webnovel

Bersama..

Zara mengerjapkan matanya, ketika sebuah tangan mengelus salah satu wajahnya. Ia menoleh ke arah kiri untuk melihat waktu yang saat ini menunjukan pukul 02.40 WIB. Ia mengangkat tangannya, dan menguceknya. Beberapa saat kemudian, ia tersadar bahwa ada seseorang yang ada di sampingnya.

"Astagfirullah.. Ngapain kamu?" Teriaknya refleks lalu menutup mulutnya, untuk tidak membuat keributan lain.

Laki-laki dengan wajah bangun tidur itu hanya tersenyum, mengangkat tangannya dan kembali mengelus rambut wanitanya penuh sayang. Namun, wanitanya itu menggeser tubuhnya untuk menjauh. Tiba -tiba Zia melihat wanitanya itu terdiam dan menunduk. "Kenapa?" Tanyanya.

Zara menggigit bibirnya, dan menunduk. Lalu mengangkat jari yang tersematkan cincin pernikahannya, "Saya lupa, sudah menikah." lirihnya, yang disambut dengan tawa dari lawan bicara.

"Tak apa.. Kau belum terbiasa.." Ia masih menatap gadis cantik di hadapannya. Ia terus saja begitu, menikmati setiap lekukan wajah sang istri. Matanya yang cokelat, hidungnya, pipi yang sedikit menggelembung. Sungguh menggemaskan. Ia mengangkat tangannya dan menunjukkan jarinya tepat di pipi itu.

Zara kaget, "Apaan sih?" ketusnya. Ia terdiam, lalu langsung berjalan ke arah kamar mandi. Di dalam sana Zara berusaha dengan keras menetralkan hatinya, sungguh ada apa ini? Bangun tidur sudah diajak senam jantung.

Setelah dirasa cukup stabil, ia memutuskan untuk berwudhu dan mandi. Sungguh kemarin sangat melelahkan, namun ia tak mau bersikap congkak dengan segala nikmat yang telah diberikanNya untuk dia dengan meninggalkan hal yang disukaiNya. Ia membuka pintu dan dengan cepat berjalan menuju lemarinya untuk mengambil alat shalat.

"Tunggu aku ya, sebentar.. Kita shalat bareng." Ucap Zia, dan ia menghilang begitu memasuki ruangannya.

Zara terdiam, ya.. lagi lagi jantungnya berlarian tak tentu arah. Bagaimana bisa? Dulu ketika ia seringkali mengikuti kajian pranikah, ia selalu saja tergoda dengan cerita-cerita pasangan yang bersama melakukan segala sesuatu. Sekecil apapun itu, terlihat romantis. Sungguh membuat hati gerah, untuk menikmati setiap rasa yang tercipta.

Dan ia tak habis pikir, hatinya mulai berkedut pada seseorang yang telah ia tolak sebelumnya. Masih saja ia risih dari setiap perkataan yang keluar dari bibir Zia. Masih saja ia malu untuk menatap manik matanya. Masih saja ia kelu untuk menjawab pertanyaannya atau mengucapkan segala sesuatu yang ada di pikirannya. Terlalu takut, pada setiap perkataannya, pada setiap perilakunya akan melukai hati seseorang yang akan melindunginya hingga hari yang telah ditentukanNya.

Tak dapat dipungkiri, setiap kalimat sederhana yang dirangkai Zia untuknya selalu saja membuatnya kocar kacir kebingungan untuk membalasnya. 'Yang aku lakukan selama ini, apa sungguh keterlaluankah?' pikirnya.

Zara mempersiapkan tempat shalat, dan segera membalut badannya dengan kain yang berwarna ungu muda. Ia mengambil mushafnya, dan memulai untuk mengalunkan ayat-ayat Allah yang menjadi pedoman hidup dirinya dan Zia, sang suami.

Beberapa menit kemudian, Zia datang dan merapikan penampilannya. Mereka melaksanakan shalat malam bersama-sama, sama-sama mengetuk untuk diberikan taqdir yang baik. Sama-sama memohon untuk saling menyayangi karena Allah, sama-sama memohon untuk dipermudah dalam segala urusan mereka, dan mengetuk JannahNya disetiap helaan doa yang tercipta.