webnovel

Bab 4

SMA Bakti Sentosa memiliki tiga jurusan seperti Sekolah Menengah Atas pada umumnya, yaitu IPA, IPS, dan juga Bahasa. Di sekolah ini jurusan IPA dibagi menjadi tujuh kelas, dengan IPS dan Bahasa yang masing-masing dibagi menjadi empat kelas. Akibat banyaknya jumlah kelas ini membuat sebagian guru yang bertugas mengabsen menjadi sedikit malas. Tak terkecuali Bu Rita, guru biologi yang memerintahkan Clara untuk menggantikannya mengabsen di setiap kelas.

"Jadi yang engga masuk cuman Nancy Kalfitasari ya, pak. Terimakasih sebelumnya." Clara mencentang kolom 'izin', lalu dengan senyum tipis menutup pintu kelas 11 IPA-2.

Bibir Clara yang semula membentuk lengkungan senyum, langsung luntur ketika sudah menutup pintu. Ia beralih menghela napas penat. Sudah cukup lelah ia melakukan pencoblosan terus berlanjut diganggu Cakra, kini ia malah harus mengabsen setiap kelas. Ck, kenapa tadi ia harus bertemu Bu Rita sih?

"Duh, kelas selanjutnya IPA satu lagi." Clara mengerang kesal.

Bukan apa-apa, hanya saja 11 IPA-1 itu kelasnya si bocil alias balita alias bocah iblis alias Cakra. Dan Clara sudah muak melihat wajah cowok itu. Semoga saja dia sedang tidak berada di kelas!

"Eh, elo!" panggil Clara spontan saat melihat seorang cowok baru saja keluar dari kelasnya Cakra.

Clara segera menghampirinya dan langsung terkejut ketika cowok itu berbalik dan menampilkan wajahnya. Detik itu juga, Clara ingin melenyapkan diri. Anjir, ini kan mantan pacarnya!

"Clara?"

Namanya Airwana Gardapati, mantan pacar Clara yang putus beberapa hari yang lalu akibat ulah Cakra. Orangnya dingin, ketus, dan relatif cuek. Pacaran sama Clara hanya karena taruhan Truth or Dare. Dan Clara sendiri menerima Garda karena iseng.

"Gu-gue mau nanya sesuatu." ucap Clara sedikit canggung. Gila! Garda keren banget!

"Hm?" Garda memasang ekspresi acuh tak acuh dengan kedua tangan yang dimasukkan di saku celana. Anting hitam di telinga dan lekukan di pipi yang terlihat ketika berbicara menjadi nilai plus penampilannya.

"Hari ini siapa yang nggak masuk di kelas lo?" tanya Clara yang sudah bisa menguasai diri. Ia mencengkeram erat bolpoinnya, berharap ini bisa cepat selesai karena dua hal :

1. Takut Cakra melihat dirinya lalu mulai mengganggu bahkan menguntit.

2. Bulu kuduknya sudah merinding akibat tatapan milik Garda yang terkenal setajam elang.

"Prakoso, sakit." ujar Garda singkat.

"Okey." Dengan cepat Clara mencentang kolom 'sakit'. Sekarang ia bisa menghela napas lega.

"CLARA!!"

Hingga teriakan itu terdengar, sirna sudah hati Clara yang semula lega. Clara ingin berteriak sekencang-kencangnya, mengapa Cakra harus muncul disaat ia mau pergi?!

"Eh, Garda! Jauh-jauh dari Clara! Clara itu punya Cakra ya!" Cakra berteriak dengan kepala yang menyembul keluar dari jendela.

Garda yang diteriaki hanya mengendikkan bahunya cuek dan masih setia pada posisi cool-nya. Ekspresi wajahnya campuran antara malas dan acuh tak acuh.

"Gue cuman nanya absen, jangan lebay lo balita!" sentak Clara.

Yang dikatai 'balita', rupanya tidak terima. "Ish, Cakra udah 17 tahun! Bukan balita lagi. Kalo Cakra balita, berarti yang umurnya 12 tahun itu embrio dong?"

Wtf! Clara mengumpat dalam hati, spontan ia memegang lengan Garda dan hendak mengajaknya pergi. Namun saat itu juga Garda langsung menghempaskan tangan Clara yang memegangnya diiringi suara teriakan Cakra yang membahana.

"Clara ngapain pegang-pegang si Garda! Nanti kalau Clara tertular virus kutub terus jadi dingin sama Cakra gimana? Cakra kan nggak kuat!"

Garda menyipitkan matanya, cukup risih dengan kebisingan yang ditimbulkan oleh teman sekelasnya itu. Ia berdecih, "Gaje."

Dengan cuek, Garda melenggang pergi seolah tanpa memiliki beban. Aura dingin yang melingkupinya menjadi benteng akan celotehan Cakra yang kembali menguar.

