webnovel

Warm [2]

Derap langkah yang begitu cepat, hingga menimbulkan suara khas begitu sepatu converse-nya bergesekkan dengan lantai koridor. Ia telat setengah jam, dan sangat beruntung bisa lolos karena pintu gerbang kebetulan tidak dijaga oleh Satpam sekolah.

Cowok itu masih sibuk membenarkan ranselnya yang tersampir asal di bahu kiri sekaligus memasukkan kemejanya ke dalam celana, rusuh. Rambutnya belum disisir hingga beberapa surai hitamnya mencuat.

Hari ini, ia benar-benar berantakan.

Langkahnya mengerem tiba-tiba ketika sampai di depan pintu kelas. Saat melirik ke bawah, ia menyadari sesuatu kalau tali sepatunya belum terikat sempurna. Lagi, cowok itu berjongkok sejenak dan mengikat simpul mati pada tali sepatunya, sebelum pada akhirnya membuka pintu kelas dan mengucapkan salam dengan nafas yang memburu.

"Maaf, Pak. Saya kesiang—"

"Rey?!"

Rey mengerutkan dahi kaku dan memasuki kelas dengan kegugupan yang terlalu kentara. Sekarang, hal buruknya adalah; ia menjadi pusat perhatian kelas. Selama itu pula, nafasnya masih belum berhembus teratur dan matanya memperhatikan satu persatu wajah teman kelasnya yang balik menatap dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.

"Kancingin dulu, tuh bajunya!"

"Ya?" Rey mengerutkan dahi, lantas segera melirik seragamnya sendiri. Mungkin karena terburu-buru, cowok itu hingga lupa bahwa dua kancing paling atas masih terbuka, memperlihatkan kaus putih polos yang biasa ia kenakan.

Pak Sapto memukul papan tulis dengan penggaris kayu yang ia pegang selama mengajar. Ia membetulkan kacamatanya sebelum memulai ceramah, "Gini, nih! Kelakuan anak zaman sekarang. Tidur kepagian bangun kemaleman! Kayak kalong¹. Bangun jam berapa tadi kamu?!"

"Jam tujuh, Pak."

"Kenapa nggak terusin tidur aja sekalian?! Masih nekad berangkat ke sekolah jam segitu, Kenapa?!"

Rey kemudian menarik nafasnya, dan menyisir pandang ke arah teman-temannya. Mencari satu wajah diantara puluhan wajah lain yang ada di kelas. Rey hanya punya satu alasan mengapa hari ini ia sangat ingin pergi ke sekolah, untuk melihat Hara.

Hanya itu.

"Heh! Ditanya sama orang tua, kok malah diem?!" Suara pukulan penggaris di papan tulis membuat Rey berjengit dan mengerjap beberapa kali.

"M-Mau belajar, Pak. Kan sebentar lagi Ujian. Saya udah banyak ketinggalan pelajaran."

"Ya makanya rajin sekolah! Jangan kebanyakan ngambil izin!"

Rey hanya mengangguk patuh sebagai jawaban sebelum akhirnya ia dapat mendengar helaan nafas berat Pria paruh baya di sebelahnya. "Heuh, dari pada jantung saya kumat, Ya udah! Duduk sana!"

"Makasih, Pak."

Waktu bahkan seolah memberi efek slow motion ketika Rey melangkah dan melintasi bangku dimana Hara duduk. Perempuan itu duduk dengan pandangan terpaku lurus kedepan. Rambut yang biasanya digerai kini di kuncir menjadi buntut kuda. Kulitnya sekarang lebih pucat dari yang sebelumnya ia lihat; kemerahan ketika terkena panas matahari.

Bagian pentingnya; Rey merasa paru-parunya mengkerut dan rongga dadanya menyempit karena saat ia melihat wajahnya, perempuan itu mengalihkan tatapan dan enggan untuk balas menatapnya.

Meskipun Rey tahu, Hara sama sekali tidak menginginkan kehadirannya kembali, Rey akan tetap hadir disana. Hingga kata maaf itu pada akhirnya terucap.

"Ya sudah, Sampai disini saja. Yang penting Bapak sudah informasikan kalau Lokasi Perkemahan tahun ini di ubah, ya. Jangan lupa untuk persiapan dari sekarang,"

Dari tempatnya duduk, Rey dapat memperhatikan kalau Hara menghela nafas dan mengusap wajahnya cemas ketika Pak Sapto mulai melangkah keluar.

