webnovel

J A R A K

"Lo... kenapa disini?"

Hara membasahi bibirnya, gugup. Cowok itu juga sama kagetnya saat menemukan Hara berada dalam Bus yang sama. "D-Dari mana?"

"Lo yang dari mana! Lo nggak sekolah?!" Hara bertanya balik dengan berapi-api.

"Gue—"

"Ya ampun, berarti tadi lo bolos, gitu?!"

Rey menarik nafas dan melemparkan pandangan keluar kaca. Malas berdebat dengan suara delapan oktaf milik Hara. Rey baru sadar, kalau ternyata perempuan itu nggak punya malu untuk teriak di tempat umum. "Kecilin suara lo,"

Hara menoleh ke sekitar, dan membalas tatapan aneh para penumpang dengan senyum kikuk. "Ah, sorry."

Hara benar-benar nggak bisa membaca pola pikir Rey. Bagaimana bisa cowok itu bolos sekolah dengan keadaan seperti ini? Maksudnya, Seharusnya Rey beristirahat di rumah jika memang alasannya bolos karena sekujur tubuhnya nyeri gara-gara insiden kemarin.

Pasalnya, Rey mengenakan seragam almamater lengkap, membawa tas berisi buku pelajaran, meskipun ada yang sedikit berbeda karena hari ini cowok itu tidak mengenakan bando, dan dari poninya yang mulai memanjang, Hara bisa melihat dahi milik Rey di balut oleh plester.

"Lo sakit?"

Rey menggeleng tegas dan buru-buru menepis tangan Hara yang sepertinya hendak menyentuh kepalanya. "Udahlah,"

"Kalau lo sakit harusnya lo di rumah, bukan keluyuran pake baju seragam gini. Kan kesannya lo kayak anak bad boy yang suka mabal pelajaran." Komentar Hara, panjang lebar.

Rey memutar bola matanya, mencabut dua earphone yang menyumbat telinga dan memasukkannya ke dalam tas yang ia pangku di paha. "Tadi juga udah niat mau ke sekolah,"

"Terus, kok malah nyasar kesini?"

"Males aja, jadi pas udah mau nyampe gerbang gue balik lagi."

Hara tergelak. "Ih, bego."

"Suka-suka gue, dong."

Hara menatap Rey sebentar dan mendesah, lalu memilih untuk meng-iya-kan ucapan Rey. Perempuan itu menyandarkan punggung ke kursi dan memejamkan mata saat dirasa Bus mulai melaju. Selama beberapa detik, ia terbayang lagi dengan ucapan Aldo beberapa saat lalu.

Rey itu saudara gue.

Rasanya nggak mungkin.

Tapi, Hara juga nggak bisa bilang itu mustahil. Karena apa yang Aldo rasakan juga cukup manusiawi, Jika Hara ada dalam posisinya, mungkin Hara juga akan melakukan hal yang sama. Tapi nggak separah apa yang Aldo lakukan pada Rey.

Menindasnya.

Menginjak harga dirinya.

Mempermalukannya.

Dan tidak menganggap Rey manusia yang bisa kapan saja berontak.

Hara membuka mata, menolehkan kepala pada Rey.

Dan, mata mereka bertemu.

"Re—Lo ngeliatin gue?" Hara menyipitkan matanya penuh selidik.

Rey gelagapan dan ia kesal sendiri karena menunjukkan kegugupannya. Cowok itu menelan ludah dan memalingkan wajah ke sembarang arah. "Eng-Enggak."

Hara menyikut lengan Rey usil, dan dengan eskpresi Prilly yang seolah menggodanya membuat Rey semakin gelagapan. Sejauh ini, selama Rey bermain dengan teman-teman perempuannya di Bandung, Rey nggak pernah merasa gugup atau salah tingkah seperti ini. "Lah, kebanyakan gengsi, deh. Oh, Iya. Gue mau nanya,"

Akhirnya. Hara mengalihkan topik.

"N-Nanya apa?"

"Rumah lo... dimana?" Beberapa detik, sebelum mulut Rey terbuka untuk memberi jawaban, Hara berusaha meralat pertanyaannya. "Eh, maksud gue... lo tinggal sendiri gitu?"

Rey berkedip beberapa kali. "Lo... tau darimana?"

"Berarti bener? Lo tinggal sendiri?"

Rey mengangguk pelan. "Iya," Tebakan Hara benar.

"Sejak kapan?"

"Emang kenapa, sih? Lo tuh terlalu kepo banget sama hidup gue." Rey mendesah. Karena lama kelamaan ia juga kesal dengan sikap Hara yang kadangkala membuatnya aneh sendiri.

