webnovel

Awkward

Hara melirik Tara yang kini duduk mengisi bangku yang biasanya Aldo tempati. Bangku di depan di biarkan kosong, dan Tara juga duduk disini tanpa alasan. Hara menyikut Tara, karena perempuan itu bahkan tak meliriknya sama sekali setelah Hara mendudukan diri disebelahnya.

"Lo... tadi ngobatin Aldo dimana?"

Tara hanya menoleh, namun tatapannya terlihat tak bersahabat. "Di depan minimarket deket sekolah, sekalian beli obat merah. Gue tadi ke UKS, tapi ada lo sama Rey."

Seketika Hara membulatkan matanya. "Berarti tadi lo liat....?"

"Liat apa?" Tara hanya mengerutkan dahi, bersikap seolah tidak mengetahui apa-apa.

Hara hanya menggeleng pelan. "Nggak, bukan apa-apa. Sorry, gue nggak tau kalau lo tadi lewat depan UKS."

Tara hanya tersenyum tipis, dan memandangi garis-garis kosong yang ada di buku tulisnya. Ia mengetukkan pulpen yang ia pegang ke permukaan meja dan berhenti menatap wajah Hara. Di satu sisi, ia benci harus bersikap seperti ini.

Iya, Gue liat semuanya.

.

Tara melihat semuanya. Saat dimana ia membantu Aldo berjalan ke UKS, matanya tanpa sengaja melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat dan tidak juga Aldo lihat dari gorden UKS yang sedikit tersingkap. Saat itu yang ia lakukan adalah menatap wajah Aldo yang memar-memar.

"Do, kayanya UKS-nya di kunci, deh. Soalnya nggak ada orang. Kita ke minimarket sebelah aja gimana? Sekalian beli plaster sama obat merah?"

Aldo menggeleng, "Nggak usah, deh."

Ia melepaskan tangannya dari bahu Tara, lalu berusaha berjinjit untuk memastikan ada orang atau tidak di dalam sana. Namun, Tara keburu menarik ujung bajunya. "Ayo cepetan! Keburu Ibu Farida dateng, lo nanti nggak sempet obatin luka lo!"

Tara sebenarnya hanya berusaha.

Berusaha menutup kesan buruk untuk Hara dan berusaha menjaga perasaan Aldo sekaligus kedamaian untuk Rey. Kalau sampai Aldo tahu, Semuanya akan lebih rumit.

Sampai saat ini, Aldo bahkan masih mengharapkan Hara, ketika Hara sama sekali nggak memberinya balasan apapun.

Tapi yang paling menyakitkan adalah; Aldo juga sama sekali tak melihat perempuan lain selain Hara. Perempuan lain yang sebenarnya sudah menyayanginya tanpa harus dipaksa

***

Jam menunjukkan pukul dua siang; bersamaan dengan Bel sekolah yang berbunyi nyaring. Hara melihat gerak-gerik Tara yang sebenarnya membuat ia menjadi kurang nyaman. Tara dengan tergesa membereskan bukunya sekaligus buku Aldo dan membawakan tas cowok itu.

"Gue duluan, ya." Hanya itu; kalimat yang terucap dari bibir Tara sebelum perempuan itu melenggang pergi.

Hara bahkan belum sempat menggangguk, ia hanya menatap Tara yang langsung saja keluar dari kelas. Hara buru-buru mengejarnya, namun perempuan itu terlalu cepat melewati koridor dan menuruni tangga untuk sampai ke lapangan.

Kelasnya berada di lantai dua. dan dari atas sini, Hara dapat melihat dua anak cowok yang berlari mengitari lapangan sebagai hukuman tambahan. Hara dapat melihat bagaimana Aldo berusaha berlari lebih unggul di depan Rey atau menodorong tubuh Rey sampai hampir kehilangan keseimbangan.

Diam-diam, Hara menarik senyum. Aldo mungkin nggak berubah, masih tetap childish dan temprament. Tapi yang membuat senyumnya mengembang adalah; karena Rey justru yang berubah.

***

.

.

