran Arya. Hamba undur diri dahulu. Ada baiknya Pangeran bertemu dengan Ndoro Putri sebagai pemilik rumah," ucap Nalini hati-hati. Dalam gerakan yang samar mata kirinya berkedip, memberikan kode agar Arya Dhipa menuruti permintaan para dayang itu.

Arya Dhipa beranjak dari duduknya dan meninggalkan Nalini. "Baiklah, aku ke ruangan dalam sekarang. Tabib muda, jangan lupa hafalkan yang sudah aku ajarkan."

Pangeran Arya keluar dari ruangan itu diikuti oleh dua dayang yang tersenyum senang karena berhasil menjalankan tugasnya. Salah seorang dari mereka melemparkan senyum sinis pada Nalini yang masih diam tertunduk.

Nalini baru berani beranjak dari tempat duduknya setelah Pangeran Arya dan dua dayang Putri Bintari menghilang dari pandangannya. Ditariknya nafas panjang dan buru-buru pergi meninggalkan ruangan belajar.

Malam sudah mulai turun. Penjaga rumah tabib agung mulai menyalakan api obor di beberapa sudut agar tidak gelap. Nalini berjalan cepat melitasi mereka. Ia ingin cepat sampai di tempat tinggalnya sendiri.

Nyai Sarala menyambut kedatangan Nalini dengan senyum lebar. Ada seulas kelegaan terbaca di sana. "Akhirnya kamu datang juga, Nduk."

Nalini membungkukkan badannya seraya menangkupkan kedua tangannya. "Iya, Ndoro. Mohon maaf sampai malam baru pulang."

Nalini memutar pandangannya ke sekeliling. Para abdi dalem yang tinggal dan tidur di ruangan itu semuanya sudah berkumpul. Mereka saling berbisik dan bertanya-tanya siapa gadis muda itu.

Sadar menjadi pusat perhatian, Nalini maju dan bersalaman dengan mereka satu persatu sambil memperkenalkan dirinya.

Diperlakukan dengan baik dan santun, para dayang dan emban yang ada di sana tampak senang. Meski masih muda dan cantik tapi Nalini bukanlah saingan mereka melainkan kawan baru. Tak salah jika Nyai Sarala memperlakukan dia dengan baik dan jelas terkesan menjaganya.

Ada sekitar sepuluh abdi dalem di ruangan itu, jadi berdua belas dengan Nyai Sarala dan Nalini. Rata-rata mereka sudah berusia setengah baya.

Nalini mencoba akrab dengan mereka satu persatu dan menanyakan asal usulnya. Ternyata mereka berasal dari desa-desa yang ada di sekitar kotapraja. Mereka bisa masuk ke rumah itu karena saudara atau keluarganya yang sudah lebih dulu mengabdi di sana.

Obrolan Nalini dan para emban sesekali diselingi ;''tawa dan canda. Ruangan yang biasanya sepi mendadak jadi terasa hangat dan ramai.

"Permisi semua, ada apa ini ramai sekali?" sebuah suara yang sudah dikenal Nalini terdengar dari pintu depan yang terbuka.

Radmila yang berbaju kebaya bunga-bunga terlihat sudah berdiri di sana. Satu dayang terlihat mengiringinya dengan membawa bakul berisi makanan yang dibungkus daun pisang.

Perempuan nyentrik itu memberi isyarat pada dayang itu agar segera membaginya pada semua orang yang ada di dalam ruangan. Rupanya itulah saatnya mereka makan malam. Makan malam para abdi dalem akan dibungkus menggunakan daun pisang dan dibagi secara rata.

Nalini menerima satu bungkus yang diulurkan padanya dengan gembira. Setelah mengucapkan terima kasih, ia membukanya dan mulai makan bersama abdi dalem yang lain.

Radmila menyusul duduk di sebelah Nalini setelah pekerjaannya selesai. Ia khusus mengambilkan makanan untuk Nyai Sarala dan melayani keperluannya. Dibalik perilakunya yang sulit diatur, Radmila adalah seorang anak yang berbakti.

