webnovel

Bab 8

Akhirnya

"Mau jenguk siapa, neng?"

Clara yang awalnya melamun menatap sekitar, segera menoleh dan menatap bagian belakang sopir dengan pandangan linglung.

Sopir taksi yang melihat Clara dari kaca spion depan, kembali mengulang pertanyaannya. "Ke rumah sakit mau jenguk siapa, neng?"

"Oh, temen sekolah, pak." jawab Clara.

Sore ini setelah pulang sekolah, Clara berniat menjenguk Cakra yang sudah dirawat tiga hari di rumah sakit. Dan tiga hari itu pula Clara merasa bersalah. Sudah tahu Cakra itu polos, ia masih saja berkata sarkasme hingga dianggap serius oleh laki-laki itu.

Clara memutuskan untuk merawat laki-laki childish itu selama berada di rumah sakit. Setiap pulang sekolah, dia akan pergi menemui Cakra—yang tentunya akan disambut dengan sangat antusias oleh laki-laki itu.

"Makasih, pak."

Clara menutup pintu mobil lalu kemudian masuk ke dalam lobi rumah sakit. Dia bergegas dengan langkah lebar dikarenakan ia sudah terlambat setengah jam dari waktu biasanya ia datang.

Kaki kanan Clara baru saja melangkah ke ruangan Cakra dirawat. Namun suara teriakan Cakra langsung membombardirnya.

"Clara!! Clara kemana aja! Cakra dari tadi nungguin Clara! Cakra panik tahu! Clara nggak mikirin perasaanya Cakra! Nggak–&#$)¥£¶∆$?!"

Tangan Clara dengan cepat membungkam bibir Cakra agar omelan laki-laki itu bisa berhenti.

Alhasil mata bulat Cakra melotot imut, sekilas seperti kucing yang tengah marah.

"Tadi gue ada urusan di sekolah." jawab Clara belum menarik tangannya. Waspada kalau Cakra akan kembali mengomel.

Cakra yang masih telungkup di ranjang, mendengus kesal. Punggungnya yang mengalami luka yang tidak bisa dibilang ringan, membuat laki-laki itu harus berbaring telungkup. 1

Melihat telapak tangan Clara yang masih berada di bibirnya, Cakra menjulurkan lidahnya dan menjilat telapak tangan gadis itu.

"Cakra!"

Clara spontan menarik tangannya lalu mengusapkan ke roknya. Dahinya mengernyit ketika ia merasa tidak jijik, dan hanya merasa geli saja.

"Clara lucu, deh." Bibir Cakra mengulas senyum cemerlang dengan mata penuh binar.

Clara tak menjawab. Bola matanya bergulir dan tak sengaja melihat semangkok bubur yang tampak tak tersentuh. Dia langsung mendelik ke arah Cakra, "Lo belum makan?"

Kepala Cakra menggeleng spontan. Dia menatap Clara penuh harap, "Cakra nungguin Clara."

"Kenapa nungguin gue?" tanya Clara yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.

"Minta suap."

Mendengus, Clara mengambil bubur tadi dan duduk di kursi samping ranjang. "Manja."

"Cakra manjanya cuma sama Clara doang, kok." ucap Cakra tulus.

Tak menjawab, Clara mengaduk bubur yang tampaknya sudah dingin itu. Tidak enak sebenarnya kalau bubur sudah dingin, tapi siapa suruh Cakra tidak memakannya sedari tadi?

Clara menyendok bubur dan menyuapi Cakra. "Aaa.."

Cakra membuka lebar mulutnya dan langsung menerima suapan dari Clara. Mereka persis seperti ibu yang sedang menyuapi anaknya yang masih balita.

"Buburnya enak banget, Clara! Ini bubur terenak di dunia!" ujar Cakra berlebihan.

Bibir Clara merengut, "Bubur dingin gini kok enak."

"Apapun yang disuapin sama Clara, itu makanan terenak di dunia!"

"Lebay."