Hari itu hari Senin. Hari yang mungkin paling ingin dihindari oleh kebanyakan murid dari dulu sampai sekarang. Upacara ditengah terik matahari pagi yang sebenarnya menyehatkan, tapi juga membosankan.

Setiap hari Senin, gerbang sekolah ditutup lima belas menit lebih awal dari biasanya. Dan sekarang, Hara berlari ditengah koridor sambil sesekali membetulkan sepatunya yang belum terpasang sempurna. Kebiasaan lama, telat.

Ini masih pagi, dan wajahnya sudah berkeringat. Semua ini nggak akan terjadi kalau aja perutnya tadi nggak keram. Iya, sebelum berangkat sekolah Hara merasakan perutnya melilit dan akhir-akhir ini badannya memang sedikit mudah lelah.

Begitu ia membuka pintu kelas, Hara mendapati seorang cowok yang sepertinya juga sama-sama terlambat. Hanya saja, ia lebih dulu sampai di kelas sebelum Hara.

Perempuan itu berusaha menghindari kontak mata dengan Rey yang sedang membuka sweater abu-abu yang ia kenakan. Rey sebenarnya menyadari kedatangan Hara, tapi berusaha untuk tidak menyapa karena... canggung?

Lagi dan lagi, kejadian itu berputar di otaknya.

Setelah mengambil topi dari dalam tas-nya, Hara mengambil langkah keluar kelas dan meninggalkan Rey. Padahal, Rey hampir ingin mengatakan sesuatu...

Selang dua detik, Rey keluar menyusul langkah Hara dengan sweater ditangannya.

.

Hara mengerutkan dahi ketika beberapa anak yang berkerumun untuk membentuk barisan ditengah lapangan itu kini memperhatikannya dengan tatapan aneh. Hara membasahi bibirnya, gugup. Ia berharap bisa menemukan barisan kelasnya, atau paling tidak... Tara.

Ia baru akan mengambil langkah maju untuk menghindari kerumunan sebelum seorang siswa perempuan dari kelas lain berjalan ke arahnya. Gesturnya menunjukkan seperti hendak membisikkan sesuatu. "Eh, gue mau ngasih tau lo—"

Namun Hara hampir kehilangan nafasnya ketika menyadari seseorang melingkarkan sebuah sweater di pinggangnya. Hara dapat merasakan nafas hangat dari cowok di belakangnya. "Har, lo tembus."

"Hah?"

.

.

Lalu saat itu juga, Rey menarik tangan Hara keluar dari area lapangan menuju UKS. Hara bisa membayangkan pipinya memanas, merah dan mungkin saja hampir terbakar saking malunya. Ia memejamkan mata rapat-rapat saat Rey menariknya melewati setiap koridor.

Kali ini, Hara akan berterima kasih pada sweater abu-abu yang melingkar di punggung dan menutupi area bokongnya. Setidaknya, bercak darah yang ada di rok abu-abunya tidak terlalu kentara.

"Lo tunggu disini, Kalau ada anak PMR, bilang aja lo sakit, jadi nggak ikut upacara. Oke?" Rey sedikit mendorong tubuh Hara untuk masuk ke UKS.

Saking gugupnya, Hara hanya mengangguk seperti orang linglung. Namun ia masih bisa melihat Rey tersenyum. "Gue mau lari ke minimarket deket sekolah, bentar ya?"

Sumpah, hari ini adalah hari paling memalukan dalam sejarah hidupnya.

Dan UKS akan menjadi tempat paling bersejarah untuk hidupnya. Karena disini, ia akan selalu bertemu Rey dalam insiden yang bermacam-macam.

***

Rey mengambil langkah mundur sebelum mendorong pintu kaca minimarket. Ia mengetukkan sepatunya ke lantai, gelisah. Ini adalah keadaan genting dan nggak mungkin ia membiarkan Hara dalam situasi seperti ini.

Setelah berargumen dengan otaknya, pada akhirnya Rey memutuskan untuk memasuki minimarket dan melihat ke sekitar. Pagi ini, belum terlalu banyak orang yang berbelanja.

