webnovel

Nano Nano

Hari ini, Kantin sedikit lenggang. Tidak terlalu sesak seperti jam istirahat pertama. Sekitar pukul setengah dua siang bel istirahat kedua berbunyi, membuat Hara menghela nafas dan meletakan pulpennya di kotak pensil.

Ia melirik ke arah Aldo sebentar. Cowok itu masih duduk tegap di sebelahnya dengan kedua tangan terlipat dan kepala di tolehkan ke arah bangku paling pojok. Lebih tepatnya, ke bangku yang duduki oleh Reynand.

"Kenapa, sih?" Hara menegur Aldo, risih. "Masih dendam sama dia soal tadi pagi?"

"Bukan urusan lo," Aldo memalingkan wajahnya dengan tatapan setajam pisau. Cowok itu balik membereskan buku-bukunya yang berantakan di meja.

Hara hanya menarik nafas panjang, dan mengitari beberapa bangku untuk menghampiri bangku Rey. Perempuan itu membantu Rey merapikan buku-bukunya dan memasukannya ke dalam tas. "Kantin, yuk?"

Rey melirik Aldo sekilas, untuk beberapa detik ia bisa terhindar dari tatapan tajam Aldo sejak pagi tadi. "Ng—"

"Kenapa, sih? Aldo?"

Hara mengikuti arah pandang Rey dan tepat karena Aldo menatap mereka berdua dengan tatapan yang tajam seperti menyimpan sesuatu di baliknya. "Udah, nggak usah takut. Ayo!"

Ketika mereka berdua melenggang keluar kelas, Reynand sadar, kalau Aldo mengikuti mereka juga. Reynand pun juga sadar, kalau sesuatu akan terjadi detik ini juga.

Ia selalu ingat, Aldo tidak pernah main-main dengan kata-katanya.

***

"Ngomong-ngomong, tadi pagi lo berani banget! Gue sampe nggak nyangka kalau lo bakal berani banting tas ke muka Aldo!" Hara setengah berteriak, memaksa agar perhatian seluruh kantin terfokus kearah mereka. "Terusin aja! Biar Aldo tau, kalau lo juga berani sama dia!"

"Apa, sih Har..." Rey menggumam, mencubit lengan Hara pelan dan menunduk untuk menghindari tatapan seluruh mata yang tertuju ke arahnya.

"Sampe kapan, pun Rey tetep Rey. Banci, ya tetep banci juga!"

Suara itu.

Membuat Hara yang tadi tersenyum puas langsung memudarkan senyumnya. Rey sudah menduga, kalau Aldo akan ada disini untuk membalas secuil perlawanan Rey. Karena ia tahu, kalau Aldo takkan pernah membiarkan Rey berontak barang sedikit pun.

"Kok tiba-tiba disini?" Hara mengerutkan dahinya. Bertanya pada Aldo dengan intonasi biasa.

"Gue punya urusan," Bersamaan dengan itu, satu pukulan telak mengenai sudut mata Rey hingga memperlihatkan daerah kebiruan yang membekas.

Lagi-lagi, suara gedubrak yang besar membuat seluruh perhatian kantin tertuju pada mereka berdua. Tapi kali ini Hara tak tinggal diam, Ia menarik baju Aldo agar berhenti dan mendorongnya hingga terus mundur beberapa langkah. "Lo tuh nyadar nggak, sih?! Hal yang lo lakuin itu terlalu sepele!!"

"Diem, ini urusan gue!" Aldo mendorong tubuh Hara untuk menyingkir, tapi Hara masih tetap berdiri di tempatnya.

"Lo tuh nyadar nggak, sih?! Hal yang lo lakuin itu terlalu sepele!!"

"LO BISA MINGGIR NGGAK, SIH! INI URUSAN GUE SAMA DIA!"

"Dia temen gue, jadi gue juga berhak ikut campur."

"Nggak usah lebay!"

"Lo yang lebay, dude!" Hara berseru dengan seringaian remeh di wajahnya. "Rey cuma nampar muka lo pake tas, reaksi lo kaya gini?! Lebay banget, sih lo?"

"Eh, lo itu—"

"Hara, udah," Aldo yang belum menuntaskan kalimatnya, terpaksa mengatupkan mulut. Dengan sedikit tergopoh dan memegangi pelipisnya, Rey memegang lengan Hara. "Anter gue ke UKS."

Hara menyingkirkan tangan Rey, pelan. "Nggak. Urusan gue sama dia belum sele—"

"Udah, Ayo! Keburu Ibu Farida kesini!" Rey berbisik keras.

"Kali-kali! Cowok tengil kaya dia emang harus di kasih pelaj—"

"Udahlah... Har..." Rey semakin erat mencengkram lengan Hara agar mundur.

