webnovel

Kepeng Emas dari Ratu Padma

Melihat kesungguhan Nalini, Mbok Dhira tersenyum tipis. Ada rasa bangga sekaligus cemas memenuhi ruang hatinya.

"Kamu mau membuktikan kalau Simbokmu ini tak bersalah?" tanya Nyai Dhira sembari mengangkat alisnya. Ia sendiri tak pernah berpikir untuk melakukan itu.

"Iya, Mbok. Aku akan buktikan pada orang-orang dusun kalau Nyai Dhira, simbokku, tak bersalah. Mereka yang sakit itu terjangkit wabah, bukan diracun," tegas Nalini menjawab. Matanya berkilat menunjukkan semangat yang terpancar dari dadanya.

Nyai Dhira diam saja. Ia tak tahu apa yang ada dalam pikiran anaknya. Anak gadisnya itu memang berbeda dari kebanyakan perempuan seusianya.

Mereka berdua melanjutkan kesibukannya menyiapkan jamu untuk Kanjeng Ratu Padma.

Beberapa emban lain yang berada di dapur istana itu satu persatu mulai berkenalan dengan mereka. Sama seperti Nyai Dhira dan Nalini, mereka juga berasal dari dusun-dusun dan dibawa masuk ke istana oleh kerabatnya. Masing-masing memiliki tugas yang berbeda, ada yang bertugas memasak, ada pula yang bekerja bersih-bersih atau merawat taman.

Nalini kini mengerti kenapa rumah rumah dan taman di setiap sudut kota praja tertata dengan rapi dan indah.

Tiba saat sarapan pagi, para emban yang bertugas sudah siap dengan menu sarapan dan lauk yang menggugah selera. Nyai Dhira dan Nalini pun bersiap di barisan belakang. Satu kendi berisi air putih dan jamu beserta cangkirnya berada di tangan keduanya.

Iring-iringan dayang istana itu bergerak perlahan menuju kamar Ratu Padma. Jalannya seragam dan seperti sudah diatur. Nalini dan Mbok Dhira sering kali menengok ke teman-temannya meniru cara mereka berjalan.

"Ssst, kalian menunduklah," bisik seorang dayang yang ada di samping Nalini. Ia merasa terganggu melihat gadis itu celingukan sedari tadi.

Nalini meringis serasa mengangguk meminta maaf. 'Sesulit ini rupanya menjadi dayang istana, jalan saja harus ada aturannya', keluh hatinya.

Ratu Padma terlihat sudah menunggu mereka di dalam kamarnya. Ia sudah bergantian pakaian. Wajahnya sedikit lebih cerah dan tidak kusut lagi. Senyumnya lemah menyambut para dayang yang masuk.

Tanpa banyak berkata-kata, ia menerima suguhan para dayang dan memakannya sedikit. Begitupun dengan jamu yang dibawa Nyai Dhira. Ratu itu hanya menelannya seteguk saja. Nyai Dhira hendak mengingatkan junjungannya agar meminum habis tetapi buru-buru disenggol emban di sampingnya. Aturan di istana, para dayang tak boleh menyela atau bersikap kurang ajar pada keluarga raja.

Selesai menyajikan sarapan, para dayang dan emban kembali ke posisinya masing-masing. Mereka makan bersama di dapur sambil bersenda gurau. Suasana ramai yang jarang dijumpai Nalini dan ibunya. Dua perempuan itu lebih sering mendengarkan daripada menyela gurauan mereka.

Meskipun hanya melayani seorang ratu, abdi dalem di Ndalem Kaputren tampak sibuk sepanjang hari. Nalini jarang melihat mereka duduk berleha-leha. Kalaupun sedang tidak ada kerjaan, mereka akan duduk di sudut-sudut istana yang sudah ditentukan. Mereka duduk bersimpuh dan siap menunggu perintah kapan saja.

