webnovel

Bab 6

Deru suara motor trail terdengar memekakan telinga dan suaranya memenuhi pekarangan rumah besar bergaya eropa. Sang pengendara yang tidak lain adalah Cakra turun dari motornya setelah berhenti di depan garasi. Bedanya, dia tidak turun sendiri, melainkan bersama dengan Clara yang terpaksa ikut cowok itu pulang.

Kalau bukan karena buku-buku PR miliknya di rumah Cakra, Clara tidak akan mau ikut cowok itu pulang. Selama ini PR Clara memang selalu dikerjakan oleh Cakra, cowok itu sendiri yang menawari. Clara sih oke-oke saja.

"Pokoknya abis ngambil buku, gue langsung balik." ujar Clara sembari merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

Dahi Cakra berkerut, tapi tidak merespon perkataan Clara. Sebaliknya, dia malah memegang tangan Clara lalu menggandengnya. "Ayo masuk, Clara."

Pintu besar dari kayu jati terbuka lebar ketika Cakra membuka knop pintu. Dia dan Clara melenggang masuk ke dalam rumah yang sepi.

"Cakra pulang!" Sudah menjadi kebiasaan Cakra saat tiba di rumah, dia akan mengatakan hal itu.

Suara Cakra tadi mendapat tanggapan dari seorang wanita paruh baya. Wanita yang familier di mata Clara karena dia merupakan mama kandung Cakra. Wanita dengan wajah penuh tipuan, terlalu awet muda!

"Sudah pulang, nak? Eh, ada Clara juga." Mama Cakra tersenyum lebar. Celemek yang dikenakan wanita itu membuat Clara bisa tahu kalau beliau baru saja memasak.

Mama Clara menghampiri Clara lalu memeluknya. Cakra yang berada di sebelah mereka, reflek mengernyit tak suka.

"Mama bau daging, ih. Jangan peluk Clara!" Tangan Cakra bergerak memisahkan pelukan mereka.

Yang kontan mendapat pelototan dari Clara dan juga cubitan di pipi dari Mama Cakra. "Mama balikin ke perut baru tau rasa kamu!"

"Ayo Clara duduk." Mama Cakra menarik Clara agar duduk di sofa ruang tamu dengan Cakra yang mengekor di belakang.

"Temenin Claranya! Mama mau nerusin masak dulu." ucap Mama Cakra kepada anak bungsunya. Lalu kemudian menoleh pada Clara. "Maaf ya, tante nggak bisa nemenin."

"Santai aja, tante. Kan masih ada Cakra." jawab Clara sembari mengulas senyum tipis. Dan langsung luntur ketika Mama Cakra sudah berjalan kembali ke dapur. Menyisakan Clara dan Cakra yang duduk sejajar.

"Clara mah gitu. Sama orang lain senyum-senyum mulu, tapi kalo sama Cakra nggak pernah senyum." Cakra mengernyit sedih.

Tapi hal itu tak memengaruhi Clara. Cewek itu menjawab jutek, "Suka-suka gue lah. Memangnya lo itu siapa berani ngatur-ngatur gue?"

Terdiam. Dahi Cakra tampak berkerut memikirkan sesuatu. "Ah, iya. Cakra kan bukan siapa-siapanya Clara."

Awalnya gumaman Cakra itu membuat Clara menghela napas lega, namun semua itu sekejap berubah saat cowok itu tiba-tiba mencondongkan wajahnya mendekat. Dengan mata penuh binar harapan, dia berkata dengan semangat.

"Kalo begitu Clara jadi tunangan Cakra aja! Jadi kita ada hubungan apa-apa."

Mata Clara membulat kaget. What? Tunangan? Pacaran saja ia tidak mau! Dewi batin Clara memprotes keras.

"Tunangan apa?" Bariton suara kalem terdengar bersamaan dengan seorang laki-laki yang turun dari tangga. Kehadirannya membuat Cakra berdecak kesal dan Clara tersenyum cerah.

"Ish, Bang Galah ganggu!"

Dealova Galatandi adalah abang sekaligus saudara satu-satunya Cakra. Dia sahabat sekaligus teman sekampus abangnya Clara. Biasa dipanggil Bang Galah karena tingginya yang mencapai 189 meter. Selain karena tinggi, dia juga dipanggil demikian karena sifatnya yang ~Tut Tut Tut~

"Abang ganggu momen pacaran kalian ya?" Gala duduk di sofa panjang. Sepertinya cowok itu baru saja mandi karena rambutnya yang basah dan aroma sabun yang menguar.

Clara dengan cepat menggeleng. "Nggak kok, bang. Lagipula gue sama Cakra cuman temenan doang."

Mendengar itu, bibir Cakra kontan merengut imut. Dia berkata seolah menjadi pihak yang sangat tersakiti disini, "Clara lupa? Baru aja kita resmi tunangan. Clara jahat, ish! Nggak mau ngakuin Cakra."

Clara mendelik dan dengan kesal ia mencubit bibir Cakra dan menjepitnya. Suara-suara memprotes harus tertahan di mulut Cakra sehingga hanya gumaman tidak jelas yang terdengar. Clara tergelak, begitupun juga dengan Gala.

