webnovel

Warm

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat—"

Hara langsung meletakkan ponselnya dengan kasar ke atas meja. Mendengus dan memaki dalam hati suara default dari operator. "Sialan,"

Sekalinya di telfon, Eh malah nggak aktif, begitu keluhnya. Bahkan Hara sudah melakukan pemanasan beberapa kali, memikirkan kalimat apa yang akan diucapkan begitu telefon diangkat. Detik selanjutnya, Hara menoleh karena suara derit pintu kamarnya terdengar; lalu menampilkan sosok Tara yang berdiri di ambang pintu. "Popcorn-nya udah jadi, tuh. Yuk! Nonton!"

Hara mengangguk, mendesah pelan setelah menatap ponselnya yang tergeletak. Mungkin lain kali.

Iya, lain waktu Hara akan berusaha menghubungi cowok itu. Meskipun otaknya terus mensugesti untuk berhenti peduli atau mengkhawatirkan Rey.

***

"Film apa?" Tanya Hara, ia lalu mengambil posisi duduk di antara Aldo dan Tara—tepatnya ditengah-tengah, dan meletakkan bantal kursi di pahanya.

"Nonton aja," Aldo menyahut dengan suara tanpa intonasi.

Hara hanya mengerucutkan bibirnya samar lalu mengambil berondong jagung di atas mangkuk besar. Sekarang pukul lima sore; Dari kemarin memang Tara yang paling heboh mengajak kedua temannya itu untuk film marathon di rumah Hara. Di ruang tamu dengan lampu yang dimatikan dan semangkuk besar pop corn ekstra mentega.

"Minggu depan kemping, jangan lupa."

"Iye tau, nggak usah diingetin."

"Ya gue ngasih tau biar lo ada waktu buat packing, lah. Nyolot lagi!"

"Siapa yang nyolot?! Lagian kalem aja kali, masih minggu depan!"

"Iya emang masih minggu depan! tapi lo baru siap-siap pas H-1 mau berangkat! Ntar giliran nyusahin orang suruh ini-itu!"

"Ya udah, sih! gue juga nggak minta bantuan lo!"

"Masa? Tahun kemarin juga, kan gitu! Lo nyuruh gue—"

"Ih, berisik, deh! Tuh, kan! tadi ceweknya ngomong apa?! jadi nggak jelaasss!!" Hara menggerutu dan mengambil remote TV untuk membesarkan volume suara.

"Lo, tuh!" Tara meledek Aldo sembari melemparkan berondong jagung. Dan hal itu hanya dibalas oleh dengusan remeh dari Aldo.

"Lo juga, Har!"

"Apa?" Yang dipanggil menolehkan kepalanya ke arah Aldo. "Gue kenapa?"

"Prepare dari sekarang. Minggu depan udah harus berangkat." Kemudian cowok itu melirik ke arah Tara. "Biar nggak kaya dia, tuh. Nyusahin pas H-1."

"Yaudah, sih. Gue juga nggak minta bantuan lo!" Sahut Tara, keki.

Hara merengut. "Emang harus banget ikut, ya? Gue, kan baru masuk seminggu..."

Tara berdecak. "Ah, ngomong apa, sih? Nggak ada hubungannya kali!"

"Harus ikut, kalau nggak ikut nyesel." Aldo menambahkan.

"Lo belum tau gimana serunya kemping ala sekolah kita, kan?" Tara mengambil beberapa popcorn kemudian melahapnya sekaligus. "Denger, ya. Ini asik banget. Gue selalu nunggu acara ini dari kelas 10,"

"Kenapa?" Hara bertanya dengan dahi berkerut.

"Acara ini cuma buat anak kelas 11 doang, Har. Terus juga nggak formal. Yang di utamain di acara ini cuma yang penting anak-anak enjoy. Nggak kaya waktu gue pas kelas 10 gitu, ada senioritas segala. Ini semacam kaya acara khusus satu angkatan gitu."

"Banyak games?" Dengan polosnya, Hara bertanya sekali lagi.

"Iya, lah. Nggak seru kalau kemping cuma makan, tidur, ngambil air sama nyalain api unggun doang." Aldo menyahut dengan wajah yang masih tetap fokus pada layar TV.

Nggak tau juga, antara Aldo yang tertarik dengan jalan cerita Film tersebut atau cowok itu hanya berusaha meminimalisir kontak mata dengan Hara.

"Lo ikut?"

Kali ini Aldo terpaksa menoleh ke arah Hara. Namun, setelah sepersekian detik, cowok itu justru diam seperti terperangkap dengan eye-contact yang sejak tadi ia berusaha hindari. "Hh?"

"Ikut, lah! Orang dia jadi panitia acara!"

"Panitia?" Hara berkedip, menatap wajah Aldo sekali lagi. Lalu melanjutkan kalimatnya dengan sangat hati-hati. "Setau gue... lo nggak pernah masuk organisasi tertentu..."