Dan tanpa sengaja, ia melakukan kontak mata dengan Aldo yang nyatanya duduk di bangku sebelah Hara—bangku yang dulu pernah menjadi tempatnya.

Mati-matian Rey menahan sensasi yang membuatnya hampir ciut seperti biasa. Tapi sekarang, tanpa ragu Rey mengangkat dagunya angkuh dan membalas tatapan Aldo tak kalah tajamnya.

Rey sudah terlanjur berjanji, takkan takut lagi.

***

"...Ah, gila Ya Ampun! Gue nggak sabar pengen ikut! Pasti seru banget!"

"...Kemah deket Pantai? Oh my, gue bakal punya best experience seenggaknya sebelum nanti Ujian Semester..."

"...Ini pertama kalinya buat gue! Selama ini, kan lo tau kalau Kemah itu biasanya identik di hutan. Tapi ini di Pantai, Ya ampun! Pasti seru banget! Nggak sabar, gila! gila! gila!"

"...Eh, gue kampung, ya? Tapi serius, deh! Gue biasanya liat kemah kaya ginian, tuh di acara TV atau Film-Film doang! Dan sekarang, gue bakal tau rasanya langsung, Har! Ini pasti seru! Lo harus ikut, ya?!"

Suara ocehan Tara entah mengapa perlahan hanya masuk melintasi kuping kanan dan kirinya tanpa pernah Hara simak secara serius. Ia sibuk melamunkan sesuatu yang random di kepalanya. Hingga dentingan sendok keras pada piring somay yang sedang Tara makan itu membuatnya langsung menegakkan tubuh dan mengalihkan seluruh fokusnya terhadap Tara.

"Iya, Iya apa?"

"Lo dengerin gue ngomong nggak, sih Har?!"

"Hah?" Hara mulai menggerakkan garpu untuk menusuk somay di piringnya. "Lo ngomongin tentang... pengumuman Pak Sapto pas di kelas tadi, kan?"

Meskipun ragu menjawab, Hara tersenyum karena pada akhirnya jawabannya benar. Setidaknya Hara menyimak beberapa kata yang keluar dari mulut Tara. "Emang kenapa sama pengumuman Pak Sapto?"

"What the hell," Tara memaki dan rasanya ingin menggigiti meja kantin ketika Hara menunjukkan ekspresi polos. "Gue dari tadi ngomong sampe muncrat kemana-mana lo nggak dengerin?! Kok tai, sih!"

Hara membasahi bibirnya dan mulai mengikuti topik pembicaraan Tara. "Y-ya, Maaf... gue tadi kurang fokus. Belum minum Aqua, kayaknya."

"Lagian kenapa, sih? Daritadi juga di kelas lo diem terus. Enjoy, dong... Biasanya juga lo enjoy... Emang lagi ada masalah?"

"Enggak, sih..."

Tara mengecilkan nada bicaranya dan mulai mencondongkan tubuh ke arah Hara. "Atau... gara-gara Rey masuk hari ini?"

Saat itu Hara langsung menghela nafas dan meletakkan sendoknya di piring. Nafsu makannya menurun drastis dan pada akhirnya ia mengalihkan pandangannya ke segala arah.

"Sebenarnya apa, sih yang lo khawatirin?"

Hara menggeleng lemah. "Gue juga nggak tau. Rasanya campur aduk setiap gue liat mukanya. Gue nggak tau, harus seneng, marah, kesel atau terharu begitu dia bisa masuk sekolah lagi."

Karena jujur, ada satu moment dimana gue kangen dia, Ra. Hara menambahkan dalam hati.

"Lo harus coba buat bersikap sebiasa mungkin, apa nggak bisa?"

Hara menggeleng. "Nggak, karena gue udah komitmen buat nggak mau peduli sama Rey lagi."

Tara menarik nafas. "Sebenernya, kalau gue boleh terus terang, Lo nggak bisa nge-klaim kalau ini semua salahnya Rey, kecerobohannya Rey, atau apapun itu. Lo mungkin harus ngerti, atau mungkin lo bahkan nggak nyadar, kalau Rey itu udah berusaha ngelindungin lo sekuat tenaga."

Tara mulai meraih tangan Hara dan menatap temannya itu lembut. "Rey mungkin nggak bisa mencegah kejadian yang lo alamin sekarang. Dan, gue yakin, lo masih nganggap Aldo sebagai pahlawan lo malem itu, sampai-sampai lo sekarang ngerasa utang budi banget sama dia. Tapi asal lo tau... Aldo nggak akan pernah dateng, kalau bukan karena telfon Rey."

