webnovel

My Bittersweet Marriage

Aarhus. Tempat yang asing di telinga Hessa. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya untuk mengunjungi tempat itu. Namun, pernikahannya dengan Afnan membawa Hessa untuk hidup di sana. Meninggalkan keluarga, teman-teman, dan pekerjaan yang dicintainya di Indonesia. Seolah pernikahan belum cukup mengubah hidupnya, Hessa juga harus berdamai dengan lingkungan barunya. Tubuhnya tidak bisa beradaptasi. Bahkan dia didiagnosis terkena Seasonal Affective Disorder. Keinginannya untuk punya anak terpaksa ditunda. Di tempat baru itu, Hessa benar-benar menggantungkan hidupnya pada Afnan. Afnan yang tampak tak peduli dengan kondisi Hessa. Afnan yang hanya mau tinggal dan bekerja di Denmark, meneruskan hidupnya yang sempurna di sana. Kata orang, cinta harus berkorban. Tapi, mengapa hanya Hessa yang melakukannya? Apakah semua pengorbanannya sepadan dengan kebahagiaan yang pernah dijanjikan Afnan?

IkaVihara · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
10 Chs

DUA

Hessa pulang ke rumah setelah jam makan malam, menghindari makan malam bersama keluarga yang pasti dipenuhi pertanyaan tentang Afnan dan juga pernikahan. Tapi keberuntungan tidak memihak padanya. Mamanya sedang duduk nonton TV. Mau tidak mau Hessa menyapa mamanya dulu, tidak langsung masuk ke kamarnya.

"Sudah kamu lihat?"

Hessa sudah tahu yang dimaksud mamanya itu apa.

"Sudah, Ma. Kenapa?"

"Menurutmu gimana? Dia yang paling baik dari semua anak teman-teman Mama."

"Ya gitu, Ma."

"Ya sudah kalau kamu nggak mau. Mama nggak memaksa." Mamanya kembali menatap layar televisi.

Hessa menghela napas, tahu kalau keinginan mamanya berkebalikan dengan jawabannya.

"Tapi dia ganteng, kan." Papanya ikut bergabung dengan mereka.

"Itu nggak penting, Pa. Yang penting kita sudah kenal baik sama keluarganya. Dia berasal dari keluarga baik-baik. Akhlaknya baik. Punya pekerjaan dan peng­hasilan. Pendidikannya tinggi. Kalau dia ganteng ya itu tambahan yang harus disyukuri." Mamanya menjelaskan.

"Mungkin Hessa nggak cinta," Papanya menanggapi.

"Laki-laki yang baik itu walaupun tidak mencintaimu, dia tidak akan menyakitimu." Mamanya memberi alasan lagi.

"Mama, coba kita pikir. Kalau dia sebaik itu, kenapa dia dijodohkan? Pasti ada sesuatu yang nggak beres sama dia." Hessa mencoba mengubah pandangan mamanya.

"Hessa, Sudah Papa bilang jangan pernah berprasangka buruk pada orang lain. Apa kamu suka kalau orang berpikiran buruk tentang kamu?"

Hessa langsung diam di tempat.

"Tidak masalah kalau kamu tidak mau. Jangan biasakan diri kamu dengan prasangka buruk. Itu mungkin yang bikin kamu susah dapat pacar. Kamu membiarkan pikiran buruk ada di kepalamu." Papanya melanjutkan.

"Maaf, Pa." Hessa menunduk.

"Ya sudah, kamu istirahat dulu." Papa menyuruhnya masuk.

"Maafkan Hessa, Ma ... Pa ... Hessa nggak bermaksud begitu tadi. Hessa cuma agak bingung dan...." Hessa mengurungkan dirinya mengatakan 'tertekan'. Siapa yang tidak tertekan kalau masalah Afnan adalah masalah paling hangat yang dibicarakan di meja makan. Lebih hangat daripada nasi yang baru diambil dari pemanas. Kabar bahwa ada laki-laki yang tertarik padanya membuat orangtuanya semakin rajin membawa masalah ini sebagai makanan penutup di setiap makan malam mereka. Lebih-lebih karena laki-laki itu adalah anak teman sepermainan mamanya saat masih sekolah dulu.

"Papa dan Mama tidak memaksa kamu menikah. Jangan jadi susah karena ini. Bijaklah berpikir, sebelum Mama memberikan jawaban kepada Tante Kana." Papanya menjawab.

Hessa mengangguk dan meninggalkan orangtuanya.

Hessa membasuh mukanya dengan air dingin. Dibanding dengan semua orang yang pernah dokenalkan mamanya, Afnan yang paling baik di atas kertas. Ya, di atas kertas, karena Hessa memang belum bertemu dengannya.

Hessa merebahkan dirinya dan membuka halaman Aarhus University, memasukkan nama Afnan di kolom pencarian. Tentu saja muncul. Beritanya tentang penelitian, kuliah, dan hal-hal semacam itu.

"Orang yang membosankan." Hessa menggumam.

"Gimana rasanya hidup dengan orang yang terlalu pintar?" Hessa mendesah pelan.

