webnovel

Mustika Shaleha

Bimasena Satria, seorang polisi yang sedang menangani kasus bunuh diri siswi SMA, tidak pernah menyangka jika kasus yang dia hadapi, justru mempertemukannya dengan cinta masa lalunya yang bernama Reina. Bima mencoba kembali menjalin komunikasi dengan Reina demi mencari informasi mengenai kasus tersebut sekaligus memperbaiki hubungan mereka. Pada akhirnya, informasi yang Reina berikan, membuka fakta mencengangkan di balik kasus tersebut. Mulai dari praktik perundungan di sekolah, konflik keluarga, permasalahan ekonomi, premanisme, hingga prostitusi anak di bawah umur. Namun, saat penyelidikan semakin mendekati titik terang, Bima justru dibuat terombang-ambing oleh semua yang terjadi. Sebuah fakta yang mengejutkan mengenai siapa Reina justru terungkap dan menjatuhkan Bima hingga ke dasar.

mustikashaleha · Real
Sin suficientes valoraciones
6 Chs

I See You

Hari ini sekolah tidak seperti biasa. Terlihat lebih riuh dan tidak kondusif. Suasananya tegang dan penuh kepanikan. Tidak ada tanda-tanda akan ada kegiatan belajar mengajar hari ini. Semuanya sibuk dengan berbagai spekulasi, kesedihan, dan ketegangan. Padahal, hari ini selain ada jadwal mengajar seperti biasa, Reina juga membina ekstrakurikuler English Club yang hari ini dijadwalkan latihan drama untuk pertama kalinya sebelum pementasan dua bulan ke depan.

Namun, siapa yang peduli soal pementasan drama jika seseorang tengah tergeletak tak bernyawa di taman belakang sekolah. Darah menggenang di bagian kepala membasahi rambut siswi yang masih berseragam itu.

"Astaghfirullahal'adzim," lirih Reina sembari memejamkan mata setelah dia berhasil menembus kerumunan siswa dan melihat sosok itu dengan mata kepalanya sendiri. Reina mengenal siswi itu meskipun dia tidak mengajar kelas sepuluh. Anak itu masuk anggota English Club. Bahkan, Reina mendapuknya menjadi Cinderella untuk pementasan drama karena anak itu cukup cakap berbahasa Inggris, tapi akhirnya tawaran Reina ditolak. Anak itu justru memilih masuk devisi perlengkapan dan berada di belakang layar.

"Citra Arifa, kelas sepuluh, Bu Reina," kata seseorang yang berdiri di sebelahnya.

"Iya, dia anak EC juga," jawab Reina. EC adalah sebutan untuk English Club.

"Perkiraan kejadian kemarin sore. Sekolah sudah sepi. Kebetulan penjaga sekolah juga sedang tidak enak badan jadi semalam, dia tidak keliling. Alhasil, pagi ini baru diketahui."

"Kemarin?" Reina sedikit terenyak. "Kemarin EC masuk, Pak," kata Reina yang tiba-tiba menegang.

Orang yang Reina ajak bicara pun menoleh, menatap Reina dengan antusias. "Bukannya EC jadwalnya sore ini?"

"Iya, tapi kemarin ada kumpul sebentar sekitar tiga puluh menit," jelas Reina. Ya, kemarin ekstrakurikuler yang dia bina memang melakukan meeting sebentar untuk membagi skenario drama sebelum akhirnya akan diuji coba untuk latihan membaca skenario bersama hari ini. Reina memang tipe orang yang penuh persiapan dan teliti. Dia ingin anak didiknya membaca skenario itu dulu semalam agar mereka punya gambaran sebelum latihan bersama dengan yang lain.

"Saya harus ketemu sama polisi yang menangani kasus ini," kata Reina.

"Bu Reina yakin? Kepala sekolah belum ambil sikap soal ini."

Sejenak Reina mengigit bibir. Ada kebimbangan yang mengganjal di hatinya. Dia bukan pembangkang apalagi bertindak semaunya tanpa aturan, tapi saat ini dia merasa terpanggil untuk berbicara banyak hal soal anak didiknya.

"Jadi menurut Pak Rendra, saya harus gimana?"

