webnovel

✘✘✘

"But, for now, please stay even how hard everyone's pushing you away."

—If I was his Ms. Right, Starish10

.

.

.

"Har! Gue nggak bisa renang!"

"Alah! Cemen lo! Kolamnya aja nggak dalem!"

"Eh, tapi. Seriusan lo nggak bisa renang?"

"Terus ntar, kalau gue tenggelam. Siapa yang mau nolongin?"

"Emang lo pernah tenggelam? Kan lo jago renang."

"Yaa, siapa yang tau?"

"Bisa aja pas renang kaki gue keram, terus kelelep kaya lo tadi, gimana? Siapa yang mau nolongin?"

"Yaa, pastinya bukan gue. Yang ada gue malah ikut kelelep kalau gue nolongin lo."

"Lo, mah mana bisa di andelin?!"

—Chapter 21 × "Fight Your Way."

.

.

.

Papa.

Reynand.

Hanya dua nama itu yang teringat di benak Hara. Terus saja terngiang-ngiang dalam tidurnya. Hara secara spontan langsung membuka mata. Menggerakkan seluruh anggota tubuhnya yang hampir terasa kaku dan tak lagi bertenaga.

Ia bergerak di dalam air. Berontak, dan berusaha berenang untuk kembali ke permukaan. Segala macam memori langsung menghantam otaknya dan membuatnya kembali berpikir lebih jernih.

"Sekarang gue tau, Lo itu alesan kenapa gue masih betah disini."

"Kenapa gue?"

"Gue masih pengen lebih lama ngabisin waktu sama lo, karena waktu yang selama ini ngasih gue kesempatan itu masih kurang. Gue pengen lebih, lebih lama lagi.

Potongan percakapan singkat itu kembali menghantui benaknya. Hara menggerakkan seluruh organ tubuhnya yang seakan mati rasa. Berontak di dalam air dan terus berusaha berenang ke atas agar bisa naik ke permukaan.

Lama-lama, paru-parunya terasa sesak seolah terendam oleh air. Kepalanya pusing dan pandangannya mengabur. Ia benar-benar kehabisan napas dan juga tenaga. Mulutnya penuh dengan air, dan ia tidak bisa lagi menggapai udara.

Mendadak, Hara merasa bahwa air tak lagi bersahabat dan terus saja menenggelamkannya lebih dalam dan lebih dalam lagi. Ia merasa kehilangan kemampuan berenangnya sama sekali. Semuanya nggak lagi berguna.

Kali ini, Hara benar-benar lemas. Kepalanya pusing, paru-parunya terasa sesak dan pandangannya mengabur.

Lalu semuanya. Berubah menjadi benar-benar gelap.

Kali ini saja, Hara meminta untuk yang terakhir kalinya.

Siapapun itu.

.

Hara harap ada seseorang yang mau menolongnya.

***

Area perkemahan berubah menjadi kacau ketika Hara resmi dinyatakan hilang. Pak Sapto selaku wali kelas sekaligus penanggung jawab acara langsung menghubungi pihak sekolah dan pihak pengelola pantai untuk memberikan laporan orang hilang.

"Saya nggak tau, Pak! Kenapa semua orang nyalahin saya?!" Tara terus saja berteriak, tangisnya pecah karena kesal.

"Bapak nggak nyalahin kamu, Bapak cuma nanya, karena tadi anak-anak bilang, Hara terakhir ngobrol sama kamu." Pak Sapto masih berusaha menstabilkan nada bicaranya.

"Ya tapi, kan saya juga nggak tau dia kemana!"

Pria paruh baya itu menghela nafas. "Ya sudah, kalau kamu emang nggak tau, sekarang Bapak minta kerja sama kamu, ikut cari Hara juga."

Tara mengusap matanya yang basah, lalu memutar bola mata mengambil langkah menjauh. Menurutnya, Hara emang selalu ngerepotin. Jam menunjukkan hampir pukul enam pagi. Bahkan karena hal ini, seluruh siswa yang ikut berkemah nggak bisa menikmati moment saat matahari terbit. Mereka semua sekarang sibuk, mencari sosok Hara.

Saat dari kejauhan sana Tara melihat Aldo hendak melangkah mendekatinya. Perempuan itu buru-buru berbalik dan berjalan cepat dengan tujuan untuk menghindari Aldo. Namun, ia kalah cepat ketika Aldo dudah menahan lengannya.

"Kalau lo mau nanya Hara dimana, gue nggak tau." Ucap Tara cepat, dalam sekali tarikan nafas.

Aldo menarik tangan Tara, memutar tubuh rampingnya agar menghadap ke arah Aldo. Cowok itu menatap Tara lurus-lurus. "Lo bilang apa sama Hara sebelumnya? Sampai dia bisa ngilang kaya gini?"

Tara dengan geram melepaskan tangan Aldo dari tubuhnya. "Lo ngomong gini seolah gue emang yang bikin Hara kabur!"

"Ra—"

Tara mendorong tubuh Aldo sekuat tenaga. "Udahlah, Do! Gue capek! Kalau mau Hara cepet ketemu, cari aja terus!"