Rey berdiri di depan kasir, ia menelan ludahnya dan mendadak kerongkongannya terasa kering. Wanita cantik yang berdiri sebagai penjaga kasir itu mengulas senyum sambil memberikan sapaan khas.

"Mas, ada yang bisa saya bantu...?" Penjaga kasir itu melemparkan tatapan bingung, karena Rey hanya berdiri tanpa melakukan apapun kecuali menggaruk belakang lehernya.

Rey merutuk dalam hati, Gue bilangnya apaan ya...

Cowok itu berdeham untuk menjernihkan suara. Lalu maju selangkah dan berkata dengan intonasi yang rendah. "Mbak, roti jepang-nya ada?"

Wanita itu tersenyum dan menunjuk ke salah satu arah. "Mas bisa cari macem-macem roti di bagian sana, Mas."

Rey menoleh ke arah yang dituju. Berupa rak dimana beragam aneka roti dipajang. Sejenis roti tawar, sandwich dan lain sebagainya. Cowok itu makin bingung dan mengacak rambut bagian belakangnya frustasi. "Bukan roti itu maksud saya..."

Wanita itu mengangkat sebelah alis dan mendekatkan telinganya ketika Rey memberinya isyarat. "Tapi, pem.ba.lut..."

Detik selanjutnya ia tertawa kecil dan menatap Rey dengan tatapan jenaka. "Ohh, kan biasanya yang beli roti jepang itu anak cewek, Mas. Saya kira mau beli roti beneran.."

Rey hanya tersenyum kikuk dan mengeluarkan uang dari sakunya. Wanita itu menatapnya lagi, "Mas lagi dapet?"

"Enggak, itu buat temen saya."

"Ohh, mau pake kantung keresek hitam?"

"Iya. Harus."

Setelah mendapat apa yang ia cari, Rey segera keluar dari minimarket dengan perasaan gondok setengah mati. Ia tak pernah berhenti menggerutu karena penjaga kasir yang justru membuatnya semakin malu.

"Dari mana kamu?"

Rey tersentak, dan menatap lurus Pak Karyo, Satpam penjaga sekolah yang sebelumnya juga berusaha untuk mencegahnya keluar area sekolah. "Kan tadi saya bilang mau ke minimarket sebelah, Pak?"

"Beli apa?"

Rey tak menjawab, dan menyembunyikan kantung keresek hitam itu dibelakang punggungnya. "Bukan apa-apa."

"Beli kondom, ya?! Awas kamu! Saya laporin ke—"

"Nggak Pak! Jangan sembarangan kalau ngomong!" Rey menyangkal sedikit berteriak. Lalu ia terpaksa memberikan kantung keresek yang ia sembunyikan tadi pada Pak Karyo. "Kalau nggak percaya liat sendiri!"

Pria setengah baya itu langsung melotot. Pasalnya Pak Karyo cukup mengenal Rey sejak duduk dibangku kelas sepuluh dulu. Ia mengangkat wajahnya, memberikannya kembali pada Rey, dan menepuk lengan cowok itu pelan. "Kamu ternyata makin parah..."

Saat itu Rey hanya menghela nafas dan nggak mau ambil pusing. Ia sudah cukup terbiasa.

***

Hara keluar dari pintu toilet dan mendapati Rey berdiri disana. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa malunya lagi, tapi disisi lain Hara ingin banyak berterimakasih pada Rey.

Cowok itu mengangkat wajahnya dan menatap Hara. "Udah?"

"Hmm," Hara hanya mengangguk dan melangkah ke arah wastafel untuk mencuci tangan. Setelah mematikan keran, ia memutar tubuhnya menghadap Rey, tapi belum berani untuk membuat kontak mata. "Sweater lo nanti gue..."

"Santai, anytime." Rey kemudian tersenyum lebar dan mulai berbalik. "Gue harus balik ke lapangan, upacaranya belum selesai. Lo mendingan balik lagi ke UKS, deh."

"Iya." Hara kembali mengangguk. Lalu Rey meninggalkan area toilet perempuan untuk kembali ke lapangan.

Setelah Hara merasa Rey benar-benar pergi, perempuan itu meringis dan membenturkan kepalanya ke cermin berulang kali;

m a l u.