webnovel

✘✘

Langit Anyer masih terlihat biru gelap di pukul empat pagi. Ia dapat mendengar cekikikan dari tawa teman-temannya di luar tenda. Sepertinya mereka semua sudah terbangun. Rey mengerjapkan matanya, lalu terduduk dengan panik ketika merasa lengannya agak ringan.

Cowok itu meraba sebelahnya, dan tak menemukan Hara disana. Tenda begitu gelap, karena senter yang diletakkan disudut tadi sudah tidak ada. Apa mungkin Hara pergi? Karena perempuan itu membawa senternya.

Namun, entah mengapa Rey memiliki feeling buruk soal ini. Dengan panik, ia mencari-cari senter miliknya dan setelah menemukan benda itu, ia menyorot cahayanya ke sekitar tenda yang gelap. Benar, Hara nggak ada disini.

Rey segera bangkit dan membuka resleting tenda dengan terburu-buru. Saking paniknya, ia bahkan menabrak tubuh seseorang yang ternyata sudah stand by di depan tenda Hara. Rey berdecak, ketika tahu bahwa itu adalah Aldo.

Namun sebelum Rey membuka mulutnya untuk memaki Aldo, cowok itu sebaliknya justru mencengkram hoodie yang Rey kenakan dan menatapnya tajam. "Kenapa lo keluar dari tenda ini?"

Rey tidak punya waktu lagi, feeling-nya semakin kuat dan ia merasa ada sesuatu yang terjadi. Ia segera menyingkirkan tangan Aldo. "Apa itu pertanyaan?"

"Jadi, Lo semalem tidur sama Hara?!" Suara Aldo sedikit keras hingga beberapa teman-teman sekelas mereka melirik ke arahnya. Ia balas mencengkram lengan Rey kuat.

"Minggir, gue nggak mau buang-buang waktu."

Rey melirik cengkraman tangan Aldo dilengannya yang belum mau lepas. Rey sudah kalap, karena Aldo benar-benar membuatnya muak. Ia sendiri pun tidak mengerti mengapa sepanik ini hanya karena Hara tidak ada di tendanya. Padahal masih ada kemungkinan baik yang bisa saja terjadi; entah Hara pergi ke toilet atau mungkin ke Villa.

Tapi, sekali lagi, Rey tegaskan, bahwa feeling-nya tidak enak. Seperti ada sesuatu yang terjadi. Rey menatap tajam Aldo sekali lagi, sebagai peringatan terakhir.

"Lo nggak mau lepas?"

"Nggak, sebelum lo jawab—"

"Ah, ribet, Njing!"

Dan dalam sepersekian detik, Rey langsung mendaratkan tinjunya tanpa basa-basi. Rey sudah menegaskan berulang kali, bahwa sekarang ia panik, feeling-nya kuat, dan ia sudah terlalu muak dengan Aldo.

Banyak pasang mata yang menyaksikan kejadian ini, membuat Aldo memaki dalam hati dan segera bangkit dari tanah pasir. Ia menepuk-nepuk kedua telapak tangannya untuk membersihkan sisa pasir yang menempel.

Rey sudah berjalan menjauh dengan langkah cepat. Aldo berjanji akan membayar tinjunya ketika Rey kembali.

Bangsat.

***

Rey sudah mencari ke Villa, dan menanyakan keberadaan Hara pada orang-orang yang ada disana termasuk wali kelas-nya sendiri. Meskipun Rey belum meng-klaim kalau Hara hilang, namun Pak Sapto langsung meminta panitia untuk patroli ke setiap tenda.

Ia berhenti sejenak ketika melihat sekumpulan anak cewek bergosip dibelakang tenda. Dan hal yang paling membuat Rey geram adalah; karena Tara bergabung diantara mereka.

"Gue nggak habis pikir, sumpah. Dia masih aja songong!"

"Kasian, sih. Tapi dia emang nggak tau malu, kesel gue jadinya."

"Tuh, kan apa gue bilang! yang ada di artikel itu emang beneran dia!"

"Yah, Aldo emang sialan, handphone gue jadi ancur gini, kan."

Tapi, lo nggak bohong kan, Ra? Itu beneran Hara."

"Iya."

"Kok lo bisa tau?"

"Ya karena gue selama ini yang nemenin dia di rumah sakit. Asal kalian tau, waktu gue pertama kali dateng, dia itu kaya orang gila."