Tak jauh berbeda dengan respon sebelumnya, ia hanya menyikut lengannya agar cengkraman tangan Rey terlepas. "Diem,"

"Eh! Inget ya! Gue peringatin sama—"

Buru-buru, Rey merangkul leher Hara, mengapitnya di lengan dan menyeret perempuan itu keluar dari pusat perhatian. Hara masih terus melotot, bahkan dari kejauhan ia masih terus mengumpat dan menunjuk-nunjuk wajah Aldo.

"Awas, ya lo! Brengsek!"

Dan Aldo takkan pernah menganggap peringatan itu sebagai hal yang serius. Baginya, Rey dan Hara tak lebih besar dari kotoran yang terselip di kuku kakinya.

Kecil, cetek, dan menjijikan.

***

"Lepas! Lepas! Ah! Apaan, sih lo! Nggak asik!" Hara menggerutu, lalu berusaha melepaskan lehernya dari lengan Rey yang terasa mencekik.

"Ya, lagian lo ngapain—"

"Ngapain?" Hara membulatkan matanya, menarik nafas dan berharap ia masih memiliki kadar kesabaran yang tersisa. "Justru lo yang ngapain?! Kenapa lo diem aja waktu dia nonjok lo? Kenapa lo nggak ngelakuin hal kaya tadi pagi? Sebenernya disini, tuh emang lo yang bego atau—"

"GUE NGGAK BISA!" Rey berteriak.

Rey merasakan adrenalin yang kuat begitu ia berteriak untuk kali pertama dalam hidupnya pada seorang perempuan. Hara tidak dapat bergerak, statis. Seluruh syarafnya terkunci, kecuali ia hanya berkedip begitu Rey berteriak di wajahnya.

"Lo tau gue nggak bisa?! Jadi nggak usah maksa! Lo mau temenan sama gue?! Jadi terima gue apa adanya! Gue emang kaya gini, Gue emang banci! Puas?!"

Setelah kata-kata terakhir itu, Rey membuka pintu UKS dimana mereka berdiri saat ini. Meninggalkan Hara yang masih mematung dengan sel-sel otak yang tak kunjung terkoneksi. Dua detik setelahnya, Hara menghela nafas dari mulutnya. "A-Apaan, tadi? G-Gue di bentak? Oh My..."

***

Aldo menaruh bokongnya di sebuah kursi besi, menoleh ke sekitar sebelum merogoh sebungkus rokok dari dalam sakunya. Cowok itu mengapitnya di sudut bibir sebelum menyalakan api dan membakar tembakaunya.

Satu hisapan dan satu hembusan asap yang keluar dari mulut dan hidungnya langsung membuat Aldo menyandarkan punggungnya ke kursi, berharap menemukan ketenangan yang bisa memberikan sedikit efek rileks.

"Lo tuh nyadar nggak, sih?! Hal yang lo lakuin itu terlalu sepele!!"

"Lo tuh nyadar nggak, sih?! Hal yang lo lakuin itu terlalu sepele!!"

Kalimat demi kalimat yang Hara teriakan di wajahnya masih terngiang di benak Aldo seperti kaset rusak. Kadang, beberapa kali Aldo sering menganggap semua yang ada dalam hidupnya sia-sia. Rasanya, Aldo nggak punya gairah hidup lagi. Semuanya hambar, tak berasa.

Beberapa kali juga Aldo pernah mengakui, kalau yang ia lakukan terhadap Rey hanya untuk melampiaskan emosi yang selama ini terpendam. Karena ia tahu, sampai Rey mati di tangannya pun, itu takkan merubah apa-apa.

Kehangatan yang ia cari takkan pernah kembali.

"Anjrit," Aldo berdecak dan menatap perempuan yang seenak jidat menepis puntung rokoknya hingga jatuh ke tanah itu dengan tatapan tajam. Sungguh, kadar emosi dalam dirinya belum sepenuhnya ternetralisir.

Tara, namanya. Perempuan itu menginjak puntung rokok tadi dan menggilasnya dengan sepatu hingga tembakaunya hancur. Ia kemudian tersenyum masam ke arah Aldo dan duduk di sebelahnya dengan ekspresi tanpa dosa.

Aldo menatap Tara tajam. "Kesurupan lo?!"

Tara menoleh ke arah Aldo sembari tersenyum tipis. "Gue kasih tau, ya. Rey itu bukan orang yang pantes  buat lo cemburuin."

"Lo nggak tau, jadi nggak usah sok tau—"

"Hara udah milih Rey, jadi lo harusnya terima. Mau segimana lo maksa Hara buat suka sama Lo, itu nggak akan bisa, Do. Karena disini bukan Rey yang milih buat disukain Hara. Tapi, Hara sendiri yang milih buat suka sama Rey,"

"Ini bukan soal perasaan lagi, Ra. Lo nggak usah sok tau." Aldo memalingkan wajahnya, menghindari tatapan mata almond milik Tara.