Cakra hanya terkikik, merasa gemas dengan Clara. Padahal gadis itu hanya menampilkan raut wajah sebal.

"Mama mana?" tanya Clara kemudian. Di baru sadar kalau sedari tadi tak mendapati perempuan yang melahirkan Cakra tersebut.

Cakra sempat berpikir sebentar, "Tadi mama pamit pulang, terus tadi kayaknya bilang kalau mau ngurus Bang Galah."

"Bang Galah emang kenapa?"

Cakra mengangkat bahunya acuh tak acuh. Dia malahan merengutkan bibir kesal, "Clara nggak usah kepo sama Bang Galah. Cakra nggak suka!"

Setelah berkata demikian, Cakra memalingkan wajah. Bersembunyi dari penglihatan Clara. Merajuk!

Hal itu membuat Clara ingin meledak, tapi mengingat kondisi laki-laki itu, Clara menghembuskan napasnya mencoba bersabar.

Clara mengulurkan tangannya guna memencet hidung Cakra lalu menggoyangkannya. "Ulu ulu~ Cakranya Clara ngambek."

"Ish, Clara, sakit!" Cakra mengerang dan dengan cepat kembali menoleh, membuat Clara harus menarik kembali tangannya.

"Clara jahat!" Pipi Cakra menggembung kesal dengan hidung yang tampak merah menggemaskan. Tangannya terulur hendak meraih wajah Clara, tapi sayangnya tidak sampai.

"Clara maju dikit, dong! Cakra mau ngomong penting!"

Mendengarnya, Clara tidak bisa untuk tidak mendelik curiga. Tapi mengingat laki-laki ini yang tidak akan berani melakukan hal yang aneh-aneh, Clara patuh mendekatkan wajahnya.

Dan saat itu pula, Cakra menyeringai dan langsung menjepit bibir Clara dengan jarinya.

Anjir! Clara mengumpat dalam hati dan reflek mencubit keras lengan Cakra hingga membuat laki-laki itu mengerang. Alhasil cubitan Cakra di bibir Clara menjadi terlepas.

"Aduh, sakit! Clara jahat, ish!" teriak Cakra sambil menggoyangkan kedua kakinya ke segala arah. Dia cemberut, tapi Clara malah tergelak.

"Siapa suruh cubit bibir gue. Kalo ntar bibir gue jadi monyong, lo mau tanggung jawab?!"

Ekspresi wajah Cakra langsung berubah secepat kilat. Bibirnya yang melengkung ke bawah, dengan cepat mengulas senyum ceria. "Cakra mau! Kan rasanya nanti masih sama."

"Mesum!"

"Gak apa-apa, mesumnya Cakra kan cuma sama Clara."

Clara menggertakan giginya, merasa gemas akan ucapan Cakra. Semenjak laki-laki itu tidak masuk sekolah, jujur Clara merasa ada sesuatu yang kurang. Seharusnya ia merasa tenang karena tidak ada lagi yang mengganggunya. Tapi ini malah berkebalikan.

"Clara, Cakra mau apel." ucap Cakra sambil menunjuk piring di nakas yang berisi buah-buahan.

"Apel yang ijo, Clara!" interupsi Cakra ketika Clara mengambil apel merah.

"Yang ijo itu rada asem." ujar Clara. Memang benar, apel hijau itu rata-rata rasanya sedikit masam. Dan Clara takutnya kalau Cakra tidak tahu.

"Kalau apel merah itu manis, Clara. Makan apel manis sama ngeliat Clara yang super manis, nanti Cakra diabetes. Kalau Cakra diabetes, ntar yang ngejagain Clara siapa?"

Mendengarnya hati Clara tidak bisa untuk tidak menghangat. Semburat merah terlihat samar di kedua pipinya, yang sering orang sebut dengan blushing. Sejenak, Clara tidak dapat berkata-kata.

"Ih, merah." Cakra menoel pipi Clara tiba-tiba. "Comel, deh."