"Serius? Pantesan aja, gue agak heran lo tiba-tiba deket sama Hara semenjak dia mulai masuk sekolah."

"Jadi, sekarang lo semua percaya, kan? Kalau gue sama Vanya itu nggak bohong."

Lalu mereka semua mulai bungkam dan menutup mulut ketika Rey datang mendekat. Tara memalingkan mukanya dan menghindari tatapan Rey, sedangkan Inez dan Vanya yang juga ada diantara mereka menatap Rey dari atas sampai bawah; mereka berdua cukup mengenal Rey yang dulu, jadi sekarang mereka nggak terlalu takut dengan Rey versi sekarang.

"Mana Hara?"

Videla, bahkan anak kelas sebelah itu ikut nimbrung dengan sekumpulan cewek penggosip sebangsa Inez dan Vanya.

"Barusan, sih sama kita. Tapi nggak tau, deh tiba-tiba kabur gitu aja. Padahal kita cuma bilang—"

Rey tak ingin mendengarkan penjelasan Videla lebih lanjut. Ia langsung menarik Tara dan menyeretnya menjauh. Nafasnya yang panas karena amarah tercetak tipis di udara. Rey hanya nggak menyangka, kalau sahabat masa kecil—yang cukup ia kenali wataknya ini tiba-tiba bisa berubah menjadi iblis.

"Rey apaan, sih—"

"Lo yang apa-apaan!"

"Apa?! Gue salah lagi?!"

"Iya! Lo salah! Lo bahkan nggak punya hak buat beberin aib orang. Itu nggak sopan! Apa orang tua lo nggak ngajarin—"

Plak.

Rey ditampar.

Oke, Rey tahu. Kata-katanya cukup kelewatan, mengingat Tara tidak memiliki orang tua lagi. Apalagi Ret jelas tahu fakta bahwa selama ini Tara hanya tinggal dengan Tante-nya. Dan yang Rey tau, Aldo dan Tara mulai berteman semenjak Tara pindah ke rumah Tante-nya yang tinggal tepat didepan rumah Aldo sejak enam tahun silam.

Rey mendesah, ia melembutkan tatapannya. "Sorry, gue emosi—"

"Nggak usah bawa-bawa soal etika gue. Gue tau, lo sama Aldo itu sama aja. Cuma sama-sama berusaha ngelindungin Hara dan saling lomba buat dapet perhatian dia, kan?!"

"Gue—"

"Gue kasih tau, ya! Bahkan Hara nggak minta siapapun buat sok-sok an ngelindungin dia—"

"Gue tanya sama lo, Hara mana?" Rey menekan kalimatnya yang tadi sempat terpotong.

Tara hanya mengangkat bahu. "Dia bukan urusan gue lagi."

Rey menatap perempuan dihadapannya ini lama. Sebelum akhirnya ia berdecih,

"Serius, lo bukan Tara yang gue kenal." Rey menggelengkan kepalanya, tak percaya.

"Iya! Lo bener!" Tara setengah berteriak. "Tara yang dulu lo kenal itu terlalu bego. Karena mau-maunya ngalah terus, dan temenan sama Hara."

Rey mengepalkan tangannya. "Lo ternyata fake."

"Terserah lo mau bilang apa, gue nggak peduli. Karena setiap gue peduli sama orang lain, nggak ada yang peduliin gue balik. Lo mau tau apa? Kadang, orang yang terlalu baik itu sebenernya mereka bodoh. Dan gue nggak mau jadi salah satu dari mereka."

"Ternyata selama ini feeling gue bener, lo temenan sama Hara supaya bisa keliatan baik di depan Aldo, kan?" Rey membuat kesimpulan, karena Tara adalah perempuan, Rey mati-matian menahan emosinya.

"Awalnya emang gitu," Tara menyilangkan kedua tangannya, lalu mengangkat dagunya arogan. "Tapi bego-nya, gue malah beneran care sama dia."

"Lo emang bener-bener..." Rey mendesis. Rahangnya mengeras tapi Tara hanya menyeringai seperti iblis. "Lo cuma diperbudak sama keegoisan lo sendiri. Gue tau lo suka sama Aldo, tapi lo salah nyerang orang, Ra."