Sejenak, Hara terpaku pada setiap kalimat yang Tara ucapkan. Pernah, terlintas di benaknya andai saja waktu itu Aldo yang menemaninya pulang atau pun tersasar bersamanya malam itu. Bukan Rey.

Tapi setelah Hara pikir berulang kali, ia menyadari kalau mungkin saja akan ada kejadian yang berbeda ketika Aldo bersamanya. Terkadang, manusia hanya mampu memprediksi dan berkata 'seandainya', tanpa pernah berpikir bahwa ada peran sebuah Takdir di baliknya.

Mungkin kejadian ini sudah di gariskan oleh takdirnya, bahkan sejak perempuan itu belum lahir. Termasuk siapa-siapa saja orang yang mengisi hidupnya selama di dunia. Ya, Hara pikir mungkin begitu.

Perempuan itu kemudian menghela napas pendek dan melepaskan genggaman tangan Tara yang hangat sebagai seorang teman. "Jangan bahas ini lagi, deh. Gue mau ke kelas, ya."

Namun sesaat setelah Hara hendak berdiri, hampir beberapa siswa yang tadinya sekedar nongkrong atau sibuk dengan jajanannya mendadak berbondong-bondong keluar dari area kantin hingga membuat kemacetan di dekat koridor.

"Ada apaan, sih?" Hara menoleh ke sekitar. Semakin lama, penghuni kantin semakin menyusut.

"Tau, tuh." Tara menggeleng heran. Lalu mencegat salah satu siswa yang melintas di dekat mejanya. "Eh, ada apaan, sih?"

Cowok itu mengangkat bahu, acuh tak acuh. "Ya mana gue tau, lah. Orang gue aja belom liat!"

Tara berdecak sinis. "Woles aja, kek! Gue nanya baik-baik juga!"

"Ya udahlah, mendingan kita liat sendiri aja, deh!" Hara menarik tangan Tara dan menyatu dengan kerumunan.

Sebisa mungkin mereka berdua berdesakkan untuk mendapatkan posisi paling depan, hingga tak jarang beberapa orang yang merasa di dorong menggerutu.

"By the way, Aldo mana lagi... pake ngilang segala?" Tara mendesah dan sedikit berjinjit untuk mencari sosok Aldo.

Hara yang menarik tangan Tara dan berjalan di depannya otomatis menghentikan langkah ketika tanpa sadar, mereka sudah membelah kerumunan siswa lain dan berada di posisi yang tepat untuk sebuah pertunjukan.

"Aldo disana," Haramenambahkan.

Tara langsung melotot dan melepaskan genggaman tangan Hara. Perempuan itu bingung harus berbuat apa, karena sebelumnya Tara tidak pernah ikut campur tiapkali Aldo terlibat pertengkaran seperti sekarang. Ia menatap Hara yang justru hanya memperhatikan pergulatan dengan tatapan tajam.

.

"Lo inget?! Lo utang satu tonjokan dari gue, man!" Aldo langsung membanting tubuh Rey ke loker besi hingga menimbulkan suara gaduh.

Rey hanya menyeringai ketika satu pukulan telak mengenai rahang wajahnya. "Puas?!"

"Belom," Aldo kemudian menyerangnya kembali dengan tinjuan berikutnya hingga membuat Rey tanpa sadar juga ikut tersulut emosi.

Rey sudah muak.

Ketika semua orang mulai berkerumun menjadikan mereka sebagai bahan tontonan, Rey mulai berani mencengkram kerah kemeja Aldo. Ia tidak ingin menjadi tontonan sebagai pecundang yang hanya bisa menangkis setiap serangan yang Aldo berikan.

Puncaknya; saat kedua bola mata cowok itu menangkap sosok Hara yang mulai membelah kerumunan dan mengambil posisi yang cukup dekat, disaat yang bersamaan, Rey langsung membanting tubuh Aldo ke lantai dan mendudukinya.

"Lo—" Aldo mengerjap. Karena ia tidak pernah memprediksi serangan Rey.

"Terhitung mulai hari ini, gue peringatin sama lo; Kalau Gue. Nggak. Akan. Pernah. Mau. Kalah. Lagi dari lo, Njing!" Katanya, penuh penekanan.

Seluruh siswa yang ada disana seolah merasa rahangnya akan jatuh ketika melihat perlawanan yang seolah menjadi adegan langka. Selama ini yang mereka tahu, Rey takkan pernah berani melawan dan hanya bisa menangkis setiap pukulan yang Aldo berikan.