Tara hanya mengangkat kedua bahunya remeh. "Tau, deh! Gue juga heran, anak berandal kaya dia bisa-bisanya jadi Panitia! Aktif ekskul aja enggak!"

Geregetan, Aldo melemparkan bantal kursi tepat pada wajah Tara. "Bacot mulu lo, bitch!"

Lalu detik selanjutnya Aldo berdiri dan meninggalkan ruang tamu. Hara menatap kepergian Aldo dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Sedangkan Tara sendiri masih mengomel nggak jelas.

"Ngambek aja sono! Ntar kalau ada butuhnya juga nyamperin gue lagi!"

Hara berdecak. "Lo juga, sih! Dari tadi ngajak ribut mulu!"

"Kok gue? Dia-nya aja yang hari ini nyebelin banget! Nggak tau apa gue lagi mens?!"

Hara hanya menanggapi omelan tadi dengan ekspresi kecut. Lalu menghela nafas sambil memandangi berondong jagung yang berserakan di karpet. Pikirannya melayang, soal Rey. lagi.

Bahkan sampai sekarang Rey masih absen tanpa alasan yang jelas. Hara juga masih terlalu canggung untuk menanyakan hal tersebut pada Aldo. Lalu di benaknya mencuat satu pertanyaan;

Rey ikut nggak, ya?

***

"Kok lo nangis?"

Saat itu, Rey semakin merasa bersalah ketika melihat mata Dinda berkaca-kaca hanya karena mendengarkan ceritanya.

"Kesel," Perempuan itu mengusap air matanya yang merembes. Lalu memukul lengan Rey sekeras mungkin. "Kamu tau rasanya kesel, kan? Aku cuma berusaha nempatin posisi sebagai temen kamu. Siapa tadi? Hara, kan?"

"Gue tau, Gue emang salah. Makanya gue nenangin diri ke sini."

"Kamu udah tau, kan kamu salah? Terus kenapa kamu kabur? Mau ngehindarin masalah?"

Saat itu juga, Rey hanya diam dan tangannya mengepal kuat. Menahan adrenalin yang hampir sulit ia kendalikan.

"Rasanya, tuh campur aduk; Kalau ada di posisi Hara, aku nggak bisa nyalahin sikap kamu yang nggak gentleman itu. Tapi disitu, cuma kamu satu-satunya orang yang bisa Hara andalin buat nolong dia. Kalau kamu sayang dia, sikap feminim kamu itu bisa menguap gitu aja; semuanya tergantung sama diri kamu. Kalau aja waktu itu kamu nunjukkin keberanian kamu, semuanya mungkin bisa dicegah."

Kadang, Rey sendiri juga nggak ngerti. Dimana letak sesuatu yang membuatnya menjadi seperti sekarang. Kalau ditanya mau berubah atau enggak, Rey akan jawab 'Iya.' Dia sebenarnya juga ingin berubah, nggak mau terus terinjak-injak dan yang paling utama Rey juga ingin menjadi Pangeran Berkuda Putih-nya Hara.

"Gue mau berubah,"

Dinda menepuk paha Rey keras. "Harus. Kamu harus berubah. Suatu saat nanti, kamu bakal jadi Ayah buat anak-anak kamu. Sikap sama kebiasaan kamu harus dirubah, Nan. Kamu harus jadi orang yang punya pendirian, nggak ragu-ragu buat ngambil keputusan dan tegas."

"Tapi.. gue nggak tau caranya,"

"Semuanya tergantung sugesti. Kalau kamu terus ngerasa diri kamu itu 'perempuan', kamu bakal terus terjebak di zona itu. Yang harus kamu lakuin sekarang, berusaha keluar pelan-pelan dari zona nyaman kamu. Yah, kadang zona yang bikin kita nyaman itu zona yang justru nggak cocok buat diri kita."

Rey mengangkat wajahnya. Mencari keyakinan setiap kalimat yang Dinda ucapkan dari mata almond-nya. Dan Rey menemukan keyakinan itu. Sorot matanya yang tajam membuat Rey yakin kalau Rey mungkin bisa melepaskan apa yang selama ini menjebaknya.

"Kamu nggak harus berubah dari cowok feminim tiba-tiba jadi cowok ganteng yang jadi idola anak cewek. Kamu cuma harus berubah jadi diri kamu sendiri. Inget, gender kamu itu cowok. Itu artinya, kamu harus bersikap kaya cowok yang semestinya."

"Gimana sama Hara?"

"Temuin dia," Jawab Dinda, final.

"Dia pasti nggak mau ketemu gue. Dia benci banget sama gue."

Dinda mengusap lengannya sendiri, meminimalisir hawa malam yang mulai menusuk tulang. "Aku nggak bisa ngebayangin, gimana hancurnya dia setelah kejadian ini. Sebagai cewek, aku ikut prihatin. Kalau aku yang ada diposisi dia, yang aku mau cuma satu. Yaitu support dari orang-orang terpercaya yang bisa bikin mental aku balik lagi."

