webnovel

Intan

"Kenapa bisa?" Tanya Zara dengan tenang. Ia tak mau membuat hal tersebut sangat serius hingga terjadi perpecahan di antara mereka bertiga. Hal seperti itu bisa diobati dengan saling percaya dan mengungkapkan tekanan masing-masing.

Obrolan itu terhenti sejenak, saat Ibu kantin menyajikan pesanan mereka. "Terima kasih, bu." Ucap Zara lagi.

"Jadi?" Tanya Zara lagi, melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda.

"Ra, Fa.. Aku tidak tahu apakah ini penting untuk dikatakan atau tidak. Namun aku tak mampu menahannya lagi. Aku turut bahagia melihat kalian memiliki seseorang yang selama ini ditunggu.." Ucapnya tertahan.

"Va.." Panggil Nifa dengan lirih.

"Intinya, aku iri kalian telah menikah. Aku tak tau alasan pastinya seperti apa.." Lirihnya. Ia mengaduk-aduk soto yang ia pesan seperti tak memiliki selera untuk memasukan makanan itu pada mulutnya yang cukup mungil.

Nifa menghela nafas perlahan, "Aku paham.." Ucapnya. "Vara.. Aku dan Zara juga pernah mengalami itu. Aku tak bisa menyalahkan itu semua, itu naluriah. Pasti ada saatnya kita merasa kesepian dan terabaikan. Aku minta maaf jika selama ini aku terlalu mengabaikanmu, namun kau juga pasti paham siapa yang menjadi prioritasku saat ini." Lanjutnya.

Vara hanya menundukkan padangannya menatap soto dengan tatapan tajam. "I know...".

"Va.. Aku tak bisa menolongmu. Karena ini sepenuhnya bukan salah kami. Kami berusaha semaksimal mungkin untuk berbakti pada seseorang yang sudah berjanji di hadapan kedua orang tua kami masing-masing. Namun, seberapa beratpun itu minta tolonglah pada Allah. Toh.. Allah yang Maha pembulak-balik hati. Minta untuk dikuatkan, Allah pasti sedang mempersiapkan seseorang untuk layak bersanding denganmu di saat yang tepat." Ucap Zara.

Lalu di meja itu tak ada satu orang pun yang berani mengeluarkan satu patah katapun. Mereka mencoba menikmati soto yang tersaji di hadapannya. Ya, meskipun terdapat bumbu kesedihan yang membuat rasa soto cukup berbeda dari biasanya.

Acara makan mereka diliputi dengan keheningan yang sangat khidmat dengan pikiran yang fokus pada masalah tadi. "Maaf aku tanya lagi nih, Va." Ucap Nifa menghancurkan suasana yang mencengkam sedari tadi. "Sebenarnya, apa yang membuatmu berat untuk mencari seseorang?" Tanyanya lagi.

Gadis yang ditanya tersebut hanya menghela nafas. Tangannya mengambil air mineral dan meneguknya beberapa tegukan. "Orang tua." Ucapnya. "Ibuku belum mengizinkan untuk melaksanakan ibadah itu. Fokus kuliah dulu, dan lain lainnya."

"Bagus dong, Va."

"Bagus apaan? Kesal yang ada."

"Ya, bagus. Kamu memiliki waktu yang lebih untuk berbakti pada kedua orang tuamu. Aku malah iri sama kamu.." Ucap Zara lalu meneguk air mineral yang dibawanya.

Vara hanya menatap perempuan yang ada di sampingnya iu dengan keheranan. 'Apa maksudnya?'

"Kalian kan tahu, aku menikah karena perjodohan. Hatiku sebenarnya sampai saat ini masih berat untuk menikah, namun apa daya ketika cita-cita membahagiakan orang tua dan nyatanya dengan menikahlah justru membuat orang tua ku bahagia."

"Va, aku nitip satu hal padamu. Nikmati masa lajang kamu untuk berbakti kepada orang tua mu, toh kita gak akan tahu sampai kapan kamu bisa membahagiakan mereka." Ucap Zara sambil membereskan piring dan mangkuk yang ada dihadapannya.

"Bener, Va. Selama ada kesempatan, kenapa tidak dimanfaatkan dengan baik. Khidmat ke orang tua sama besar pahalanya dengan khidmat ke suami, sama sama mendapatkan pahala JannahNya." Tambah Nifa. Ia meyakinkan gadis yang ada di hadapannya saat ini.

"Tapi.. Hati ini cukup lelah.." Elaknya.

Zara menggelengkan kepala, "Kamu hanya boleh capek di dunia, dan sebenarnya tidak ada waktu untuk bersenang-senang. Capekmu itu akan berbuah manis, Va." Tambahnya lagi. Ia terus saja mencoba untuk kembali meyakinkan sahabatnya yang mulai ragu akan keberadaan dirinya. Ia tak mungkin pula meninggalkan seseorang yang selama ini berada di sampingnya, saling mengingatkan dalam kebaikan untuk memenuhi kebutuhan ego sendiri.

Nifa kembali bersua, "Kalau begitu, ada yang salah dengan hatimu."

"Maksudnya?" Tanya Vara.

"Ya, kau terlalu mencintai dunia yang sifatnya hanya sementara dan meninggalkan intan-intan akhirat. Kau terlalu sibuk pada tanah yang menimbun emas berkilauan, padahal ada intan yang begitu membahana dengan gelapnya." Ucapnya terhenti untuk meneguk air mineral.

"Karena kalau kamu ikhlas karena Allah, seberapa capeknya dirimu berkerja siang dan malam. Semua itu berbuah keimanan, yang menambah sabar dan tawakalnya kamu." Tambahnya lagi.

"Atau.. Aku yakin masih ada sesuatu yang masih mengganjal di hatimu itu." Ucap Nifa dengan alis yang dinaik-turunkan seolah-olah menuntut penjelasan yang gamblang. Sedangkan Zara hanya menggelengkan kepala dan tersenyum mendapati salah satu sahabatnya itu mulai mengeluarkan jurus reporternya.