"Bagaimana hari ini?" tanya Radmila pada Nalini sambil mengunyah makanan. Tanpa sungkan, ia ikut makan di tengah-tengah mereka.

Nalini sejenak menghentikan suapannya agar bisa menyambut Radmila dengan senyuman. Ia merasakan hatinya gembira tiap kali bertemu dengan ndoro putri yang satu itu.

"Baik. Sangat baik, Mbakyu." Nalini menjawab sembari menggeser sedikit duduknya, memberi ruang pada Radmila.

"Baguslah kalau begitu. Aku harap kamu bisa betah berada di sini."

Nalini meneruskan makannya pelan-pelan. Ia teringat dengan ucapan Pangeran Arya yang mengajaknya bertugas dua minggu ke depan. 'Haruskah aku bercerita pada Mbakyu Mila?' tanya gadis itu dalam hati. Namu, ia masih ragu.

"Kenapa diam saja, apa kau mulai kangen ibumu?" tanya Radmila melihat Nalini tak kunjung segera menjawab pertanyaannya.

"Oh, iya. Tentu saja aku kangen simbokku, Mbakyu." Nalini menjawab cepat. Memang benar saat malam menjelang begini ia akan merindukan ibunya. Apakah Simbok baik-baik saja di sana?

"Sudah tak apa-apa. Nanti kalau kamu tidak ada kegiatan di sini, aku antarkan ke sana. Aku juga sudah lama sekali tidak bertemu dengan Ratu Padma. Kamu bawa aku menemuinya ya!" ucap Radmila penuh harap.

Bertemu raja dan ratu bukan perkara mudah, tidak semua orang memiliki keberuntungan berjumpa dengan mereka. Hanya keluarga, pejabat atau abdi dalem yang mengurusi mereka yang bisa menemuinya.

"Benarkah itu, Mbakyu? Kamu bisa mengantarkan aku pulang jika ada waktu?" tanya Nalini kaget bercampur senang.

"Ya, tentu saja. Aku bisa mengantarkanmu. Kabari aku jika kamu mau pergi ke Ndalem Kaputren," ucap Radmila sambil melipat daun pisang bungkus makanan. Ia sudah selesai makan.

Nalini mengacungkan ibu jarinya tanda setuju. Ia melihat para emban lain juga sudah selesai makan. Gadis itu buru-buru menghabiskan sisa makanannya. Menu makan malam itu sederhana saja. Sekepal nasi putih, tempe panggang dan tumis kecipir. Cukup untuk mengenyangkan perut.

Radmila kembali pada ibunya dan meneruskan melayaninya. Nalini tersenyum melihatnya. Ia merasa beruntung bisa bertemu dengan orang sebaik itu.

"Ndoro Putri Mila berbakti sekali pada ibunya. Dia juga baik pada orang rendahan seperti kami. Sayang sampai sekarang dia belum menemukan jodohnya," ucap seorang emban di samping kiri Nalini.

Nalini menoleh padanya dan tersenyum kecil. Ia bingung bagaimana hendak menanggapi omongan itu. Yang ia tahu, Mbakyu Mila seorang idealis yang melampui jamannya. Hanya lelaki yang bisa memahaminya yang akan dijadikan suaminya.

"Iya, Ndoro Mila memang baik. Kita doakan saja ya, Bi. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini dia menemukan pria yang ccok untuknya." Nalini berusaha bijak menanggapi.

"Betul, Nduk. Bagaimana pun seorang perempuan yang sudah dewasa ada baiknya segera menikah saja." Emban yang lain ikut menyela.

Sekali lagi Nalini merasa tersudut dan hanya bisa melemparkan senyum tipis. Dia pun sebenarnya sudah cukup umur tapi sama sekali belum berpikir untuk menikah.

"Sudah-sudah, jangan bergosip lagi. Aku mendengarnya," ucap Radmila mendatangi mereka.