webnovel

Avoid [2]

Hari pertama di bulan Agustus. Itu artinya, genap sebulan Hara berada di sekolah ini. Iya, baru sebulan. Tapi rasanya seperti sudah setahun. Karena dalam jangka waktu tiga puluh hari, sudah banyak sekali hal-hal buruk yang ia dapatkan disini.

.

Sore itu mendung. Sekolah hampir sepi dengan suasana senyap. Kelas-kelas mulai kosong, kecuali beberapa kelas yang masih di pakai oleh aktivitas ekstrakurikuler.

Biasanya, Pukul lima sore sekolah mulai di kosongkan. Tapi, hari ini, sepertinya banyak di antara mereka yang memilih nongkrong sebelum di usir penjaga sekolah.

Hara memasukkan buku catatan Fisika-nya ke dalam tas dengan terburu-buru. Sejak tadi, Ponselnya tak berhenti berdering oleh telfon Mama yang begitu menganggu. Ia mungkin sudah berbaring di atas kasur kalau bukan karena catatan Fisika yang begitu banyak.

Kakinya melangkah keluar kelas dengan ritme cepat, menyusuri beberapa koridor yang sudah sepi. Ia menempelkan ponsel ke telinga dengan malas, ketika ada sebuah panggilan masuk.

"Iya, Ma.. Aku baru keluar kelas. Ini mau pulang."

"..."

"Iyaa,Nggak usah khawatir.."

"..."

"Kalau git-" Hara mengulum kembali kalimatnya ketika sampai di persimpangan koridor. Suara benturan yang begitu keras juga suara segerombolan orang terdengar samar.

Ia menurunkan ponselnya. Meremasnya di dada lalu bersembunyi di balik pilar. Dengan ragu, Matanya mengintip.

Itu, Aldo.

Lalu dengan cepat, ia kembali bersembunyi. Menempelkan ponselnya yang masih tersambung di dada. Nggak, ini bukan waktu yang tepat buat muncul dan mendadak jadi pahlawan.

"...Lo cari mati, ya?! Maksud lo apa laporin geng motor gue ke Guru BK, hah?!"

"Gue sama lo itu beda! Urusin aja hidup lo sendiri! Brengsek!"

"Liat aja! Mampus lo entar!"

Lalu suara-suara sadis itu mulai menyamar. Kemudian menghilang seiring suara derap langkah sepatu yang mulai menjauh. Hara mengerjap, memperhatikan layar ponsel yang masih menyala dan terhubung dengan panggilan.

"Ah, Iya Ma.." Gadis itu kembali menempelkan ponselnya ke telinga.

"..."

"Enggak, Aku nggak papa.."

Kemudian, Panggilan di tutup secara sepihak. Hara menata mentalnya, mencoba berani untuk menghampiri seorang cowok yang terlihat berantakan di dekat pintu gudang.

"Lo nggak papa?" Tanya Hara, ia berjongkok.

Rey menatap perempuan di hadapannya dengan tajam. "Nggak usah sok peduli. Lo nggak ada bedanya sama dia."

Hara terdiam. Sedetik. Lalu menghiraukan kalimat yang sejatinya cukup nyelekit. Ia merapikan isi tas Rey yang berantakan.

Beberapa barang yang terlihat aneh kalau ditemukan di dalam tas seorang cowok. Sesuatu yang bukan rahasia umum lagi. Semua sudah tau, Cowok yang kini menjadi korban bully di depannya sekarang adalah cowok yang feminim.

Seorang cowok yang selalu menjadi bahan tertawaan teman-teman sekelas, yang selalu berpikir positif, dan ceria tanpa tahu malu. Pengurai tawa untuk setiap orang. Tak peduli, seberapa dalam ia di rendahkan.

Meski begitu, Hara hanya ingin.. Rey bisa berubah, gantian menghantam Aldo.

Suatu saat nanti...

.

Beberapa minggu ini, Hara jarang berpapasan dengan Rey. Kecuali di kelas. Itupun kalau Rey kebetulan sedang melihat ke arahnya. Lagipula, jika pandangan mereka bertemu, Rey yang terlebih dulu akan memutar bola mata dan menenggelamkan wajahnya diantara lipatan lengan. Pura-pura tertidur untuk mengabaikan Hara.

Rasanya, sudah terlalu lama mereka saling memunggungi. Hara hanya ingin bilang;

Apa kabar?

Meskipun Hara tahu, Rey tidak akan memiliki kabar baik selama Aldo berada di dekatnya.

***

Sialan.