Membuat Clara dengan cepat menunduk guna menyembunyikan rona merah di pipinya. Jantungnya berdetak kencang, membuatnya merasa bingung mengapa bisa demikian. Akhirnya untuk mengalihkan perhatian, Clara segera mengupas apel hijau yang diminta Cakra. Tapi karena pikirannya yang tak bisa fokus, tajamnya pisau menggores telunjuk Clara.

"Ahk!"

Dahi Clara mengernyit, dia sedikit meringis. Tapi Cakra yang heboh.

"Clara!! Kok bisa gini?! Sakit nggak! Hati-hati dong, Clara!"

Cakra kalang kabut, dia dengan panik mencoba menjangkau Clara, tak memedulikan punggungnya yang terasa sakit karena bergerak terlalu banyak.

Saat berhasil menjangkau tangan Clara, dia segera memasukkan telunjuk gadis itu ke mulutnya. Cakra pernah mendengar kalau air liur itu dapat menyembuhkan luka.

Clara terdiam. Melihat raut wajah Cakra yang panik, Clara tidak bisa untuk tidak tersentuh. Normalnya, ia pasti akan mengejek laki-laki itu karena terlalu berlebihan. Tapi kali ini tidak, justru malah terbersit perasaan senang.

"Udah nggak apa-apa. Cuman perih dikit doang, kok." Tangan Clara dengan sendirinya mengusap lembut rambut Cakra, berusaha menenangkannya.

"Lepas, gue mau nyari plester luka dulu." ujar Clara sambil menarik telunjuknya dari mulut Cakra.

Dia segera bangkit keluar mencari plester luka, meninggalkan Cakra yang merengut sedih di ranjang rumah sakit. Mata laki-laki itu memanas, merasa sedih.

Tak sengaja, netra bulat Cakra melihat pisau buah yang berada di dekatnya. Dia mengambil benda itu dengan penuh kebencian.

Di lain sisi, Clara mengucap terima kasih kepada perawat yang sudah memberinya plester luka. Setelah memakainya sendiri, Clara bergegas kembali ke ruangan Cakra.

Suasana hati Clara sangatlah baik, bahkan seolah ada kupu-kupu yang berterbangan dari perutnya. Entah mengapa raut panik Cakra selalu terbayang-bayang di pikirannya, membuatnya senyum-senyum sendiri.

Clara membuka pintu ruangan Cakra, melihat ke dalam, senyuman Clara langsung luntur seketika.

Bagaimana tidak? Darah tampak berceceran membasahi kasur dimana darah tersebut berasal dari tangan Cakra.

"Cakra!"

Clara dengan cepat menarik tangan Cakra dan melihat luka goresan panjang di telapak tangan laki-laki itu.

Cakra tersenyum tapi tidak tersenyum. "Kalo Clara sakit, maka Cakra juga harus sakit." 1

Mendengarnya, Clara tidak bisa untuk tidak merasa geram. Apa bocah ini sudah gila? "Sinting lo!"

"Cakra sinting cuma untuk Clara." jawab Cakra dengan bibir mengulas senyum, tapi matanya tampak dingin.

Clara menggertakan giginya, "Lo nggak boleh kayak gitu lagi!"

Alis Cakra terangkat sebelah, matanya tampak acuh tak acuh. "Emangnya Clara siapanya Cakra? Kok ngatur-ngatur?"

Clara sempat tertegun. Benar, ia bukan siapa-siapanya Cakra. Mengumpulkan keberanian, akhirnya dengan penuh tekad Clara berkata "Kalo gitu, mulai sekarang lo jadi pacar gue!" 2

Cakra menatap Clara ragu, "Beneran?"

"He'em. Dan lo harus nurutin semua kata gue!"

Baru saja berkata demikian, binar di mata Cakra mulai kembali. Dia langsung menarik tangan Clara dan memeluknya dengan tangannya yang berdarah. "Cakra sayang banget sama Clara."

Dipeluk demikian, Clara sempat membeku. Tapi perlahan, ia balas memeluk Cakra.

"Gue juga sayang sama lo." .

.

.

TBC.

Kembali menyapa