webnovel

Fall

"MANA HARA?!"

"G-Gue nggak tau,"

"Anjing," Aldo berdecak. Meraih kerah seragam Rey yang sudah lusuh. Ia tak peduli, teriakannya akan mengganggu orang-orang yang bermukim disini. "Terus lo diem aja gitu?! Lo tuh emang manusia nggak berguna!"

Begitu satu tinjuan itu hampir saja mendarat di pipi kanan Rey yang masih memar, cowok itu dengan tangan bergetar meraih kerah seragam yang masih Aldo kenakan. "G-Gue janji, Gue nggak akan kabur. Begitu lo temuin Hara, lo bisa bunuh gue. Janji."

Kepalan tangan yang sudah mengambang di udara akhirnya Aldo lepaskan begitu saja. Ia berteriak, kesal. Situasinya sama sekali tidak bisa ia kendalikan. "Argh! Anjing."

"Temuin Hara, dan gue janji, lo bisa ngabisin gue semau lo. Please,"

Aldo menatap Rey sekilas, lalu segera pergi membawa mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Dua jam yang lalu, ia sibuk melacak GPS dari ponsel Rey, namun hasilnya benar-benar membuatnya stress—karena ternyata, Hara tidak bersamanya.

Hara menghilang, sedangkan yang Rey lakukan hanyalah menangis di pinggir jalan seperti gembel tengah malam.

Satu hal itu yang membuat Aldo semakin meyakinkan dirinya. Kalau Rey takkan pernah berguna dalam situasi apapun.

***

Please don't see

Just a boy caught up in dreams and fantasies

Please see me

Reaching out for someone I can't see

—Lost Star;

.

.

.

.

Udara pukul satu pagi begitu dingin hingga menusuk tulang. Kaki-kakinya masih terus berlari tak tentu arah, pun tak peduli dengan telapaknya yang sudah lecet penuh luka akibat tak mengenakan alas. Keringat dingin masih terus mengucur, bersamaan dengan tangis yang masih berusaha ia tahan hingga bibirnya bergetar.

Tak ada lagi bayangan akan masa depan. Semuanya menguap begitu saja. Hanya dalam beberapa menit, semua harapan dan cita-cita yang biasa dulu ia tulis di balik lembaran kosong Buku Fisika lenyap sudah.

Ia bahkan tak memikirkan lagi, akan jadi apa dirinya besok. Yang ada dipikirannya sekarang hanyalah; berlari.

Berlari sejauh mungkin, melewati rumah-rumah semi permanen yang reyot dan tak berbentuk itu. Berusaha mencari jalan keluar diantara gang-gang sempit yang becek. Berusaha mencari bantuan agar ia bisa kembali ke rumah.

Setelah berlari cukup jauh, pada akhirnya Hara terduduk di aspal jalanan yang sepi. Di bawah lampu kuning yang menyala temaram untuk menerangi jalanan di malam hari. Hara tidak kuat lagi, bahkan sekedar untuk berdiri.

Tenaganya habis. Perlawanan demi perlawanan yang ia lakukan beberapa jam yang lalu nyatanya tak membuahkan hasil. Tangan-tangan kotor dan orang-orang berbadan kekar dengan bau alkohol dan tembakau yang khas itu tetap berhasil menyentuhnya. Menyisakan rasa sakit yang dirasakan hingga bagian terdalam hatinya.

Trauma, itu pasti.

Bayangan-bayangan kelam, teriakan, dan setiap tawa puas yang ia dengar masih terus terngiang-ngiang di benaknya. Hara tidak ingin lagi mengingatnya, tapi memori itu akan terus menghantui setiap waktu.

Rasanya, ia ingin mati saja. Tidak ingin melanjutkan hidup yang nyatanya tak memiliki gambaran lagi.

Kertas putih yang dari dulu selalu ia jaga agar tak pernah terkena tinta hitam pada akhirnya ternodai juga. Bercak hitam yang ada di lembaran putih itu akan tetap menempel disana dan tak pernah bisa hilang kecuali Hara menggantinya dengan yang baru.

Sayangnya, ia hanya memiliki satu lembaran putih yang merupakan gambaran untuk masa depannya nanti.

Hara menangis, sejadi-jadinya. Mengeratkan kemeja SMA-nya yang sudah tak memiliki kancing itu agar sedikit meminimalisir hawa dingin yang menusuk kulit. Seragamnya lusuh, Rok abu-abu selututnya kusut dengan sedikit noda hitam karena cipratan lumpur selama ia berlari di gang-gang yang becek. Rambutnya yang terkuncir satu kini teurai acak-acakan.

Luka memar di sekujur tubuh, dan rasa sakit di beberapa area tertentu masih bisa ia rasakan. Bahkan aroma tubuhnya sekarang berubah menjadi aroma alkohol yang pekat dan menjijikan.

Tiba-tiba ia mengingat sesuatu.

Dengan tangan bergetar, Hara merogoh saku roknya. Mengeluarkan ponsel yang layarnya sudah retak karena diinjak-injak oleh preman biadab itu. Harapannya satu; benda itu bisa menyala.

Dua menit. Sorot cahaya dari ponselnya membuat senyum penuh harap itu tertarik sedikit. Ratusan panggilan tak terjawab perlahan mulai masuk disusul dengan puluhan pesan singkat yang belum terbaca.