"Lebih baik Bu Reina lihat situasi dulu. Nanti akan ada waktunya untuk bicara. Lagi pula polisi akan bertanya sendiri kalau mereka butuh informasi."

Reina akhirnya mengangguk setuju. Sekilas dia kembali melihat ke arah korban yang saat ini sudah dimasukkan ke dalam kantong jenazah.

Satu langkah, Reina melangkah mundur dari kerumunan. Namun, tepat sebelum dia berbalik dan beranjak pergi, matanya justru menangkap seseorang yang dulu begitu dia kenal berdiri tidak jauh dari jenazah korban.

Dengan Polo shirt maroon yang ditutup dengan rompi berhoodie warna hitam berbahan parasut yang dipadukan dengan celana kain warna hitam, membuatnya terlihat mencolok di antara yang lain yang mayoritas berseragam tim forensik atau berjaket hitam dengan seragam polisi di dalamnya.

"Bima," gumam Reina sendiri dengan sangat lirih. Selanjutnya, Reina memilih berbalik dan mempercepat langkahnya untuk pergi dari lokasi kejadian sebelum Bima melihatnya. Entahlah, dia hanya merasa tidak seharusnya bertemu dengan sosok itu lagi.

***

Suasana TKP yang tadi disebutkan Candra—rekan satu timnya, sudah dikerumuni banyak orang. Mayoritas dari mereka berseragam. Jelas saja,pukul enam tadi sesosok mayat ditemukan di sekolah ini dan sekarang sudah hampir pukul tujuh. Hari-hari biasa, pasti pelajaran sudah dimulai.

"Bim," panggil Farhan—rekan satu timnya selain Candra.

"Iya, gimana situasi?" tanya Bima yang langsung berjalan menuju Farhan. Mereka berdua berjalan beriringan menerobos garis polisi.

"Korban siswi sekolah ini. Menurut keluarganya, dia semalam nggak pulang," jelas Farhan sambil menatap sosok berseragam abu-abu putih yang sudah terbujur kaku dengan kepala berdarah.

"Candra mana?"tanya Bima sambil mengeluarkan sarung tangan lateks dari tas selempang hitam yang dia bawa.

"Di atas,ngecek lantai empat, kemungkinan lokasi tempat korban lompat. Tas korban ditemukan di sana," jawab Farhan sambil menengadah ke atas. Bima pun mengikuti arah pandangan Farhan. Benar saja, terlihat ada beberapa petugas di atas sana.

Tidak ada ruangan apa pun di lantai empat. Seperti tempat yang sengaja saja disiapkan untuk ruangan tambahan kelak jika sekolah mengalami pengembangan. Bagaimanapun, di zaman sekarang pelebaran ke kiri dan kanan memang susah. Bangunan-bangunan memang lebih efektif untuk ditambah tingginya.

Perhatiannya pun kembali pada mayat di hadapannya. "Penyebab kematiannya?"

"Pendarahan kepala akibat benturan. Ada beberapa tulang juga yang patah."

"Perkiraan waktu kematian?"

"Kata orang forensik, sekitar dua belas jam lalu."

Bima pun berjongkok. Dia meraih pergelangan tangan korban sebelah kiri yang mengenakan gelang berupa tali warna hitam dan arloji warna merah. Bima membalikkan posisi pergelangan tangan itu. Jam lima lebih dua puluh menit. Waktu terakhir yang ditunjukkan jam tangan korban yang sepertinya menjadi waktu kematiannya.

"Sekolah selesai jam berapa?" Bima kembali berdiri.

"Jam dua."

"Ekstrakurikuler?"

"Sampai sore sekitar jam lima, ada yang sampai maghrib."

"Ekskulnya apa aja?"

"Jadwal kemarin paskibraka sama jurnalistik. Korban bukan anggota keduanya. Sudah aku konfirmasi."

"Oke. Kita perlu bicara sama kepala sekolah dan beberapa guru, khususnya pembina kedua ekskul itu."