Raut wajah Tara berubah, namun Rey kembali melanjutkan, "Lo nyerang orang yang punya banyak pangeran berjubah hitam. Aldo salah satunya."

Tara tertawa remeh. Ia bahkan tidak mengerti apa yang sedang Rey bicarakan. Entah kalimat Rey yang terlalu mengandung banyak makna konotasi, atau justru memang otak Tara yang sedikit konslet. "Lo ngomong apa barusan? Hidup lo itu emang kebanyakan dram—"

"Gue peringatin sama lo, Kalau sampai hari ini Hara kenapa-napa, gue pastiin lo bakal ngerasa bersalah seumur hidup."

Setelah itu Rey pergi, berbicara dengan Tara membuat waktunya tersita banyak. Cowok itu mulai mengarahkan senternya ke segala arah. Dinginnya udara pagi buta tak membuatnya menyerah sampai ia berhasil menemukan Hara. Rey terus melangkah, tak peduli ia sudah terlalu jauh dengan area perkemahan.

***

Jauh dari perkiraan, ternyata batu karang itu nggak sedekat yang ia kira. Hampir setengah jam Hara berjalan tak tentu arah, dan pada akhirnya, langkahnya terhenti ketika melihat sebuah bongkahan batu karang raksasa. Ralat; tebing karang. Karena ternyata tingginya hampir puluhan meter.

Medan yang tidak terlalu curam, membuat Hara lebih mudah memanjat tebingnya, hingga ia sampai di bagian tertinggi. Hara mematikan senternya, meletakan benda itu di tanah, di samping kakinya. Ia menghirup udara pagi, dan dari ketinggian puluhan meter seperti ini Hara melihat cahaya remang-remang kecil di sebelah utara. Nggak salah lagi, itu adalah area perkemahan.

Hara mulai sadar, kalau ia ternyata berjalan terlalu jauh. Dan batu karang yang semalam tadi ia kira tingginya belasan meter dan berjarak cukup dekat, ternyata dimensinya lebih besar. Yah, sesuatu yang terkadang terlihat dekat ternyata nggak benar-benar dekat dan yang terlihat kecil pun nggak benar-benar kecil.

Hara merentangkan tangannya lebar-lebar. Rambutnya yang tergerai menari-menari mengikuti arah hembusan angin. Namun, suara-suara itu muncul lagi, mengingatkannya alasan mengapa ia berlari sampai sejauh ini.

"Tara bahkan bilang sama gue, kalau emang lo yang ada di berita itu." suara Inez muncul lagi, menganggunya dengan pertanyaan yang sejatinya tidak ingin ia dengar.

Hara merasa terpojok, beberapa teman sekelasnya dan bahkan anak kelas lain memperhatikannya dari atas sampai bawah. Menilai. Saat itu, ia melihat bagaimana Tara susah payah menghindari kontak mata dengannya.

"Tara?" Hara memanggilnya dengan suara lirih. Tidak menyangka bahwa selama ini orang yang ia percaya justru mendorongnya ke jurang.

"Kenapa ngeliat gue? Lo tinggal bilang sama mereka, kalau lo ngerasa emang bukan lo yang ada di berita itu." Tara justru membentaknya. Hara nggak ngerti, sisi mana yang salah dari cewek itu. Belakangan ini Tara bersikap aneh.

"Dia nggak bisa jawab, itu berarti bener." Videla, yang bahkan sedikit asing dengannya menyahut.

"Kita nggak akan nyalahin lo kalau lo emang 'korban'. tapi yang bikin kita nggak habis pikir, lo masih punya muka buat dateng ke sekolah. Tebar pesona sama Aldo, seolah lo itu masih—"

"Iya! Apa yang kalian semua omongin itu bener!"  Hara mengepalkan tangannya kuat. Senter yang ia pegang bahkan ikut bergetar. "Gue emang udah nggak sama lagi kaya kalian. Terus kenapa? Apa itu jadi masalah buat kalian? Please, ini privasi gue! Kalian harusnya bisa ngehargain itu,"

Hara kembali menatap ke arah Tara. "Dan elo, Ra! Gue bener-bener nggak habis pikir, lo tega ya?"

