webnovel

Rapuh

"Adudu, Aw..Ish"

"Diem,"

"A-Ah, Pelan-pelan! Linu, nih! Lo nggak ngerasain, sih!"

Geregetan, Hara dengan sengaja justru menekan es batu yang sudah di balut kain itu tepat ke tulang pipi Rey. Membuat cowok itu mencengkram pergelangan tangan Hara kuat. "SAKIT!"

"Ya udah makanya diem!"

"Kasar banget, sih! Sini ah! gue juga bisa sendiri!" Rey berusaha merebut satu kepalan es batu yang ada di tangan Hara, menempelkannya pelan-pelan ke area tulang pipi yang agak memar.

Hara hanya memutar bola mata, membiarkan Rey mengompress lukanya sendiri. Perempuan itu beralih membuka kotak P3K di meja. Tanpa suara, Hara menarik tangan kiri Rey yang menganggur. "Mana tangan lo?"

"Apaan—"

"Ini lecet! Lo nggak liat?!"

"Ah, nggak-nggak! Lo ngobatin orang luka aja nggak bisa lembut! Kasar, sih!" Rey menyembunyikan tangan kirinya di balik punggung, sedangkan tangan kanannya sibuk memegangi es batu.

"Bacot mulu lo! Belum liat kalau gue ngamuk, ya?!"

Rey menahan napas. Menyerahkan tangan kirinya ke arah Hara meskipun sedikit ada perasaan ragu. Pasalnya, dengan mood buruk seperti sekarang, Hara bisa langsung bertransformasi menjadi cewek kasar yang nggak ada lemah lembutnya sama sekali.

"Pelan-pel—"

"Iya..." Suara lembut Hara membuat Rey lantas mengatupkan mulutnya, tak ingin berkomentar lebih dan hanya meringis kecil ketika dirasa perih.

Rey juga dapat mendengar, perempuan itu menghembuskan nafas beberapa kali. Entah karena tarikan nafasnya yang kasar, atau memang karena ruangan UKS yang kelewat sunyi.

"J-Jam berapa sekarang?" Tanya Rey, berusaha mengisi kekosongan diantara mereka.

Sambil tetap memegangi lengan Rey yang sudah di lumuri obat anti-infeksi, tangan satunya merogoh saku seragam dan mengecek layar ponsel. "Eh, udah jam lima masa?"

"S-Serius? Pantesan perasaan sepi banget,"

Hara melirik Rey sekilas, lalu mulai membuka rekatan pada plaster. "Mau pulang sekarang?"

Rey menggeleng samar. "N-Nggak juga,"

"Biasa aja, nggak usah grogi gitu." Hara terkekeh, seraya menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga, rekatan pada plasternya cukup sulit untuk terbuka.

"Lo... tau nggak? Kenapa gue paling benci liat orang di bully?"

Kadang, Rey tidak menyukai bagian ini. Bagian dimana ketika Hara mulai melemparkan atau mengubah topik yang membuat mereka menjadi canggung satu sama lain. Meski begitu, Rey hanya mengerutkan dahi untuk sekedar memberi tanggapan ringan. "Kenapa?"

"Gue... pernah ada di posisi Aldo," Katanya, lalu beberapa detik perempuan itu mencak-mencak sendiri dan memilih untuk meremas plaster cokelat yang membuatnya emosi. "Sialan, plaster-nya buluk nih!"

"Nggak usah di tutup plaster, ntar malah jadi borokan." Rey menginterupsi. Diam-diam menyimpan senyum karena Hara bisa marah dengan hal-hal yang dapat dibilang sangat-sangat sepele.

"Ya nggak gitu juga, kan biar nggak kena debu—"

"Lanjutin apa yang lo bilang barusan?" Rey memutar bola mata, dan rasa penasaran yang tinggi mendorong cowok itu kembali ke topik semula. Meskipun nantinya mereka akan menjadi canggung.

"Yang mana?"