Hessa memasukkan nama Afnan ke search engine dan memunculkan media sosial atas nama Afnan. Tidak ada yang menarik. Sebab tidak ada isinya.

"Bahasa apa pula ini?" Hessa menggumam lagi. Hessa kembali memeriksa hasil pencarian di laman Aarhus University. Ada foto Afnan juga, dia terlihat pintar dan hebat di sana. Juga tampan. Astaga! Hessa mengacak rambutnya sendiri.

Setalah menyelidiki Afnan, Hessa membuka e-mail-nya. Promosi kartu kredit, undangan reuni, undangan pernikahan, dan ajakan mengisi petisi online.

Hessa mulai malas ikut reuni dan menghadiri pernikahan. She has a lot of fear of loneliness. Orang-orang sudah mulai datang dengan pasangan. Bahkan sudah bawa anak. Hessa hanya manusia biasa, dia punya ketakutan setiap memikirkan jika suatu saat nanti dia mati dan tidak ada siapa-siapa yang menemaninya saat menghadapi kematiannya. Karena tidak punya suami dan anak.

Tidak sampai setahun lagi umurnya dua puluh delapan, mamanya akan semakin khawatir melihatnya tidak juga punya pacar. Juga sepertinya kemungkinan menemukan pacar baginya tidak terlalu besar. Ini saja sudah setahun belum dapat juga. Kalau saja ada pilihan untuk pacaran dengan Afnan dulu. Tapi Afnan sudah tiga puluh tahun, tentu tujuannya bukan untuk trial and error. Bagaimana pula mau pacaran, sudah jelas ditulis dia bekerja dan tinggal di Denmark? Sedangkan Hessa di sini.

Wait!

"Denmark?!"

Jadi harus tinggal di Denmark kalau menikah dengannya? Itu jauh sekali. Tidak bisa mudik tiap bulan naik bus kalau kangen Mama dan Papa. Tidak bisa setiap Minggu makan soto ayam di warung pojok. Tidak bisa sering makan bakso urat di belakang Kantor Pos. Tiket pesawat semakin mahal saat musim liburan. Seandainya Afnan kaya raya pun, pasti tidak ada waktu untuk membawa Hessa sering pulang.

Hessa jatuh tertidur dengan keyakinan bahwa dia tidak akan menanggapi keinginan Afnan untuk kenalan.

***

Hessa bangun dengan kepala pusing sekali. Waktu adalah sesuatu yang paling bisa menipu kita. Saat kita tidur, waktu seperti berhenti dan kita melupakan semua masalah yang kita punya. Saat kita bangun, waktu kembali mengejar kita untuk menyelesaikan semua masalah itu.

"Hessa, nanti kita ketemu Tante Kana, ya," kata mamanya saat Hessa turun sarapan.

"Mama, Hessa nggak ingin ketemu Afnan." Hessa tidak mau bertemu dengan Afnan.

"Siapa yang suruh kamu ketemu dia? Kamu nggak dengar Mama, ya? Kita ketemu Tante Kana. Bukan anaknya. Tante Kana kan teman baik Mama. Kamu nggak mau kenalan sama teman Mama?" Mamanya menatapnya kesal.

"Tapi anaknya nggak ikut kan, Ma?" Hessa memastikan.

"Nggak." Mamanya menjawab pendek.

"Mama nggak bohong, kan?" Hessa belum percaya.

"Astaga! Kenapa Mama bohong sama kamu? Apa untungnya?" Mamanya sudah kesal sepenuhnya kali ini. "Geer kamu ini. Memangnya Afnan ingin ketemu kamu?" Mamanya meletakkan roti di depan Hessa.

"Kan Mama bilang dia mau kenalan." Hessa menggigit rotinya.

"Kenalan harus ketemu? Hari gini?" Mamanya menjawab sok asik. "Jangan ke mana-mana nanti! Bantuin Mama, Tante Kana mau makan malam di sini."

"Kok?"

"Mama sudah lama nggak ketemu Tante Kana, Hessa."

"Ya asalkan anaknya nggak ikut," Hessa kembali menggumam. "Ma, kalau nanti Tante Kana bawa-bawa perjodohan ... aku boleh bilang nggak, kan?"

"Mama dan Tante Kana nggak ikut-ikut masalah itu. Anaknya yang mau kenalan sama kamu. Keinginannya sendiri. Mama pikir juga kamu nggak ada salahnya berteman dengannya. Nggak ada ruginya. Tapi kamu nggak mau."

Hessa batal mengambil roti kedua.

"Ya, kan dia mau kenal sama Hessa karena Mama udah promo ke Tante Kana. Lalu Tante Kana cerita ke anaknya." Hessa sudah tahu skenarionya.

"Kamu ini. Kalau nggak mau ya sudah. Nanti Mama sampaikan ke Tante Kana. Afnan menunda pulang ke Denmark karena berharap kamu mau ketemu dia sekali saja."

"Kenapa Hessa sih, Ma?" Hessa masih tidak mengerti dengan keinginan Afnan.

"Kalau kamu mau tahu, kamu tanya sendiri sama. Kalau nggak mau ketemu, kamu e-mail saja. Atau mau nomor teleponnya?"

Hessa langsung menutup mulut.