Sebelum Aldo bisa meraih tangannya kembali. Tara sudah terlanjur berlari menjauh. Disatu sisi, Aldo merasa bersalah karena menolak perasaan kecil yang Tara miliki padanya. Tapi kalau saja Tara bisa mengerti alasan dibalik itu semua, karena Aldo cuma nggak ingin ada sesuatu yang berubah diantara mereka.

Dari dulu, Aldo selalu menganggap Tara sebagai sahabat yang always there ketika Aldo dalam keadaan apapun, nggak lebih dari itu.

***

.

.

.

Rey membawa tubuh Hara ke bibir pantai, membaringkannya di atas pasir. Tangannya bergetar, bukan karena kedinginan setelah menyelami air laut, tapi karena panik. Cowok itu terus menepuk pipi Hara yang pucat. Tubuhnya benar-benar dingin, dan terasa kaku.

"H-Har, gue mohon lo bangun,"

"Lo bisa denger suara gue kan?"

Kini suaranya ikut bergetar. Rey masih berusaha untuk menggoyangkan bahu Hara dan menepuk pipinya keras sampai Hara sadar. Cowok itu beralih, menekan tulang dada Hara agar air yang bersarang di paru-parunya dapat keluar.

"Har, bangun..."

Rey fokus terus memompa tulang dada Hara, ia tidak akan menyerah sekalipun harus melakukan itu sampai berjam-jam lamanya. Rey tidak berharap banyak, ia hanya berharap Hara masih bisa bernafas. Meskipun sangat kecil kemungkinannya.

"Har..."

"Hara, lo denger suara gue?"

"Har, bangun, please.."

Dan pada akhirnya, Rey menyerah. Tenaganya juga sama habis. Ia menarik Hara ke dalam pelukannya, lalu menangis. Rey terlambat, lagi. Kalau saja tadi ia tidak ragu untuk mengambil keputusan, Hara mungkin masih bisa selamat. Rey terlalu banyak berpikir, antara memilih untuk menceburkan diri ke air, atau justru berteriak memanggil bantuan.

Tapi, yang saat itu ia lakukan adalah memilih opsi pertama. Karena dulu, ketika ia memilih opsi kedua, Rey akan menyesalinya. Yang cowok itu lakukan saat itu adalah langsung melompat dan berenang sebisa mungkin ke dalam air laut yang memiliki kedalaman ribuan meter. Menyingkirkan rasa trauma yang pernah ia miliki dengan air, karena saat itu yang Hara butuhkan adalah Rey.

Ia memeluk tubuh Hara yang kaku itu sangat erat, lalu menangis dalam diam.

Semuanya nihil.

Dan nggak berguna, untuk kesekian kalinya Rey menyesal;

"M-Maafin gue,"

"Gue emang nggak berguna..."

"Lo bener, gue emang cowok yang nggak bisa diandalin."

"Maafin gue, Har... maaf."

Rey meraih tangan Hara, menggengamnya dan mencium punggung tangannya. "G-gue—,"

Ia diam sejenak, dan semakin menggengam pergelangan tangan Hara untuk merasakan denyut nadinya. Maka sebelum terlambat, Rey kembali menidurkan Hara dipasir, kembali memompa rongga dada Hara agar air yang memenuhi paru-parunya bisa keluar.

"Har.., kali ini aja..."

"Gue mohon..."

"Lo bangun..."

.

.

.

.

.

.

Tapi, ternyata enggak,

.

.

.

.

.

Apa yang menjadi ketakutan Rey semuanya tidak terbukti. Pada akhirnya Hara terbatuk, lalu memuntahkan semua air yang memenuhi paru-parunya.

Yang Hara lihat saat pertama kali membuka mata adalah; sebuah siluet wajah yang mengabur. Perempuan itu mengerahkan seluruh tenagannya agar bisa melihat lebih jelas. Lalu, ketika ia mengatahui siapa orang yang ada dihadapannya, Hara langsung memeluknya erat.

Tanpa berkata-kata, Hara memeluk leher Rey. Ia tidak menangis karena sedih, atau pun berteriak dan mengucapkan terima kasih. Yang Hara lakukan adalah memeluk Rey erat, seerat mungkin—seakan ia tidak memiliki waktu sedikitpun untuk melepasnya. Hara hanya bersyukur.

.

"Itu, disana!"

Bersamaan dengan itu, sebuah teriakan muncul dari arah berlawanan. Lalu beberapa orang menghampiri mereka berdua, termasuk teman-teman mereka yang hampir lebih dari satu jam mencari keberadaan Hara.

Mereka semua terkejut melihat Rey dan Hara dalam keadaan basah kuyup. Mereka menjadi pusat perhatian belasan temannya yang mulai bergerombol. Melempari pertanyaan seputar apa yang barusan terjadi.

Pak Sapto bersama Aldo kemudian datang membelah kerumunan.