"Yang... apa lo bilang, tadi? Alesan lo nggak suka sama—"

"Oh, itu," Hara tersenyum. Ia menggeser kursi yang didudukinya sedikit lebih dekat ke arah Rey yang duduk di sisi ranjang. "Iya, gue nggak suka sama orang yang suka bully orang lain. Karena gue pernah ngerasain ada di posisi Aldo,"

Rey menggeleng. "Gue... nggak ngerti,"

Hara tersenyum. "Lo tau nggak? Kenapa gue pindah ke sekolah ini?"

"Gue nggak mau tau, sih ya. Dan nggak ngurusin juga. Gue tipe orang yang nggak suka ngorek-ngorek latar belakang orang lain."

Hara membasahi bibir bawahnya sebelum memulai cerita. Ia memainkan ujung roknya dan berusaha untuk menghindari tatapan Rey.

"Jadi, dulu... di sekolah yang lama, gue itu juga suka bully orang. Main mulut, main fisik, persis kaya apa yang Aldo lakuin ke elo. Mungkin, alesan kenapa gue bully dia terlalu childish, cuma karena dia laporin gue ke BK dan kita emang udah saling benci dari SMP. Dia anak orang nggak punya, tapi songong. Nggak tau malu, padahal dia bisa sekolah di sekolah bergengsi itu karena duit Nyokap-Bokap gue,"

Hara menahan kalimatnya, begitu melihat perubahan raut wajah Rey. Satu rahasia terkuak, dibalik sisi ceria dan friendly yang kerap kali Hara tampilkan. Lalu ia kembali melanjutkan;

"Yah, asal lo tau aja, kita udah sahabatan semenjak kelas 6 SD, suka main bareng waktu kecil, ngelakuin segalanya bareng-bareng. Sampe akhirnya, gue nyadar, pas mau kelulusan SMP, dia main api di belakang gue. Diem-diem ngerebut Adrian dan ngumbar-ngumbar aib ke anak-anak lain. Gue kesel, karena ngerasa dikhianatin—"

"Tunggu," Rey menginterupsi. "Adrian itu siapa? T-Terus, nama orang yang lo..."

Hara tersenyum maklum. "Adrian itu mantan gue waktu SMP. Dan orang yang lagi gue omongin ini namanya, Sheila. Lebih tepatnya, Almarhum Sheila."

"Almarhum?"

"Hmm, Sheila udah nggak ada. Dia meninggal setahun yang lalu."

Kalimat itu disusul dengan ekspresi sendu dan senyum kecut dari wajah Hara. Disisi lain, Rey merasakan sesuatu dalam hatinya seperti tercubit. Merasa kalau dugaannya benar, bahwa Hara pernah menjadi orang yang sama seperti Aldo.

"Ternyata kita satu SMA lagi, dan semuanya karena Bokap gue yang mutusin buat tetep bantuin keluarga Sheila meksipun Bokap gue tau gimana sikap Sheila selama itu. Gimana pun juga, dendam itu masih terus ada. Gue bully dia terus, sampe gue ngerasa puas. Padahal, kenyataannya gue nggak pernah ngerasa lega,"

Satu isakan pertama, membuat Rey mengulurkan tangannya, menghapus satu tetes air mata yang pertama kali ia lihat jatuh dari sudut mata Hara. Sejauh ini, Rey baru mendapati Hara menangis untuk kedua kalinya. Di perpustakaan, dan di hadapannya sendiri.

"Tepat waktu hari itu, ada kabar kalau Sheila meninggal semalem setelah gue berantem hebat di toilet cewek. Dia meninggal gara-gara bunuh diri, dan semua tuduhan ngarah ke gue. Oke gue akuin, sehari sebelumnya gue emang berantem sampe saling tampar juga saling jambak. Tapi gue nggak bakal nyangka kalau malemnya dia bakal—"

"Gue ngerti, kok." Tiba-tiba, Rey turun dari sisi ranjang, berjongkok di hadapan Hara yang masih duduk di kursi sambil menundukkan wajahnya. "Pasti ini berat buat lo nanggung semua asumsi yang belum tentu bener selama ini."