"Lo masih ngelibatin perasaan lo, Do. Disini poinnya lo dendam sama Hara, lo masih sakit hati sama dia, itu sebabnya juga lo nggak akan mau berhenti buat ganggu Rey. Karena Reynand itu alasan kenapa sikap Hara kayak gitu sama lo. Dia udah punya perasaan duluan sama Rey. Gue tau, lo nggak bisa bales dendam sama Hara, makanya lo nyerang Rey,"

Hipotesa yang sedemikian rupa dirangkai oleh Tara membuat Aldo bungkam. Perempuan dengan rambut cokelat bergelombang sampai bahu itu menekan bahu Aldo agar bisa saling berhadapan. "Gue tau lo, Do. Gue juga tau Rey. Kita satu SMP, dan gue ngerti segimana bencinya lo sama Rey. Lo lupa? Dulu, orang pertama yang lo curhatin itu gue. Tapi sekarang lo berubah, lo lebih milih mendem semua sendirian dan ngelampiasin langsung ke orangnya. Itu salah, caranya nggak gitu—"

"Jadi sekarang lo juga ikutan belain Rey?! Terus aja, biarin semua orang ngebelain anak sialan itu!"

"Eh, Denger, ya! Ini di luar masalah keluarga lo, Do. Lo sendiri yang bilang dari dulu pengen anggep Rey orang asing. Tapi yang gue liat, dari SMP sampai SMA, lo yang selalu mulai duluan buat nyerang Rey. Gimana, sih?"

Aldo diam. Menatap Tara untuk beberapa detik sampai pada akhirnya cowok itu bangkit dari kursi dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Udah, ah. Capek gue dengernya!"

Saat Aldo melenggang pergi, Tara diam-diam tersenyum kecut dan kembali menyandarkan punggungnya ke kursi.

Ini yang nggak pernah hilang dari diri lo, Do. Kekanakan, Lebay, Dramatis, dan nggak berpikir panjang.

***

Hara memantapkan hatinya sebelum memutar knop pintu UKS. Kedua tangannya memegang sebuah mangkuk alumunium berukuran sedang yang isinya dua buah batu es yang perlahan akan mencair jika Hara terus saja berdiri di depan pintu.

Sepuluh menit, akhirnya Hara membuka pintu setelah berperang mental. Kakinya menyurusi tiap ranjang yang tirainya dibiarkan terbuka. Pasti Rey ada di tempat yang sama seperti beberapa waktu lalu—Ranjang ke empat, paling pojok.

Hara menyingkap tirainya, dan menyimpan mangkuk alumunium itu di meja. Cowok itu membaringkan tubuhnya di ranjang dengan mata terpejam dan wajah penuh luka memar yang belum diobati. Tanpa keraguan, Hara mengambil es batu yang ukurannya kurang lebih segenggaman tangan dan menempelkannya ke tulang pipi Rey.

"AH!" Siapapun juga tahu, rasanya ketika sensasi dingin mengenai area memar akan membuatnya terlonjak dan langsung melotot diwaktu bersamaan. Rey terduduk dan menepis tangan Hara hingga es batu tadi jatuh ke lantai dengan suara gemeletuk.

Sebal, Hara memukul lengan Rey tanpa peduli ada luka memar di area yang sama. Yang dipukul hanya meringis dan menggerutu pelan. "Lo tuh—"

"Lo tuh juga mikir! Mau ngompres muka itu es-nya di bungkus kain atau apa gitu kek! Punya akal nggak, sih?!" Rey meluapkan emosinya sebelum Hara duluan mengeluarkan sepatah kalimat.

"Ish! Kenapa, sih?! Hari ini lo ngeselin banget!"

"Lo yang ngeselin! Nggak tau apa gue lagi PMS!"

"Mana ada cowok PMS?!"

"Ada! Gue!" Rey setengah berteriak. "Gue cowok pertama yang bisa PMS, mau apa lo?!"

"Mau ngambil lap!" Hara mulai beranjak, menjauh dari ranjang Rey dan melangkah ke arah lemari kaca di sudut kanan ruangan UKS. Dan tidak menanggapi pertanyaan Rey sebagai candaan.

"Buat apaan?"

"Buat ngompres muka lo lah! Bego!"

"Kok pake lap, sih?!"

Saking emosinya tak tertahankan, Hara melemparkan satu bungkus tisu yang ada di dalam lemari kaca. "Ya udah diem aja babi!"

a/n:{oke ini garing keknya. Yaudahlah ya. Akhir-akhir ini mood emang lg gak bagus:(

destia_creators' thoughts