"Hara?! Ayah kamu dat—"

Pria paruh baya itu kehilangan kata-kata, tidak menyangka akan menemukan Hara dalam keadaan lemas dan basah seperti ini. Aldo langsung membuka jaketnya, menarik Hara agar lepas dari rangkulan Rey. Cowok itu memakaikan jaketnya ketubuh Hara yang mungil dan basah.

Tara melihat semuanya, diam-diam ia mundur teratur dan memisahkan diri dari kerumunan. Tara benci merasakan hal seperti, merasa menjadi yang orang paling menyedihkan.

Hara tersenyum tipis pada Aldo. Lalu ia melemparkan pandangan ke arah Rey yang menatap mereka berdua dengan tatapan datar. Tanpa emosi. "Gue nggak papa,"

Detik selanjutnya, kaki Hara melemas. Perempuan itu pingsan dan Aldo langsung menangkapnya bersamaan dengan petugas kesehatan yang membawa tandu dan mengangkat tubuh Hara. Rey membiarkannya, meskipun Rey sangat ingin ada di posisi itu.

Karena Rey tidak lagi khawatir, kemana hati Hara akan berlabuh pada akhirnya. Karena Rey sudah mengetahui jawabannya. Teman-teman sekelas mereka akhirnya membubarkan diri dan justru lebih penasaran kemana Hara akan dibawa. Pak Sapto tersenyum, lalu mengalungkan sebuah handuk kecil ke leher Rey sebelum akhirnya ikut beranjak.

Dari kejauhan, Rey masih dapat melihat bagaimana Aldo menatapnya dengan tatapan yang sulit terbaca. Pandangannya teralih ketika seorang Pria paruh baya menghampiri Rey dan menepuk pundak kanannya.

"Terima kasih,"

Prama kemudian memeluk Rey. Pelukan layaknya seorang Ayah yang memeluk putranya sendiri. Pelukan yang Rey tidak pernah rasakan seumur hidupnya, dan Pelukan yang selama ini selalu ia nantikan kedatangannya.

"Terima kasih."

Telinga Rey menghangat begitu suara lembut itu sampai ke indera pendengarannya. Ia merasakan tepukan ringan di punggungnya berulang kali. Dan Rey juga masih dapat mendengar bagaimana Om Prama mengucapkan terima kasih dengan suara yang bergetar.

Lalu, bersamaan dengan itu. Matahari terbit dari arah timur. Menyambut harinya yang berangsur lebih baik dari hari sebelumnya. Cahaya nya yang hangat ternyata mulai bisa menghangatkan hati Aldo yang sudah bertahun-tahun membeku.

Aldo masih berdiri di ujung sana, menyaksikan bagaimana Om Prama memeluk Rey sebagai ucapan syukur dan terima kasih yang mendalam. Untuk pertama kalinya, Aldo mengakui;

Rey adalah pangeran berjubah hitam yang selama ini Hara cari.

***

"Maaf, Pak. Tapi keputusan saya sudah bulat, saya akan bawa anak saya sekarang juga ke Bangkok."

"Pak Prama benar-benar yakin?"

"Ya, tentu." Pria yang dipanggil Prama itu lalu sibuk mengetikkan sesuatu pada ponselnya, berusaha menghubungi orang penting. "Saya sudah jadwalkan pernerbangannya sore ini. Setelah Hara agak baikan."

"Apa itu nggak terlalu cepat?"

Prama menghela nafas, menatap Pria yang hampir menginjak kepala lima itu dengan tatapan ragu. "Tapi, saya cuma nggak mau anak saya terus merasa tertekan. Saya ingin mengawasi Hara dengan mata saya sendiri."

"Yah, setiap orang tua memang berpikir begitu," Sapto tersenyum simpul. "Kalau itu memang keputusan Bapak, saya selaku pihak sekolah akan mendukung."

Prama mengangguk. "Saya akan suruh assisten saya mengurus berkas pindahan secepat mungkin, lagipula kasus yang kemarin itu sudah resmi ditutup. Saya juga sudah lama punya rencana untuk pindahin Hara ke Bangkok."

Sapto menyunggingkan senyum hormat. "Kalau saya boleh jujur, saya dan guru-guru lain di sekolah sangat salut sama anak bapak."

Prama hanya tersenyum simpul. Lalu mengeluarkan sebuah amplop putih dari saku kemejanya. "Saya minta tolong, kasih surat ini sama anak laki-laki yang baru saja nolong anak saya tadi,"

"Reynand?"

Prama terkekeh kecil. "Oh, jadi namanya Reynand?"

"Iya, nama lengkapnya Reynand."

"Oh, saya baru tahu. Jadi, tolong kasihkan surat ini sama Reynand, ya."

"Pasti, Pak."

a/n: {ini part sisipan sebenarnya. nggak terlalu berbobot, tapi mungkin penting untuk sambungan part berikutnya. hehe.

maaf kalau part ini nggak dapet feel. tp serius deh yang bikin malesin itu karena setiap nulis selalu gak dapet feelnya. btw, kalau di part ini ada yang salah tolong bantu koreksi ya;)

vote/comment jan lupa. sip(y)

destia_creators' thoughts