Tapi itu tidak bertahan lama karena Cakra dengan segera melepaskan diri dan spontan memberi jarak. Cowok itu memegang bibirnya dengan mimik wajah sedih. "Tangan Clara nakal. Kalo bibir Cakra nanti jadi lebar gimana?"

"Yaudah jadi landasan pesawat aja. Gitu aja kok repot."

Cakra merengut dengan ekspresi lucu. Hidungnya entah mengapa terlihat memerah dengan mata sedikit berair. Terlihat menggemaskan namun di lain sisi juga terlihat cengeng.

"Ambilin buku gue, gih. Gue mau balik!" perintah Clara seraya mendorong bahu Cakra menjauh. Dia sama sekali tidak terpengaruh oleh wajah menggemaskan cowok itu.

"Iya."

Cakra menurut. Apasih yang enggak buat Clara?

Setelah memastikan Cakra pergi ke lantai atas dan sudah tidak terlihat, Clara segera mendekati Gala dan duduk di sampingnya. Gala yang semula bermain ponsel, beralih memusatkan perhatian kepada Clara.

"Eh, Bang Galah. Gue mau nanya dong! Bang Zaki kalo di kampus punya cewek berapa?"

Kening Gala kontan mengernyit, merasa bingung mengapa Clara bertanya demikian. "Dia nggak punya cewek."

"Masa' sih?" Clara seakan tak percaya. Tapi setelah berpikir lagi, dia malah menyetujui jawaban dari Gala. "Tapi bener juga, Bang Zaki kan jelek. Nggak kayak abang, ganteng bin baik."

Kali ini ucapan dari Clara berhasil membuat emosi Gala berubah. Cowok itu menaruh ponselnya di meja lantas berkata santai, "Di kampus sih emang banyak cewek yang nembak gue, katanya gue ganteng terus berhati malaikat gitu. Tapi guenya ya biasa aja, terima-terima aja gitulah."

"Oh, maksudnya nerima mereka jadi pacar lo gitu?"

"Ya engga, gue nerima kalo mereka bilang gue kayak gitu. Secara gue sendiri juga sadar kalo gue emang ganteng dan baik."

Tidak ada emosi yang berlebih ketika Gala berkata seperti itu. Di wajahnya hanya ada raut senyum bangga, namun entahlah membuat semua orang yang mendengarnya menjadi muak. Kalau Clara sudah terbiasa, jadi dia bisa tidak menghiraukannya.

"Bang Zaki nggak ada kejelekannya gitu bang di kampus? Kalo ada kan lumayan bisa dijadiin kartu as."

Gala tampak berpikir sesaat, "Hmm, dia suka nongkrong di kantin kalo lagi ada kelas komunikasi. Bisa dibilang bolos lah."

"Kalo gue sih orangnya nggak pernah bolos ya, selalu keinget orang tua di rumah kerja capeknya kayak gimana." tambahnya kemudian.

Dan respon dari Clara hanya ber-oh ria. Tidak mau bertanya apapun lagi karena takut abangnya Clara ini akan berbangga diri lagi.

"Lagi ngomongin apa? Seru tuh kayaknya."

Clara dan Gala segera menoleh ke asal suara. Asal suara yang berasal dari Cakra yang terlihat kurang suka dengan kedekatan Clara dan abangnya.

"Iya, seru banget. Apalagi pas nggak ada elo!" tutur Clara terlampau jahat tapi juga jujur.

Bibir Cakra mencebik sebal. Dia dengan cepat menarik tangan Clara dan memaksanya berdiri, lalu menyeret cewek itu keluar. Catat, men-ye-ret.

"Nggak usah nyeret gue napa sih. Kaki gue masih berfungsi normal!" Clara yang tidak terima, langsung menyentak tangannya dari cengkeraman Cakra hingga terlepas.

Awalnya Clara ingin memarahi Cakra. Tapi begitu Cakra berbalik dan menampilkan wajahnya yang berurai air mata, Clara tertegun. Cowok ini menangis?

"Clara akrab banget sama Bang Galah, tapi kalo sama Cakra berantem terus, hiks.. "

Bening mengalir dari mata Cakra yang bulat. Wajahnya yang putih membuat warna merah di hidungnya terlihat jelas. "Cakra nggak suka Clara deket sama cowok lain termasuk Bang Galah." Suara Cakra terdengar serak, khas orang yang sedang menangis.

Clara sendiri tidak tahu harus berkata apa. Dia paling goyah jika melihat orang menangis walau Cakra sekalipun. Dia juga tidak menolak ketika Cakra memeluknya erat dan menenggelamkan wajah di bahunya, menangis di sana.

"Cakra nggak pernah bisa lihat Clara sama cowok lain, hiks.."

Memang benar adanya. Selama ini jika Clara berinteraksi dengan cowok selain Cakra, Cakra akan menangis. Kalau tidak menangis, dia akan bersikap dingin. Memang terdengar berlebihan, namun itulah sifat Cakra.

"Cakra takut kalo Clara jadi suka sama Bang Galah terus bareng dia, nanti Cakra sama siapa?"

Clara masih diam di tempat.

"Kalo gini caranya, Cakra nggak mau hidup lagi!"

Mata Clara kontan melotot kaget.