"Gue nggak yakin buat ketemu dia, Din."

"Kamu sayang dia?"

Rey menggeleng. "Nggak tau," Bahkan Rey sendiri masih bingung bagaimana menerjemahkan perasaannya.

"Kalau kamu sayang dia, kamu nggak bakal mundur meskipun dia selalu ngedorong kamu buat ngejauh dan bakal tetep muncul di depannya meskipun dia nolak buat ketemu kamu. Itu salah satu perjuangan. Di dunia ini, semuanya butuh perjuangan, kan?"

"Kalau gue mau ketemu dia, gue cuma mau minta maaf. Setelah itu, gue janji nggak bakal muncul lagi di depan dia."

Dinda menggeleng pelan. "Nggak gitu, Nan. Kamu nggak bisa gitu aja minta maaf sambil teriak-teriak pas dia masih nolak buat ketemu kamu. Kamu cuma harus bikin dia nerima keberadaan kamu dulu, dan kalau waktunya udah tepat; kamu harus minta maaf sama dia," Dinda menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Minta maaf karena nggak berusaha mencegah semuanya. Minta maaf karena nggak nunjukkin keberanian kamu dan bilang... kalau kamu mau berubah, buat diri kamu sendiri, juga buat dia."

Dan kalimat itu yang pada akhirnya membuat Rey berada di dalam Bus sekarang. Bus yang akan membawanya kembali pulang ke Jakarta. Selama diperjalanan, Rey membenarkan setiap kalimat yang Dinda ucapkan. Rey nggak boleh menghindar lagi, resiko ini harus ia hadapi.

Semalaman, wajah Hara terbayang dibenaknya. Membuat sesuatu dalam dirinya menggebu-gebu untuk segera menemui perempuan itu.

Bagaimana keadaannya?

Bagaimana kabarnya?

Dan yang terpenting yang ingin ia tanyakan;

Apa senyumnya masih secerah sinar matahari?

***

Sekitar pukul satu tengah malam Rey tiba di apartemennya. Rey bahkan masih tidak percaya ia langsung memilih pulang ke Jakarta satu jam setelah mengobrol dengan Dinda hingga pukul sembilan malam. Keputusannya terlalu cepat, tapi untuk beberapa saat Rey baru menyadari kalau ia tidak memiliki lagi keraguan saat menentukan pilihan. Bahkan tak segan-segan untuk menumpangi Bus terakhir yang menuju Jakarta.

Aroma apartemennya berubah setelah ia tinggalkan selama hampir seminggu lebih. Dan ketika Rey menyalakan lampu, kamarnya bahkan seperti kapal pecah. Ia baru ingat, kalau hari itu Rey pergi tanpa membereskan barang-barang yang berantakan karena amukannya yang di luar kendali.

Terasa seperti lama sekali.

Tanpa pikir panjang, cowok itu segera mengambil kantung plastik besar dari dapur. Memasukkan barang-barang yang rusak ke dalamnya dan memilah barang yang masih dapat dipakai.

"...Semuanya tergantung sugesti. Kalau kamu terus ngerasa diri kamu itu 'perempuan', kamu bakal terus terjebak di zona itu."

Kalimat itu kembali terngiang di benaknya saat Rey memungut sebuah majalah Fashion yang ada di bawah tempat tidur. Bukankah kalau benda-benda 'girly' itu terus berada di sekitarnya, Rey akan semakin terjebak di zona tersebut?

"...Yang harus kamu lakuin sekarang, berusaha keluar pelan-pelan dari zona nyaman kamu."

Sepintas suara kembali terngiang, dan saat itu juga Rey langsung memasukkan semua benda-benda koleksi yang selama ini menjadi fantasinya. Rey memasukkannya kedalam kantung plastik tanpa memikirkannya dua kali. Entah itu barang keluaran terbaru, atau mainan-mainan masa kecilnya yang penuh kenangan.

Satu yang ada di otaknya saat ini hanyalah; Rey tidak ingin terjebak lagi.

.

Setelah membuangnya ke tempat pembuangan sampah, lututnya mendadak lemas. Ia terduduk di tengah-tengah ruangan sambil memandangi apartemennya yang kini terasa hampa.

Ia seakan pindah ke tempat yang baru. Tempat yang asing. Tidak ada lagi koleksi cat kuku yang menghuni laci meja belajarnya, Tidak ada lagi Majalah Fashion yang dulu selalu berserakan di kasur dan lantai atau koleksi boneka barbie yang memenuhi kolong tempat tidurnya.

Alat-alat penata rambut kini sudah ia masukkan di dalam kardus besar dengan selotip yang ia rekatkan. Rey sudah berjanji, tidak akan pernah membukanya lagi.

Sekitar pukul tiga pagi, Rey baru merebahkan diri di kasur. Memandangi langit-langit apartemen yang polos dan satu kalimat lagi terlintas di benaknya;

Selama ini, sudah berapa lama ia terjebak?