webnovel

Bab 7

Petang baru saja tiba, kota Palangkaraya mulai ramai akan manusia yang dominan baru pulang dari kerja. Setidaknya itulah yang dilihat Clara selepas keluar dari komplek rumahnya.

Sore ini Clara berencana pergi ke supermarket. Bahan-bahan untuk masak dan juga isi kulkas sudah mulai menipis, harus segera diisi supaya tidak kehabisan. Soalnya Clara saat malam hari sering terbangun karena perutnya yang berbunyi, tidak lucu jika tidak ada pengganjal perut pada saat itu.

"Udah sore, masih aja panas." Clara bergumam setelah turun dari mobilnya. Dia menoleh ke dalam mobil, "Pak Dirman, bapak pulang duluan aja. Nanti aku kabari kalo udah selesai, soalnya aku belanjanya lama."

Setelah mendapat jempolan dari sang sopir, Clara segera melenggang masuk ke dalam supermarket.

"Selamat datang di Betamart." Kasir supermarket langsung memberi sambutan ramah, yang dibalas dengan senyuman tipis dari Clara. Setelah itu, Clara dengan cepat mencari barang yang sudah dia tulis di selembar kertas. Kalau tidak ditulis, nanti dia lupa.

"Daging mana daging?"

Clara menjulurkan kepalanya mencari daging sapi dan mengambilnya ketika sudah menemukan. Begitu seterusnya sampai akhirnya dia mencoret semua bahan mentah yang sudah dia dapat.

"Eh, ada bininya Cakra." Suara serak-serak basah milik Bondan terdengar tepat di samping telinga Clara. Membuat cewek itu spontan menjauh dan memukul lengan Bondan. Kemunculan cowok itu yang terlalu tiba-tiba hampir membuat Clara jantungan di tempat.

"Ngagetin gue aja lo!" ujar Clara kesal. Dia tidak takut memarahi Bondan yang penampilannya bak seorang preman itu. Bondan kan sahabatnya Cakra, jadi Clara tidak takut jika cowok itu akan menyakitinya.

"Abis serius amat belanjanya, mending ke hotel bareng gua. Kita mantap-mantap asoy!"

Mata Clara langsung membulat ketika mendengar ucapan Bondan yang tidak pernah disaring. Damn, cowok ini!

"Mati aja lo sana!" teriak Clara sembari meninju bahu Bondan. Selain Cakra, dia paling kesal jika harus bertemu dengan cowok berandalan ini. Sifat dan gayanya yang urakan itulah penyebabnya. Untung saja Bondan tidak sekolah, kalau seandainya dia sekolah dan bersekolah di tempatnya, hancur sudah hari-hari Clara.

"Woleslah, cuk. Galak amat, nggak dinafkahin sama Cakra yak?" tanya Bondan basa-basi.

Clara mendengus. Dia? Jadi istrinya Cakra? Hahahahaha.. Big no!

"Ngapain lo kesini? Belanja juga kagak." ujar Clara mengalihkan topik pembicaraan. Dia berujar demikian juga karena melihat Bondan tidak membawa apa-apa.

"Yang bilang gua kesini belanja siapa?" tanya Bondan balik. "Udah ah, gue mau lanjut nyopet. Bye!"

Clara hanya menggelengkan kepalanya dengan mata tak beralih dari Bondan yang melenggang pergi. Dia tahu kalau ucapan Bondan barusan hanyalah candaan belaka. Walaupun berandalan, tetapi dia tidak mencopet.

Tersadar akan belanjaannya yang masih kurang, Clara segera melupakan Bondan dan lanjut mencari kebutuhannya yang lain. Kebutuhan yang tidak bukan adalah merica bubuk dan sejenisnya. Clara itu suka yang instan-instan, biar masaknya juga tidak ribet.

"Aduh, mana nih merica bubuk."

Dahi Clara mengernyit dengan mata terfokus mencari deretan bumbu dapur. Dia terus bergerak ke samping sampai-sampai menabrak orang di sebelahnya.

"Ah, maaf sa—"

Lirikan mata setajam elang langsung membuat ucapan Clara terhenti. Ekspresi wajah sedingin es yang tidak disukai Clara otomatis membuat cewek itu menggigil di tempat.

"Ga-garda?"

Yang dipanggil hanya melirik sekilas sebelum dengan acuh tak acuh mengambil kemasan kopi bubuk.

Clara sendiri tidak ingin berkata apapun lagi. Sebaliknya dia bergerak sedikit menjauh karena takut. Berdekatan dengan Garda itu selalu membuatnya merinding akibat aura mengintimidasi yang selalu mengelilingi cowok itu.

Wtf! Merica bubuk kemana sih elo?! Batin Clara menjerit kuat.

Mata Clara mengedar ke deretan botol di depannya guna mencari merica bubuk yang tidak kunjung ketemu. Terkadang ia sempat melirik Garda yang sedang bermain ponsel tak jauh dari posisinya.

Kenapa tuh cowok nggak cepet pergi coba?

Akhirnya Clara lelah mencari. Dia menghela napas sembari menyeka keningnya yang berkeringat. Sebelum mendapat kejutan dari sesuatu yang tiba-tiba menimpuk kepalanya dengan cukup keras.

"Aduh!" Clara reflek mengaduh lalu melihat sebuah botol yang menggelinding di dekat kakinya.

"Apaan nih?" Clara mengambil botol itu yang ternyata adalah botol merica bubuk. Ha?

Clara otomatis mendongak, dan dia hanya mendapati punggung lebar Garda yang bergerak menjauh.