Gara-gara tinggi tubuhnya yang kurang sedikit saja, Hara harus bersusah payah untuk menaruh kembali Buku di rak sejarah yang berada dibagian paling atas. Minggu ini, Hara kebagian jadwal menggantikan Pak Purnomo-pustakawan yang kebetulan tidak masuk hari ini.

Tugasnya sederhana; merapikan buku-buku yang berserakan di ruang baca dan mengembalikannya ke rak sesuai aturan. Dan rak buku sejarah adalah rak yang paling banyak, juga paling tinggi.

Samar-samar, Hara mencium aroma musk yang pekat dari belakangnya. Seakan indra penciumannya sudah mengenali siapa pemilik aroma ini, Hara menoleh ke belakang.

"Lo lagi?!" Hara membulatkan matanya. "Lo, tuh maunya apa, sih?"

"Gue nggak mau putus."

Hara mengerutkan dahi. "Ih, kok labil, sih?!"

"Gue bilang, gue nggak mau putus!" Aldo berdesis, karena sejatinya ia ingin meneriakkan kata-kata ini di depan wajah Hara kalau bukan karena aturan tidak tertulis yang ada di perpustakaan; dilarang berisik.

"Tapi gue maunya putus, gimana?"

"Gue tetep nggak mau."

"Kita udah nggak ada urusan lagi, Do. Lo sendiri yang nggak mau kita jadi temen, kan?"

"Gue pengennya lebih dari temen!"

"Berisik," Hara melotot. Membuat Aldo mengepalkan tangan untuk menahan emosi. "Lagian ngapain ngomong disini, sih? Cari waktu lain, kan bisa!"

"Jangan lupa. Lo yang selalu ngehindar."

"Ya karena gue pikir urusan kita udah selesai. Jangan datengin gue lagi, mulai sekarang!"

Kesal, Aldo mendorong bahu Hara hingga punggungnya membentur rak buku di perpustakaan. "Lo nggak bisa lepas gitu aja dari gue." Desisnya, penuh penekanan.

"Aldo, sakit!" Hara meringis, karena merasakan punggungnya nyeri. "Sebenernya mau lo itu apa, sih?"

"Gue mau elo."

"Apa nggak cukup kalau kita cuma jadi temen? Kalau jadi pacar, jujur gue nggak-"

"Lo harus bisa, lah." Aldo semakin mendorong Hara hingga punggungnya semakin tertekan.

Hara berusaha mendorong tubuh Aldo agar menyingkir. Bisa-bisa ia remuk kalau terus berhadapan dengan cowok kasar seperti Aldo. "Ini yang bikin gue nggak suka, lo kasar."

Aldo tak berkutik, hingga Hara menatap Aldo tajam. "Minggir,"

"Nggak." Ia tetap bertahan di posisi semula. "Lo harus dengerin gue,"

"Apaan lagi, sih?! Lo lebay banget jadi cowok!"

Emosi, Aldo menarik tangan Hara yang mulai melangkah untuk pergi. Untuk yang kesekian kalinya, cowok itu nyaris membanting tubuh Hara ke rak perpustakaan dan siapapun juga tahu, rasanya sakit.

"SAKIT! BRENGSEK!" Matanya berkaca-kaca karena punggungnya terasa semakin nyeri. "Lo mau bunuh gue?!"

Beberapa orang yang tidak jauh dari posisi rak dimana Aldo dan Hara berdebat, iseng mengintip ketika mendengar pekikan Hara. Baru saat itu Aldo sadar bahwa ia sudah keterlaluan. "Ya makanya lo dengerin gue! Kalau Lo terus aja ngehindarin gue kaya gini, gue nggak bakal bisa berhenti."

"Nggak! Nggak bakalan mau!" Sebelum Aldo meremukkan tubuh mungilnya, Hara langsung melesat pergi. Melewati rak-rak buku yang menjulang tinggi dan tanpa sadar telah melewati tubuh seseorang yang sedang berdiri di dekat salah satu rak sambil memegang buku.

Pandangannya mengikuti kemana perempuan itu pergi, dan Hara ternyata berbelok ke arah ruang baca.

***

Sayup-sayup Rey mendengar suara isakan tangis seseorang. Dengan hati-hati, kakinya yang di balut kaus kaki putih mulai melangkah memasuki ruang baca. Ia mendapati Hara sedang duduk sambil bersandar pada sekat yang berupa rak buku pendek.