"Itu yang bikin gue harus mulai semuanya dari awal. Gue milih buat nggak ngulangin kesalahan yang sama, berusaha buat temenan sama siapa aja dan tetep tulus. Gue nggak suka sama segala hal yang sejenis bullying, karena gue tau, waktu mereka ngebully orang, mereka ngelakuin itu atas dasar nafsu. Dan sampai kapanpun mereka nggak akan puas. Termasuk Aldo,"

Perlahan, Rey mulai menarik bahu Hara memeluknya sedalam mungkin dan mengelus rambutnya. Rey bisa merasakan seragamnya basah karena air mata Hara yang terus mengalir. Kadang, nggak semua tuduhan yang mengarah ke arah satu orang itu selalu benar.

"Setiap gue ngeliat Aldo, gue selalu ngeliat diri gue sendiri di masa lalu. Setiap malem gue ngerasa bersalah, ngerasa benci sama diri sendiri karena gue juga nggak ada bedanya sama Aldo. Sheila bunuh diri gara-gara gue, Rey..."

Rey mengeratkan pelukannya. Berusaha untuk menjadi sandaran utama seperti apa yang Hara lakukan terhadapnya. "Nggak, Nggak gitu Har. Semuanya belum tentu bener, mereka yang nuduh lo, mereka nggak pernah tau apa yang sebenernya terjadi sama Sheila juga diri lo sendiri."

Jujur saja. Sore itu, Hara nggak bisa bilang, alasan awal mengapa ia selalu ingin bertahan di sisi Rey; Karena dengan selalu ada bersama Rey dan selalu mengulurkan tangan ketika Rey dalam kesulitan, membuat Hara merasa ada sedikit beban yang hilang.

Perlahan tapi pasti, bayang-bayang tentang sekolah lama yang menyimpan banyak masa lalu kelam Hara menguap begitu saja. Tentang mereka semua yang menganggap Hara adalah pembunuh, tentang mereka yang selalu menumpahkan minuman di lokernya dan tentang segala desas-desus dari mulut munafik yang dulu selalu membuat Hara takut untuk pergi ke sekolah.

Karena dengan berbagi cerita kelam pada Rey, perempuan itu merasa bahwa ia tidak sendirian.

***

Jam menunjukkan pukul enam sore ketika keduanya sampai di depan gerbang. Langit oranye perlahan berubah menjadi biru gelap seiring matahari yang kembali ke peraduan. Hara nggak pernah pulang selarut ini sebelumnya. Mereka hampir menghabiskan waktu selama dua jam hanya untuk mengobrol di ruang UKS.

Biasanya ada Pak Sapto yang patroli untuk mengecek beberapa siswa yang masih nongkrong. Tapi Rey dan Hara belum bertemu dengan pria setengah baya yang menjadi kuncen sekolah itu sampai detik ini.

"Yah, dikunci, Har." Rey mendesah, kita melihat gerbang yang menjulang tinggi ini di gembok.

"Lewat sini!" Hara menarik tangan Rey menuju ke area parkiran. Lahan parkir memang benar-benar kosong, menandakan kalau hanya ada mereka berdua yang tersisa. "Lo manjat duluan, ya?"

"Gue?"

"Iya, lah siapa lagi?! Atau mau gue aja yang manjat duluan?"

"Ah, enggak-engak. Gue takut!"

"Ya udah makanya! Cepetan naik, keburu gelap, nih." Hara memberi komando, ia memegang tas milik Rey agar cowok itu dapat leluasa melewati tembok pembatas di lahan parkir sekolah.

Ketika Rey sudah berhasil memanjat, Hara gantian memanjat dinding tersebut setelah melemparkan dua tas—miliknya, dan milik Rey—ke luar dinding pembatas.

"Yuk! Pulang! Tinggal cari taksi." Kata Hara, sambil menepuk rok bagian belakangnya yang sedikit kotor.

Samar-samar, keduanya dapat melihat cahaya kuning yang menyorot mereka dari jauh. Sebuah mobil taksi berhenti tepat di hadapan mereka berdua.

Dan selama perjalanan, Rey tidak pernah melepaskan tangan Hara barang satu detik. Cowok itu terus menggenggamnya dan berjanji akan memastikan Hara selamat sampai rumah.