Hara merengut. "Yaa, nggak gitu... gue, kan cuma nanya doang. Lagian itu juga artinya gue—"

"Dari sebulan atau dua bulan lalu, gue emang tinggal sendiri di apartemen punya bokap." Rey memotong ucapan Hara, to the point.

Hara mengatupkan mulutnya. Dan pernyataan barusan yang ia dengar persis seperti apa yang Aldo katakan. Itu juga tidak menutup kemungkinan bahwa mereka sebenarnya satu Ayah.

Hara menatap Rey lama, dan tidak sadar kalau Rey langsung merasa tak nyaman tiap kali pandangan mereka bertemu. Menurutnya, tidak ada kesamaan antara Reynand dan Aldo. Kecuali alis tebal dan bola mata hitam pekat, juga tatapan tajam yang mereka sama-sama punya.

Meski begitu, antara Reynand dan Aldo adalah dua cowok dengan kepribadian yang saling bertolak belakang. Aldo dengan sikap kasarnya, dan Rey dengan keluguannya.

"Besok lo mau sekolah?"

Rey menolehkan kepalanya. Lalu mengangkat kedua bahu. "Nggak janji,"

Hara mendesah. "Kenapa harus ngehindar, sih? Gue tau, lo nggak sekolah pasti gara-gara kemarin. Iya, kan?"

Rey diam, dan Hara masih belum puas mencecarnya dengan omelan. "Nggak perlu takut gitu, Rey. Yang lo butuhin itu cuma keberanian. Toh, lo sama Aldo juga sama-sama manusia, kan?"

"Lo nggak akan ngerti, Har. Jadi mendingan diem. Gue bisa ngatasin ini sendiri."

Setelah kalimat itu, Hara bungkam. Tak bersuara.

Dan kalau dipikir lagi, bisa saja Rey malas berteman dengannya karena sikap sok tau, cerewet dan Kelewat kepo yang ia punya. "Ya udah, gue diem."

.

Untuk satu jam kedepan. Hara kebosanan karena tidak tahu harus melakukan apa selama di dalam Bus. Biasanya ia selalu bisa mengatasi rasa kantuk dan bosan selama perjalanan pulang, tapi kali ini nggak. Entah karena apa.

Baru saja Hara ngin mencoba mengobrolkan sesuatu yang lain dengan Rey, perempuan itu mengurungkan niatnya. Ternyata, Reynand tertidur.

Saat matanya tertutup, image feminim itu mendadak terbang entah kemana. Cowok itu begitu manis dengan alis tebal dan bulu mata lentik yang panjang. Lagi, ia melihat earphone putih tersumpal di kedua telinganya, seolah Rey tertidur bersama dengan alunan musik yang berasal dari ponselnya.

Katanya, sikap dan perilaku asli seseorang dapat dilihat saat ia sedang tertidur. Dan Hara menangkap sisi ketegasan dalam ekspresi wajah Rey. Seperti perkiraannya, bahwa Reynand bukanlah sosok yang lemah.

Suara dentuman kecil membuat Hara hampir tertawa lepas kalau ia tidak mengontrol diri untuk menahan tawanya sejenak. Beberapa kali kepala cowok itu membentur kaca ketika Bus melaju, dan ia tetap tidak terjaga dari kantuknya.

Hara menarik kepala Rey, agar kepalanya bisa bersandar ke kursi dan tidak membentur kaca. Setelah itu, Hara membiarkan Rey tetap terlelap dan tak menyentuhnya sama sekali.

Dua detik.

Tanpa sengaja, Hara merasakan sebuah rambut halus mengenai lekukan lehernya. Dan ternyata kepala Rey justru jatuh di pundak Hara. Perempuan itu bisa merasakan hembusan nafas beraturan milik Rey.

Sekarang, Hara tidak harus melakukan apa-apa untuk melawan kantuknya. Karena dengan begini, otomatis membuat Hara tidak bisa memejamkan mata barang sedetik.

Hara sibuk mengatur dan menetralkan degupan jantungnya yang terus bergemuruh.

Entah karena apa.

***

"Ih, masa gue baru tau kalau Aldo udah jadian?"

"Serius?! Sama siapa?"

"Anak baru di kelas gue. Ih anjir, belagu banget lagi orangnya. Dulu aja, sok-sok an berani sama Aldo. Lah sekarang? Kemakan juga, kan?"

"Namanya siapa?"

"Hara, baru pindah sekitar dua atau tiga minggu yang lalu, lah. Lo tau, kan? Cewek yang ribut sama Aldo di kantin waktu itu?"

"Hmm, gue inget. Ngebela Rey, kan? Ya ampun, apa banget, sih.."