Ruang bacanya juga bahkan di sekat menjadi beberapa blok dengan rak buku setinggi satu meter. Dan percaya atau tidak, keunggulan SMA Nusa terletak pada perpustakaannya yang luas dan tertata rapih.

Rey ikut mendudukan diri di samping Hara yang sibuk menghapus air matanya. "Jangan nangis disini, lo bikin yang lain jadi parno."

Hara melempar tissue yang sudah kucel itu kesembarang arah, yang penting tidak mengenai seseorang. "Ya abisnya gue kesel!"

Rey mencubit bibir Hara gemas. "Berisik, heh!"

Perempuan itu menepis tangan Rey. Lalu melipat kedua lututnya dan meringkuk sambil menyembunyikan wajahnya. Rey yakin lima puluh persen kalau Hara kembali menangis.

Rey berdecak, menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Cowok itu melirik punggung Hara yang sedikit bergetar. "Sakit, ya?"

Meskipun awalnya ragu, Rey mencoba melarikan tangannya untuk memijat lembut bahu Hara. Ia sendiri bisa mendengar bagaimana tubuh Hara dibenturkan ke rak buku yang terbuat dari besi itu. "Aldo emang bener-bener kasar. Gue sampe nggak bisa bayangin gimana nasib anak sama istrinya nanti."

Rey sendiri cukup mengenal Aldo. Tipikal cowok yang suka main tangan. Dan terkadang Rey adalah sasaran emosi Aldo waktu SMP dulu. Untungnya, mereka nggak lagi satu rumah.

"Apaan, sih.." Hara bergumam, mengangkat wajahnya dan menghapus sisa air mata yang membuat pipinya basah. Ia menyibak rambutnya ke belakang, dan memalingkan wajahnya dari Rey agar cowok itu tidak bisa melihat bagaimana jeleknya wajah Hara ketika menangis.

Tapi, Rey justru menggeser posisi duduknya. Bersila di depan Hara dan membelai rambut lurus milik perempuan itu. Rey merabanya, dari pangkal rambut hingga ujung rambut. "Rambut lo kok bisa bagus gini, sih? Jadi pengen."

Beberapa waktu yang lalu, Rey pernah bermimpi memiliki rambut panjang seperti rapunzel. Yang bisa dirombak sedemikian rupa, dan kayaknya seru kalau punya rambut yang bisa di sulap jadi apa yang dia mau.

Hara menepis tangan Rey pelan. "Ngelantur mulu ngomongnya, nggak tau apa gue lagi nggak mood bercanda,"

Rey mendengus. Menarik tangannya dan memperbaiki sedikit posisi duduknya agar lebih nyaman. Cowok itu masih bertahan dengan duduk bersila di depan Hara sambil menopang dagu; siap mendengarkan cerita. "Jadi, kenapa?"

"Tumben banget lo peduli." Kata Hara, penuh dengan nada menyindir.

Selama berminggu-minggu Rey menghindarinya. Untuk kali pertama, Rey menghampiri Hara dalam situasi yang mungkin bisa dibilang cukup tepat.

Truth to be told, Hara sedikit terhibur.

"Nggak papa. By the way, abis ini lo mau langsung pulang, kan?"

"Kenapa emang?" Rey mengerutkan dahi. Dan terlihat manis karena kedua alis tebalnya terangkat samar.

"Nggak, sih. Cuma hari ini gue nggak mau pulang ke rumah."

"Terus lo mau ngegembel, gitu?" Ekspresi Rey langsung membuat Hara tergelak, karena persis seperti tokoh antagonis dalam sinetron.

"Kan, ngegembel-nya di rumah elo." Hara nyengir.

"Jadi, Mau ke rumah gue?"

Otomatis, Hara mengangguk. "Iya, boleh yaaa?"

Awalnya Rey mendengus, karena belum pernah ada satu pun orang yang penasaran seperti apa tempat tinggalnya. Dan Hara adalah orang pertama yang terlalu bersemangat. Setelah bungkam beberapa detik, Rey mengangguk.

"Yee, Asik!" Rey memutar bola mata melihat Hara yang bertingkah seperti anak kecil yang baru saja di beri permen.

Rey bangkit dan merapikan seragamnya. Cowok itu mengangkat sebelah alis, melihat Hara yang mengacungkan tangannya. "Apa?"

"Bantuin berdiriii.." Hara merengek.

Dengan dengusan kecil, Rey mengulurkan tangannya dan membantu perempuan itu berdiri.

Salahkan Hara, yang memiliki tubuh mungil.

Meski begitu, image Hara yang menggemaskan tidak akan pudar di mata Rey.