Kali ini, Rey benar-benar menumpahkan semuanya pada Aldo. Menyerang Aldo dengan tinjunya yang membabi buta, tanpa pernah membiarkan Aldo melawan barang sedetik pun.

Selama ini, selama bertahun-tahun Rey melampiaskan emosi yang ia pendam dan yang ia berusaha samarkan. Untuk semua penghinaannya, untuk semua perlakuannya dan untuk apa yang selama ini telah Aldo rebut darinya.

Termasuk Hara.

Rey baru menghentikan serangan ketika seseorang menariknya dari tubuh Aldo hingga membuat bagian belakang seragam Rey robek saking kuatnya. Saat Rey mengharapkan orang yang menariknya saat itu adalah Hara, Rey justru mendapati Tara.

Kalau bukan karena Tara tidak mau Aldo mati ditangan Rey, Perempuan itu lebih memilih untuk tetap diam. Tapi entah mengapa, melihat Hara yang justru hanya mematung ditempat dengan tatapan tajam dan dingin membuat otaknya mendiktraksi untuk menggerakkan kakinya ke arena yang dulu sangat ia takuti.

Ya, benar. Tara hanya mengandalkan mental nekad yang mendadak menghinggapinya.

"Rey lo keterlaluan!!" Tara berteriak, lalu berjongkok untuk membantu Aldo bangun.

Rey bangkit dengan rongga dada yang naik turun penuh emosi. Ia menatap Aldo tajam hingga cowok itu ikut berdiri dan menarik kemeja Rey dan bersiap melayangkan tinju di udara.

Tara langsung menahan lengan Aldo, padahal ia pun mati-matian menahan lututnya yang gemetaran. "Do, Do, Udah dong, Do.. Lo harus kontrol emosi lo..."

"Mulai songong, ya lo?! Baru punya nyali sedikit udah berani lo sama gue, gitu?!"

Rey bahkan berani berdecih, tepat di depan wajahnya. "Buat apa takut? Gue cuma ngelakuin apa yang seharusnya gue lakuin dulu,"

Aldo semakin mencengkram kerah kemeja Rey, dan cengkramannya semakin kuat. Lalu berbisik tajam. "Liat aja, sampai kapan pun, lo bakal selalu ada di bawah gue. Lo... nggak akan pernah bisa ngalahin gue, karena lo tau apa? Lo bakal selalu jadi pengecut—"

"Sorry, Do. Sayangnya, gue bukan Reynand yang dulu lagi." Rey menyeringai remeh, kedua tangannya langsung berusaha melepaskan cengkraman tangan Aldo kasar dan mendorong Aldo menjauh.

Bahkan Aldo tidak bisa menjaga keseimbangan kalau bukan karena tubuh Tara yang menahan dibelakangnya.

"WOY! BU FARIDA DATENG!!!"

Otomatis, beberapa siswa lari kocar-kacir. Tidak mau ikut terlibat dalam lingkaran dan memilih untuk pura-pura tidak pernah melihat kejadian yang baru saja terjadi. Hara masih bertahan di posisinya. Bahkan ketika beberapa orang menabrak bahunya secara tak sengaja, Hara masih tetap terpaku pada satu orang.

Rey hanya menahan napas ketika melihat beberapa siswa sibuk membubarkan diri. Tangannya mengepal, karena bagaimana pun juga ia terlibat. Rey kini tidak takut lagi masuk ke ruang BK, pun dulunya juga ia rutin keluar masuk ruangan  yang paling disegani seluruh siswa.

Ia menghela nafas berat, lalu menatap Aldo yang masih belum berhenti juga menatapnya tajam. Rey terperanjat, ketika ia merasakan genggaman tangan hangat yang menariknya menjauh dari tempat sebelumnya ia berdiri.

Seorang perempuan dengan rambut hitam yang dikuncir kuda, menuntunya berjalan, seolah mengajaknya ikut melarikan diri seperti anak-anak lain.

Rey terpaku. Dan menghentikan langkahnya dipertengahan koridor. Membuat perempuan itu menoleh ke belakang dan menariknya sedikit dengan paksaan.

"Har,"

"Udah ikut aja!"

Detik itu adalah pertama kalinya Rey melakukan kontak fisik dengan Hara. Senyumnya mungkin sekarang nggak secerah matahari, tergantikan dengan wajahnya yang kini sedingin dan segelap malam.

Meski begitu, satu hal yang masih belum berubah; yaitu Genggaman tangannya yang tetap sehangat dulu.

a/n : { ??

destia_creators' thoughts