Suara orang ngedumel yang sayup-sayup terdengar dari sisi kanan membuat Rey mempererat cengkraman pada pintu loker. Matanya menatap kosong ke dalam loker yang berisi barang-barang juga bukunya yang tak beraturan.

Rey mengurungkan niatnya mengambil sebuah tisu basah setelah mendengar kesimpulan dari obrolan dua cewek yang berada beberapa meter di sebelahnya ini. Vanya dan Inez. Dua cewek yang ia tahu memang hobi menggaet cowok populer di sekolah.

Bukan itu masalahnya.

Hanya saja; rentetan kata yang ia dengar membuat hati Rey tercubit.

Aldo sama Hara pacaran?

Vanya dan Inez langsung buru-buru merubah posisi begitu mendengar suara pintu loker yang dibanting. Mereka mengganti gestur seperti pura-pura mengambil buku dan memeriksa loker masing-masing. Mereka kira, Rey keki karena namanya di sebut-sebut. Dan insiden di kantin itu juga belum terlalu lama. Sekitar seminggu yang lalu, atau mungkin lebih.

***

Rey membuka sepatunya ketika mulai memasuki ruang baca. Menyisakan kaus kaki putih yang melekat di kaki. Kali ini, Rey memilih membaca di ruangan baca sebelah, yang hanya berupa karpet hangat untuk duduk sambil membaca buku juga beberapa rak pendek. Sekedar informasi, perpustakaan sekolahnya memiliki dua ruangan khusus; untuk membaca dan mengerjakan tugas—di ruangan yang sengaja di taruh meja dan kursi.

Kebetulan, Ruang baca tidak terlalu ramai hari ini. Beberapa orang terlihat membaca sambil tengkurap, ada yang tertidur dengan wajah di tutupi buku dan ada pula yang duduk manis dengan beberapa tumpuk buku di pangkuannya. Yah, ini memang lingkungan Rey.

Rey meletakkan dua buku di pangkuannya. Dan membuka satu buku tebal yang ia ambil dari rak Sastra. Bau khas buku lama langsung menyeruak begitu Rey membuka halaman yang mulai kekuningan karena jamur.

Selama dua puluh menit membaca, tak ada satu materi pun yang masuk ke dalam otaknya kecuali suara Vanya dan Inez yang masih terngiang di otaknya.

Aldo dan Hara pacaran.

Sekarang, Rey merasa benar-benar sendirian.

Juga, menyesal. Karena saat Hara berusaha dekat, Rey tak menariknya mendekat, melainkan terus mendorongnya menjauh hingga perempuan itu sekarang benar-benar jauh.

Jauh, karena sekarang Hara sudah berada dalam lingkaran Aldo.

Rey mendengus dan menutup bukunya dalam sekali tepukan. Mengumpulkan tiga buku yang secara random ia ambil untuk menetralkan mood  yang sempat memburuk. Cowok itu menenteng tiga buku tadi dan memakai kembali sepatunya untuk mengembalikan buku ke rak.

Saat meletakkan buku terakhir di rak khusus buku Sejarah. Dari sela-sela rak, ia dapat menangkap sebuah siluet wajah. Perempuan yang sedang fokus membaca buku sampai tidak menyadari seseorang memperhatikannya dari balik rak.

Diam-diam, Rey memperhatikannya. Wajah Hara yang sebagian terhalang oleh susunan buku-buku diseberangnya. Untuk beberapa menit, entah kenapa Rey ingin terus berada dalam posisi seperti ini.

Dan ia baru menyadari, jantungnya berdegup lagi. Dua kali lebih cepat dari biasanya dan dua kali lebih bergemuruh dari biasanya. Perasaan kecil, aneh dan menggelitik yang sampai sekarang belum Rey akui.

.

Lalu ia tersadar akan sesuatu.

Objek yang dipandanginya adalah milik orang lain.

Milik Aldo.

Seseorang yang sampai kapan pun takkan bisa ia lawan dengan tangan kosong.

Rey menarik wajahnya dan kembali meletakan buku tadi pada tempatnya. Lalu melenggang pergi keluar perpustakaan tanpa Hara sadari.

.

Faktanya, dari dulu sampai sekarang, nggak ada satu orang pun yang benar-benar menjadi temannya.

Kalaupun ada, pasti dia nggak bertahan lama di samping Rey. Selalu pergi duluan, sebelum Rey benar-benar meminta uluran tangannya.

Semua itu karena Aldo. Yang membuat Rey seakan seperti bakteri yang harus di jauhi.

a/n: {Kurang baik apa aku up sampe 3 bab, huhu}

vote & Comment yaaa ^_^

nanti sore kemungkinan aku update lagi :))

destia_creators' thoughts