.

.

.

"Ponsel gue abis batre."

Clara mendesah meratapi nasibnya. Dia kembali menaruh ponselnya di saku lalu melihat ke sekitar. Ia tidak bisa menghubungi Pak Dirman, kalaupun naik taksi pasti akan menunggu lama. Dan setelah berpikir lebih lanjut, Clara memutuskan untuk berjalan kaki ke rumahnya yang berjarak lima kilometer dari supermarket.

Berjalan kaki untuk Clara yang jarang berolahraga terdengar sangat berat. Dia dapat dengan mudah mengetahui kalau baru separuh perjalanan nanti, dia sudah kelelahan.

"Udah jam enam lebih." gumam Clara setelah melihat jam tangannya sekilas. Ah, seharusnya ia tidak menyuruh Pak Dirman pulang terlebih dahulu.

"Mampus, ada si balita." ujar Clara panik saat melihat sosok Cakra yang baru saja keluar dari toko boneka. Nggak boleh lihat pokoknya! Nggak boleh lihat!

Tanpa menunggu untuk ketahuan, Clara dengan cepat bersembunyi di balik pohon tepi trotoar. Batinnya terus berharap kalau Cakra tidak melihatnya dan ia bisa bebas pulang.

Sebenarnya kalau dalam keadaan normal, tidak masalah jika bertemu dengan Cakra pada saat sekarang. Soalnya dia bisa mendapat tumpangan untuk pulang ke rumah. Hanya saja gara-gara kejadian Cakra menangis kemarin itu, dia sedang tidak ingin bertemu. Ia sedang ingin menenangkan diri dan merenungi kebodohannya. Mengapa? Saat Cakra menangis kemarin, ia berjanji untuk tidak berdekatan dengan cowok lain selain Cakra. Shit!

"Yes, dia udah pergi." Clara mendesah lega ketika Cakra sudah melajukan motornya pergi. Cewek itupun akhirnya melanjutkan langkahnya untuk pulang.

Tapi mungkin ini merupakan jodoh, Cakra tiba-tiba saja muncul dari belakang dengan motornya. Alhasil Clara menjadi panik, ia mau lari tapi rasanya hal itu merupakan tindakan bodoh. Jadi dengan pasrah akhirnya Clara diam di tempatnya. Menunggu Cakra yang memarkirkan motor di sampingnya.

"Clara kok jalan kaki sih? Abis darimana? Kenapa engga telepon Cakra? Kenapa engga bareng sopirnya Clara? Clara nggak capek apa jalan kaki?" Cakra langsung menyiram Clara dengan berbagai pertanyaan.

Clara memutar bola mata dan tidak menjawab pertanyaan dari Cakra. Dia malah langsung membonceng Cakra di belakang. Tapi akhirnya ia menjawab saat Cakra mendelik ke arahnya, "Dari supermarket, ponsel gue mati."

"Makanya Clara, kalo mau keluar itu ponselnya dicas dulu. Nanti kalo ada apa-apa gimana?"

Clara menarik telinga Cakra dari belakang. "Iya-iya. Ayo buruan ah, jalan!"

"Iya." Dengan menurut, Cakra melajukan motornya. "Maaf Clara, Cakra lagi nggak bawa helm. Kita mampir ke toko helm dulu gimana?"

"Nggak usah, rumah gue kan deket. Lagian ngabisin duit tau nggak!"

"Tapi Clara, sekarang itu rawan kecelakaan. Kita harus antisisapi, musibah itukan kalo dateng nggak bilang-bilang dulu."

"Ya kali dia ngomong, maaf permisi, saya musibah, saya mau nimpa anda, terima kasih ya." cibir Clara. "Lagian yang bener itu antisipasi kali! Antisisapi mbahmu kiper!"

Mendengarnya, Cakra malah tergelak. "Clara lucu ih. Cakra jadi tambah sayang!"

Kali ini Clara tidak menjawab. Dia beralih mengeratkan pegangannya pada pinggang Cakra ketika kecepatan motor dirasa bertambah. Tahu dianya kalau Cakra sengaja supaya dia jadi lengket sama bocah ini.

"Kurang kenceng, Cak! Kurang kenceng!" ucap Clara bermaksud menyindir.

Namun yang disindir rupanya tidak merasa, Cakra malahan menambah kecepatan motor trail-nya. Alhasil Clara menjadi takut karena kecepatan dan juga suaranya yang menggelegar.

"Gimana, Clara? Udah kenceng kan?" Cakra menoleh ke belakang, menatap Clara yang membulat shock.

"Di depan ada lampu merah Cakra!!" teriak Clara saat melihat deretan kendaraan yang berhenti di depan.

Cakra segera menoleh ke depan. Dia langsung mengerem dan membanting setang ke arah trotoar. Sebelum motornya menabrak pohon, Cakra dengan sigap menarik tubuh Clara lalu memeluknya kuat terutama di bagian kepala, dan kemudian Cakra membawa mereka jatuh dengan badan Cakra yang menghantam trotoar terlebih dahulu sebelum akhirnya berguling.

"Ngh.. "

Clara mengerang saat merasakan punggungnya sedikit sakit. Ia membuka matanya dan tubuhnya langsung bergetar saat melihat kondisi Cakra. Cowok itu masih mempertahankan kesadarannya, namun kepalanya berdarah dan sisi wajahnya lecet-lecet. Mata cowok itu berlinang air mata, tampak sangat sedih dan juga tertekan.

"Clara, maafin Cakra."