Tak terasa sudah beberapa pekan Nyai Dhira dan Nalini menjadi emban sekaligus tabib yang melayani Ratu Padma. Mereka mulai terbiasa dengan segala kerepotan dan aturan di tempat istimewa tersebut.

Kesehatan Ratu Padma mulai berangsur membaik. Tubuh sang ratu berangsur mulai berisi lagi meskipun sesekali ia masih mengalami batuk rejan.

Suatu siang, sang ratu memanggil Nyai Dhira dan Nalini menghadapnya secara khusus. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan pada mereka berdua.

Nyai Dhira dan Nalini berjalan tergopoh-gopoh mendatangi kediaman Ratu Padma. Ada sebersit rasa takut menggelayut di pikiran mereka. Bagaimana jika ratu tak berkenan dengan pelayanan mereka selama ini? Nyai Dhira tampak mengelap keringat dingin yang menetes di dahinya.

Di dalam ruangannya, Ratu Padma sudah duduk di kursi kebesarannya menunggu mereka. Senyumnya mengembang tatkala melihat keduanya bersimpuh di depannya.

"Bangunlah, Nyai. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap sang ratu memberi perintah.

Nyai Dhira dan Nalini segera duduk tegak tapi kepalanya masih menunduk. Mereka siap menunggu kalimat selanjutnya dari Ratu Padma.

"Mohon ampun, Kanjeng Ratu. Ada apa memanggil kami?" ucap Nyai Dhira seraya menyembah. Ia memberanikan diri bertanya dan mengeraskan suaranya agar bisa didengar.

"Nyai, bukankah kamu lihat? Sekarang aku sudah semakin sehat. Berat badanku mulai naik. Kepalaku pun jarang merasakan pusing lagi. Jamu apa yang kamu gunakan untuk mengobatiku?" tanya sang ratu.

Mendengar pertanyaan sang ratu, wajah Nyai Dhira dan Nalini seketika cerah. Ada kelegaan yang jelas terpancar dari sana. Mereka lalu berpandangan sejenak sebelum menjawab.

"Ampun, Kanjeng Ratu. Kami hanya menggunakan rimpang seperti biasanya. Ada jahe, kunyit, temulawak dan bahan obat batuk lain. Juga gingseng untuk menambah stamina," jawab Nyai Dhira.

"Iya, aku tahu, Nyai. Tapi kalian hebat, aku hanya meminum seteguk jamu yang pahit itu dan terasa khasiatnya," ujar sang ratu dengan senang. Senyumnya kembali merekah.

"Kami menggunakan sedikit air saja saat membuat jamu, sehingga larutan jamu itu lebih pekat lalu kami saring. Jadi, meskipun Kanjeng Ratu meminumnya sedikit, itu sudah cukup untuk menjadi obat yang manjur," jelas Nyai Dhira.

Kanjeng Ratu Padma tampak puas mendengar penjelasan itu. Ia mengangguk-angguk dan memberi isyarat pada emban yang ada di samping kanannya untuk mendekat.

Emban yang sudah tua itu mendekat sembari membawa kantong kain kecil. Sang Ratu menerimanya lalu mengambilkan dua kepeng emas dan mengulurkannya pada Nyai Dhira dan Nalini.

"Terimalah ini sebagai tanda terima kasihku. Kalian sudah merawat aku dengan baik. Aku harap bisa benar-benar sembuh dengan pertolongan dari kalian," ucap sang ratu. Ucapannya lembut dan terdengar tulus di telinga.

Tangan Nyai Dhira dan Nalini gemetar menerima hadiah itu. Baru kali ini mereka melihat dan menggenggam kepeng emas. Mereka tahu betapa berharganya benda kecil itu.

"Beribu-ribu terima kasih kami haturkan untuk, Kanjeng Ratu," ucap Nyai Dhira seraya bersujud dan menyembah Ratu Padma. Nalini mengikuti apa yang dilakukan oleh ibunya. Hatinya campur aduk menerima kebaikan Ratu Padma.