Dan dua detik setelahnya, benda itu bergetar. Menandakan sebuah panggilan masuk di saat yang tepat.

Hara segera menjawab panggilan, menempelkan benda itu ke telinga dan mendengarkan suara seseorang yang membuatnya merinding.

Karena justru; orang yang paling ia benci di dunia ini sekarang sedang mengkhawatirkannya.

"Hallo?!"

"Hallo! Hara?! Hara!  Lo disana kan?!"

"Har! Lo dimana?! Jawab gue!"

"Har?!"

"Har! Please, Jangan matiin handphone lo oke?"

"Tunggu disana, gue bakal nemuin lo. Gue janji,"

Tenggorokannya tercekat. Ia bahkan tidak bisa mengeluarkan satu patah kalimat untuk sekedar bergumam atau mengatakan bagaimana keadaannya sekarang. Hara menangis lagi, memilih untuk memutuskan panggilan dan meremas ponselnya kuat-kuat.

Ia tetap disana, menuruti perkataan Aldo dan berharap penuh bahwa cowok itu akan menepati janjinya. Hara terduduk, di trotoar jalanan yang sepi tanpa lalu lintas kendaraan apapun.

***

"Sial, malah di matiin!" Hara berdecak dan melemparkan ponselnya ke dashboard mobil hingga menimbulkan suara saking kerasnya.

Ia mengusap wajahnya frustasi, karena tak tahu harus mencari Hara kemana lagi. Tidak ada satu pun orang yang mengangkat ponselnya di tengah malam begini, apalagi untuk sekedar mengangkat telfon Aldo yang menanyakan nomor ponsel Ayah atau Kakak Hara sendiri.

Situasinya nggak tepat. Terlalu sulit, hingga Aldo ingin menyerah dan membiarkan Hara menghilang tanpa mau lagi mencarinya. Toh, selama ini perempuan itu juga tidak pernah menganggapnya ada apalagi untuk peduli sedikit saja.

Tapi rasanya aneh, Aldo merasakan adrenalin yang tidak pernah ia rasakan pada perempuan manapun kecuali Hara. Perasaan untuk terus melindungi dan peduli sekalipun hal tersebut tak berbalas. Sekuat apapun Aldo diacuhkan, pada kenyataannya cowok itu tetap peduli.

.

Satu jam berlalu. Signal-signal dari ponsel Hara yang ia lacak mulai memberikan indikasi semakin dekat. Mobil yang Aldo bawa mulai memasuki pemukiman padat penduduk yang terasa asing. Tapi untuk beberapa saat, Aldo merasa sedikit mengenali tempat ini.

Tempat yang pernah ia gunakan untuk acara balap liar dan... tawuran dulu.

Jantungnya tiba-tiba berpacu dua kali lipat lebih cepat. Seluruh tangannya mulai dingin dan tungkai kakinya melemas ketika melihat seorang perempuan yang ia kenali duduk di sisi trotoar sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

Siluetnya semakin jelas begitu lampu kuning yang berasal dari mobil Aldo menyorot tubuhnya yang terus meringkuk ketakutan. Dengan sekali hentakan, Aldo menutup pintu mobil dan keluar untuk menghampiri Hara.

Perempuan itu mendongak dengan wajah pucat. Aldo segera berjongkok di depannya dan memeluk Hara seolah ini adalah kesempatan terakhirnya bertemu dengan perempuan itu. Aldo meraih bahu Hara ke pelukannya memelukanya sangat erat dan mencium pucuk kepalanya.

"Ng-Nggak papa, Har, Gue disini." Aldo bahkan tidak tahu harus bagaimana mengekspresikan suasana hatinya sekarang.

Shock, kesal, marah, sedih dan bersyukur karena ia menemukan Hara sebelum hari berubah cerah. Dimana tidak ada yang tahu bagaimana keadaan Hara saat ini.

Aldo segera berinisiatif membuka kemeja putih sekolah yang ia kenakan, menyisakan kaus putih polos yang tipis. Cowok itu segera merangkapnya dengan kemeja putih Hara yang sudah tidak berkancing dan robek di bagian lengan. "Pake ini,"

Hara masih membisu, tidak tahu harus mengatakan apa. Yang pasti, seluruh tubuhnya kini lemas, pikirannya keruh dan panca inderanya mendadak seakan tidak berfungsi dengan baik begitu Aldo menemukannya.

"It's okay, gue disini." Hara dapat mendengar bagaimana Aldo berbisik ke telingannya dengan suara bergetar, menandakan kalau cowok itu sama paniknya.

Ketika Hara berusaha untuk melepas pelukan Aldo, cowok itu terus menarik tubuhnya agar tak bergerak. Membuat Hara pada akhirnya menyerah dan menumpahkan semua apa yang sejak tadi ia tahan. Perlahan, Hara mulai melingkarkan tangannya di pinggang Aldo, membalas pelukannya.

"Makasih," Aldo berbisik. "Makasih karena lo baik-baik aja."

Saat mendengar itu, air mata Hara menetes. Disusul dengan buliran air mata lain yang ikut jatuh sesuai dengan emosi yang ia rasakan. Kemudian berubah menjadi rintihan, tangisan, dan isakan yang membuat Aldo semakin mengeratkan pelukannya.

Lo salah, Do. Gue nggak baik-baik aja.