webnovel

Ingat

"Baru kali ini aku liat ada yang habis vc tapi malah murung, kangen ya? ya sudah balik sana sekitar seminggu, udah tuh pulang ke sini lagi."

Azri mendesah temannya ini benar-benar tak bisa diharapkan. Memangnya semudah itu pulang, ada yang sedang ia kejar di sini, semakin lama ia menunda maka semakin lama pula dirinya bisa kembali ke Indonesia. Memangnya dia tak ingin pulang cepat apa.

"Berisik." keluh Azri.

Untuk kali ini si pemuda langsung diam, sepertinya Azri tak sedang ingin dibercandai. Ia mendekat, menepuk bahu temannya pelan sambil mengatakan jangan patah semangat.

Jika yang Azri bilang memang benar, gadis yang tengah ditaksirnya tak akan mudah untuk didekati oleh orang lain, jadi ia masih punya kesempatan.

Walau memang agak di sayangkan kalau ia lebih memilih untuk berada dekat dengan posisi teman bukan kekasih. Setidaknya orang tak akan berani mendekat jika sudah punya kekasih.

"Kau itu tampan, mapan dan pintar, masa depan sudah terjamin, banyak wanita yang antri, jangan galau begitu, aku kalau jadi si gadis itu pasti akan menerimamu pula," katanya lagi sebab Azri belum terlihat bergerak.

Bukannya merasa semangat, Azri malah dibuat begidik.

"Jangan umpamakan dia sama denganmu, astaga kau membuatku geli," kata Azri sembari mengetuk kursi yang didudukinya sambil bilang amit-amit. Untung temannya itu sabar dengan perlakuan dan ucapan Azri. Jika tidak, bisa berakibat dengan tumbukan.

***

Memang tak salah ketika Zara sibuk memikirkan bagaimana caranya untuk membuat sang adik dekat dengan si dokter gigi.

Ia sudah memikirkannya masak-masak. Sepertinya hanya ini caranya.

Sementara itu, jika dilihat-lihat Elza dan Arvin nampak dekat sekali, bahkan si kecil Kaira juga tak mau lepas dengan Elza.

Seolah mereka punya ikatan batin.

Didekatinya mereka seraya berkata.

"Sudah salam ke pengantinnya?"

Arvin menggeleng sopan.

"Blum Mbak, rencana setelah ini," sahutnya.

"Oh, kebetulan ajak Elza juga ya."

Elza mengerutkan keningnya, bicara apa kakaknya barusan? yang benar saja dia kan sudah salaman tadi kenapa Kakaknya malah menyuruhnya untuk ke sana lagi.

Belum sempat ia memprotes hal tersebut.

Arvin menoleh padanya dengan sopan, sambil mengisyaratkan untuk pergi ke pelaminan. Mau tak mau Elza pun menurut jua.

Kaira masih menggenggam erat tangan Elza, seakan tak ingin melepaskannya, bahkan ketika tangan Arvin sendiri sudah ia lepaskan semenjak tadi.

Zara tersenyum senang, bahkan ketika mereka akhirnya berfoto bersama. Vibesnya seperti sebuah keluarga kecil.

"Seperti dugaanku cocok sekali mereka ini," gumamnya senang. Ia juga mengambil beberapa foto dari ponselnya, akan ia tunjukkan pada sang

mama nanti fotonya itu.

"Elza," panggil Arvin ketika gadis itu sudah berbalik dengan Kaira yang masih menggenggam tangannya. Mereka baru saja turun dari pelaminan.

Elza berhenti melangkah rasanya aneh ketika Arvin pada akhirnya memanggilnya dengan nama aslinya. Bukan anda, kamu, kau atau mbak.

Jujur saja ia cukup senang, karena terdengar akrab.

"Iya? Ada apa?" sahutnya.

"Boleh titip Kaira sebentar, saya harus ke toilet."

Ia mengerutu dalam hati, sebab isi pikirannya tidak sama dengan apa yang Arvin ucapkan, atau ia yang memang terlalu berharap. Padahal bisa bilang langsung saja, kenapa harus menunggu sampai ia berbalik dengan bentuk kegeeran begini. Tunggu, kenapa juga ia jadi kegeeran. Astaga, dia sudah gila.

"Oh, silakan."

Zara melihat hal itu, sepertinya bukan hanya Elza yang memiliki masalah rumit. Padahal ia yakin mereka cocok, tapi sepertinya pria itu tak cukup menyukainya.

"Anak sudah cocok, tinggal papanya saja lagi," gumam Zara masih memikirkan cara untuk membuat mereka dekat.

Elza kini mendudukkan Kaira di salah satu kursi, gadis kecil itu cukup menurut, ketika duduk ia sambil memakan camilan berupa roti dan mulai berceloteh lagi. bahasanya beberapa kali agak tersendat dan Elza secara sigap membenarkannya. Rasanya seperti main dengan Naya dulu, sekarang Naya sudah cukup besar untuk diajak bermain.

Arvin sejenak membenarkan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan, belum lagi keringatnya, ia tiba-tiba merasa gugup, entah karena apa.

Sebenarnya pemuda itu sudah memikirkannya dari kemarin, Elza, nama gadis itu tak begitu asing, belum lagi wajahnya.

Rasanya ia mengenalnya, tapi di mana. Sudah mencoba untuk mengingat-ngingat tapi masih saja kesulitan.

Meski pada pertemuan pertama agak canggung, kini ia sudah bisa bersikap lebih santai.

Baru keluar dari toilet, sebuah chat masuk ke ponselnya.

Itu pesan dari temannya, ia mengirimkan sebuah foto, dan buru-buru Arvin lihat. Keningnya berkerut dan pada akhirnya ia memasang wajah tersenyum. Itu adalah foto saat kelulusan SMA mereka, ada Elza di sana.

Apalagi caption yang diberikan oleh temannya.

"Hei, dia kan adik kelas kita di sekolah dulu, ya meski tak satu tempat, tapi SMA kita dan SMP dia kan berdampingan."

Sekarang Arvin jelas mengingatnya. Arvin dulu bersekolah di satu lingkup area yang menyediakan pendidikan dari SD, SMP dan SMA yang berdampingan.

Karena bagi mereka yang memang sekolah SMP di dekat sana, makanan SMP jauh lebih enak rasanya dari kantin di SMA mereka, jadi, murid laki-laki biasanya akan diam-diam pergi ke sana, dan ada kalanya penjagaan di sana cukup ketat hingga mereka terpaksa meminta bantuan adik kelas SMP untuk membelikan makanan mereka, nitip makanan istilah mereka.

Mereka sebenarnya tak dilarang untuk datang, hanya saja kantin itu khusus. Sebab beberapa kali pernah ketahuan murid SMAnya malah menggunakan kantin SMP sebagai tempat untuk merokok.

Dan di sanalah Elza, murid perempuan yang sering mereka mintai tolong.

Lama-lama menjadi semacam kebiasaan. Sebab hanya gadis itu yang berani datang jika dipanggil kakak kelas.

Sementara yang lain memilih kabur karena takut dipalak.

"Kalau begitu, apa dia mengenaliku?" gumam Arvin bertanya-tanya, rasanya hal ini seperti reuni saja.