"Sudah-sudah, kalian berdirilah. Itu hanya tanda terima kasih kecil dariku. Jika maharaja mendengar aku sudah sembuh, aku yakin kalian akan menerima anugerah yang lebih besar lagi," ucap Ratu Padma dengan ceria. Ia tahu, suaminya adalah raja yang sangat perhatian.

"Oh ya, aku sedang berbaik hati. Jika kalian punya permintaan padaku, katakanlah. Aku akan mewujudkannya," titah sang ratu lagi. Ia sudah kembali duduk di kursinya dengan anggun.

Nyai Dhira dan Nalini saling berpandangan. Permintaan? Apa abdi dalem pantas mengajukan permintaan?

Emban ketua yang berada di depan mereka kemudian memberikan arahan. "Mintalah apa saja yang ingin kalian dapatkan tapi perhatikan batas kesopanan," ucapnya dengan tatapan tegas memperingatkan. Sebagai emban ketua, tugasnya memang mengendalikan para abdi dalem agar tak melanggar batas.

Nalini mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia merasa inilah saatnya keinginan terbesarnya diungkapkan di depan sang ratu. Ia menatap pada ibunya dan mengangguk. 'Aku akan memintanya pada sang ratu, Mbok'. Itulah isyarat yang disampaikan Nalini pada ibunya.

Nyai Dhira mengangguk menyetujui. Ia tahu putrinya tak akan kelewat batas.

"Ampun, Kanjeng Ratu. Putriku ini, dia ingin sekali menjadi tabib yang mumpuni. Ia ingin belajar ilmu pengobatan istana agar bisa menyembuhkan lebih banyak orang," ujar Nyai Dhira seraya menunduk.

"Oh bagus sekali itu. Namamu Nalini bukan?" tanya Ratu Padma. "Katakan padaku, apa yang ingin kamu pelajari," ujar sang ratu. Tatapan mata lembutnya menyapa gadis muda di depannya.

"Ampun, Ratu. Saya ingin belajar membaca dan mempelajari ilmu pengobatan dari kitab-para tabib yang ada di kota praja ini," ucap Nalini takut-takut. Bibirnya gemetar mengucapkan itu.

"Kamu hanya meminta itu? Baiklah, aku akan mengabulkannya. Di istana ini memang ada tabib agung, mereka memiliki tempat sendiri. Aku akan mengirimkanmu ke sana," ucap sang ratu dengan ringan. Baginya itu permintaan ringan dan berguna di masa depan.

"Terima kasih, Kanjeng Ratu. Terima kasih." Nalini berulangkali bersujud dan menyembah. Ia senang sekali permintaanya dikabulkan.

"Sebentar, tadi kamu bilang tak bisa membaca? Lalu bagaimana mau mempelajar kitab-kitab ilmu pengobatan?" tanya sang ratu sedikit heran.

Nalini kembali kebingungan tapi tekadnya sudah bulat. Ia yakin sekali dengan apa yang diinginkannya. "Hamba akan belajar membaca, Ratu," ucapnya.

"Oh begitu, baiklah. Silakan. Kamu akan belajar membaca aksara pada guru siapa? Ada beberapa guru di istana ini. Mereka mengajari putra putri kerajaan yang masih kecil. Kamu mau belajar dengan mereka?" tanya Ratu Padma sedikit geli. Senyum kecil terukir di bibirnya.

Nalini terdiam sebentar. Ia kembali gamang, apakah pantas dirinya yang hanya seorang dayang dan sudah dewasa ikut belajar dengan anak-anak?

Di tengah kebingungannya, Nalini mendengar suara dari arah belakang. Suara yang samar-samar sudah mulai dilupakannya.

"Aku yang akan mengajarinya, Kanjeng Ratu." Suara berat yang khas dari Arya Dipa.

Nalini menoleh. Ia seolah tak percaya sosok pemuda itu sudah berdiri di belakang mereka. "Pangeran Arya?"