Tara melangkah ke arahnya, menatap matanya lurus-lurus. "Cukup sampe sini aja, gue udah muak. Lo itu terlalu beruntung—"

"Apa yang lo maksud beruntung?! Hidup gue itu selalu penuh sial, dan makin sial karena gue nyesel pernah kenal sama lo. Bitch!" Saat itu Hara yang berteriak tepat di depan wajah Tara, namun Vanya, Inez dan Videla yang maju.

"Eh, asal lo tau! Tara, tuh suka sama Aldo, tapi Aldo ternyata malah suka sama lo. Dan kita makin sebel karena lo itu tipe cewek yang jual mahal, padahal sebenernya lo itu murah!"

Mereka terus saja mendorong bahunya ke belakang hingga hampir tersungkur ke tanah.

"Lo, tuh yang bitch!"

"Nggak tau malu!"

"Kotor!"

"Sampai kapan pun, nggak ada cowok yang pantes buat lo."

"Mendingan lo ngejauh, Har."

Saat itu juga, Hara langsung memutar langkahnya. Berjalan cepat ke sembarang arah dan menahan tangisnya agar tidak pecah. Hara seperti dilempar ke masa lalu.

Apa seperti ini rasanya dibully?

Tertekan, Gelisah, dan Ingin marah tapi terlalu lemah.

Hara sekarang merasakan apa yang pernah Rey rasakan, atau bahkan apa yang pernah Sheila rasakan. Temannya sendiri yang pernah ia bully hingga berakhir dengan bunuh diri. Rasa bersalah itu muncul lagi dan lagi.

Hukum karma sepertinya memang selalu berlaku. Sekolah baru yang ia kira akan lebih baik dari sebelumnya, ternyata justru membuatnya terpuruk. Hinaan, teriakan, tudingan dan perkataan kasar yang dulu pernah ia lontarkan didepan wajah Sheila, kini berbalik ke arahnya.

Tara mengkhianati Hara.

Dan dulu, Hara yang mengkhianati Sheila. Melupakan janji; nggak akan pernah berantem gara-gara cowok.

.

Hara membuka kelopak matanya, bersamaan dengan buliran air yang untuk kesekian kalinya jatuh mengenai pipi. Perempuan itu menahan napas dan melihat bagaimana ombak laut dibawah sana seolah melambai ke arahnya.

Ia mengambil langkah maju.

Satu langkah.

Dua langkah.

Sebelum akhirnya ia terjun bebas.

.

.

.

.

.

.

Hara bergeming di dalam air. Tidak melakukan pergerakan atau sekedar menyelami air laut dengan kemampuan berenang yang ia miliki sejak kecil. Perempuan itu menghembuskan nafasnya didalam air, menghasilkan gelembung-gelembung udara.

Sejenak, Hara membiarkan matanya terpejam. Seperti biasa, air selalu menjadi pelariannya. Ia ingat bagaimana saat Mamanya pergi, ia berendam di bak mandi seharian hingga seluruh telapak tangan dan kakinya memutih. Karena dinginnya air, membuat pikirannya ikut mendingin.

Sekitar lima menit, Hara membiarkan tubuhnya mengapung di kedalaman laut. Disini, ia tidak bisa mendengar apapun. Kecuali suara khas seperti saat ia berenang didalam kolam. Semuanya menenangkan dan ia merasa sedikit tenang, hingga perlahan-lahan emosinya terangkat.

Hara ingin mengapung lebih lama.

atau bahkan Hara hanya ingin seperti ini saja?

Ia tidak ingin kembali ke permukaan dan pada akhirnya bertemu dengan segala macam tuduhan yang tertuju ke arahnya. Hara terlalu lelah, dan kalau bisa ia ingin menghilang dari dunia yang terlalu membuatnya tertekan.

Hara kangen Mama...

Rasanya, Hara ingin berlari ke pelukan Mama dan menceritakan apa yang selama ini menjadi beban hidupnya. Tentang Papa yang jarang di rumah, tentang Sheila, tentang Rey, tentang Aldo dan juga tentang Tara.

Hara melemaskan ototnya. Membiarkan air laut mengombang-ambing tubuhnya. Hara hanya tidak ingin kembali.

Ia menghembuskan pasokan udara terakhir dalam paru-parunya secara perlahan. Sampai akhirnya ia merasakan kantuk yang hebat hingga membuatnya ingin tertidur.

Iya, Hara ingin tertidur di dalam air. Sebentar saja,

.

atau mungkin selamanya.