"Ish, yang gaje itu Garda, bukan Cakra!"

Clara lebih memilih untuk menutup telinga. Sebaliknya, ia melihat daftar kelas yang belum diabsen masih ada beberapa. Ah, rasanya sungguh melelahkan.

"Clara jauh-jauh dari Garda!" Tanpa diduga, Cakra sekarang sudah berada di samping Clara hingga mengejutkan cewek itu.

Tapi Clara dengan cepat menguasai rasa terkejutnya dan beralih mendengus. "Suka-suka gue lah!"

"Ish, Clara kok gitu sih!" Cakra menggoyangkan bahunya merengek. "Sekarang Clara nggak pernah dengerin omongan Cakra, hati Cakra sakit tahu."

"Bodo amat." Bola mata Clara bergulir malas. Tapi sebuah ide tiba-tiba muncul di otaknya, ia melirik Cakra. "Absen gih, gue capek."

Tak perlu respon dari Cakra, buku absen kini sudah dipaksakan berada di cengkeraman cowok itu. Cakra sendiri kontan mengerjap bingung dengan ekspresi polos. "Kalau Cakra sibuk ngabsen, nanti yang jagain Clara siapa?"

Clara mengerang malas, "Lo pikir gue masih bocah? Udah ah, gue mau ke kelas, mau tidur."

"Jangan ikutin gue!" ucap Clara cepat saat hendak bergerak pergi dan Cakra juga ikut bergerak hendak mengikuti.

"Enggak kok, Cakra cuman mau ngabsen kelas sebelah." bela Cakra sambil memeluk buku absen di dadanya.

Mata Clara menyipit, namun akhirnya lebih memilih untuk tidak melanjutkan. Lebih baik dia balik ke kelasnya untuk tidur atau bermain ponsel. Mengenai urusan absen kan sudah diurusi oleh Cakra, jadi ia bisa menghela napas lega.

Dengan diiringi tatapan mata Cakra, punggung Clara perlahan mulai menghilang dari balik dinding koridor. Menyisakan Cakra yang sibuk bergumam tidak jelas, intinya tentang masalah absen.

"Sebenernya Cakra males ngabsen, tapi kalo nggak ngabsen, nanti yang bakalan ngabsen siapa? Kalo Clara nanti dimarahin sama bu guru gimana? Cakra kan nggak suka."

Cakra mengerucutkan bibirnya dengan alis mengerut. Pandangannya mengedar ke sekitar koridor yang sepi tanpa ada satupun manusia yang lewat. Kalau seperti ini bagaimana caranya Cakra menyuruh orang untuk mengabsen? Ish..

"Cakra, ngapain berdiri disitu?"

Puji syukur!

Senyum Cakra kontan melebar ketika suara itu datang bersamaan dengan sosok Prakoso yang keluar dari dalam kelas. Dan Prakoso yang awalnya hanya sekedar bertanya, kini mulai menelan ludah saat merasa ia akan mendapat hal yang buruk.

"Eh, Prakoso. Bantuin Cakra absen gih!" Cakra mengulurkan buku absen.

Alis Prakoso berkerut, "Nggak mau, ah. Capek!"

"Ish, Cakra itu nyuruh! Bukan nawarin!" celetuk Cakra sembari menyerahkan secara paksa buku absen ke tangan Prakoso.

"Ih, Prakoso kan—"

Ucapan Prakoso terhenti ketika matanya tak sengaja melihat namanya hari ini di centang 'sakit'. Cowok yang sifatnya sebelas duabelas sama Cakra itu sontak memprotes, "Ini kok Prakoso diabsen sakit sih? Prakoso kan masuk sekolah! Buktinya Prakoso sekarang ada disini."

"Ya mana Cakra tahu."

Prakoso membenarkan absennya dengan diiringi gerutuan yang tak berhenti keluar dari bibir. "Siapa sih yang ngabsen? Nggak becus banget!"

Perkataan Prakoso itu berhasil membuat alis tebal milik Cakra mencuram. Ekspresi cowok itu tampak tersinggung, terbukti dengan tangannya yang langsung mencengkeram kerah baju Prakoso. "Ngomong apa tadi? Nggak becus? Maksudnya Clara nggak becus gitu?"

Wajah Prakoso kontan pucat pasi, bibirnya bergetar takut kalau Cakra akan melayangkan pukulan. "Pra-Prakoso nggak tahu ka-kalo Clara yang ngabsen."

Alis Cakra semakin meruncing, ia menambah tekanan pada kerah baju Prakoso. "Jadi ka—"

Perkataan Cakra harus terpotong oleh sosok Jeno yang datang tergopoh-gopoh dan mengabarkan sesuatu yang membuat mata Cakra melotot kaget.

"Clara pingsan, Cak!"