"Oke, Bim. Biar aku urus," Farhan pun undur diri untuk segera melakukan tugasnya sesuai instruksi dari Bima. Sementara Bima, sesaat dia menatap sekeliling, terlihat para murid celingukan ingin melihat tempat kejadian namun dihalangi oleh petugas. Beberapa dari mereka juga saling berbisik sesuatu. Sementara beberapa yang lain terlihat bergidik takut memilih pergi jauh-jauh dari lokasi. Entah karena seram atau karena empati pada korban.

Sekolah ini terlihat biasa saja seperti sekolah lain pada umumnya. Sekolah swasta dengan pamor yang lumayan karena prestasi guru dan muridnya cukup dikenal. Namun, sesuatu yang tidak beres sepertinya sudah terjadi. Firasat Bima berkata demikian.

"Reina," gumam Bima lirih. Dia melihat seseorang yang demi Tuhan menjadi daftar orang paling puncak yang ingin dia temui di dunia ini. Mulutnya bahkan sampai tidak bisa dia tahan untuk tidak menyebutkan nama itu. Nama dari sosok yang begitu dia rindukan. Kaki Bima hampir saja melangkah menuju tempat gadis itu berada. Namun dia urungkan saat menyadari posisi dan situasinya.

Terakhir kali dia dan Reina berada pada ruang dan waktu yang sama waktu itu, hubungan mereka tidak begitu baik. Ada sesuatu yang salah di antara mereka. Sesuatu yang harus diluruskan, tapi tidak sekarang. Tidak dalam situasi Bima yang sedang menangani kasus seperti ini.

Perhatian Bima pun kembali tertuju pada korban yang sekarang sudah akan dimasukkan dalam kantong jenazah. Saat mayat itu diangkat, sesuatu yang janggal terlihat.

"Tunggu!" suara tegas Bima menghentikan aktivitas tim forensik. "Saya mau lihat sebentar," lanjutnya sambil berjongkok.

Tangan Bima mencoba meneliti sesuatu yang dicurigainya. "Ini luka di siku bukan luka benturan kan?" tanya Bima sambil memegangi bagian lengan korban hingga memperlihatkan sikunya.

"Iya, itu luka lecet karena gesekan dengan benda kasar," jawab salah seorang dari tim forensik.

"Luka gesekan?" Bima terheran. "Tunggu! Asumsi awal kita dia lompat dari lantai empat, kenapa ada luka gesekan?"

"Itulah yang janggal. Bentuk sobekan di rok korban juga seperti sobek karena gesekan di bagian lutut. Lututnya juga ada lecet."

"Jadi?"

"Bisa jadi itu luka sebelum dia lompat atau—" petugas forensik itu menjeda sejenak. "Anak ini masih hidup setelah lompat dan berusaha mencari pertolongan, tapi gagal," lanjutnya dengan nada suara berbisik.

"Berarti perlu dicek apa tempat korban ditemukan bergeser dari tempat korban jatuh," kata Bima. Anggota tim forensik itupun mengangguk.

"Bima," panggil Candra.

"Gimana di atas? Aku baru aja mau nyusul kamu."

"Bersih. Nggak ada apa pun. Katanya petugas kebersihan emang sudah bersih-bersih di sana tadi setelah subuh sebelum ada penemuan mayat," jelas Candra.

"Berarti TKP rusak?"

"Bisa dibilang gitu."

Bima langsung menghela napas kecewa. Meskipun hanya lokasi untuk melompat, tapi tetap saja pasti ada sesuatu yang penting yang bisa ditemukan di sana. "Tetap kasih garis polisi," perintah Bima kemudian.

"Iya, udah. Aku juga udah amankan tas korban yang ditemukan di sana. Bukti jelas kalau lokasi dia melompat memang dari sana selain memang proses lompatnya terekam CCTV," jawab Candra panjang lebar.

Bima pun mengangguk."CCTV lain? Maksudku mungkin ada yang mencurigakan?"

"Sekolah ini minim banget CCTV-nya. Cuma ada di gerbang depan, gerbang belakang yang merekam kejadian dia lompat, depan ruang kepala sekolah, sama depan lab komputer," jelas Candra.

"Lantai tiga? Mungkin kita bisa lihat korban sama siapa waktu naik ke lantai empat."

Candra menggeleng. "Nggak ada."

Bima menghela napas kecewa lagi."Tetap minta salinannya! Kita selidiki lebih lanjut nanti dengan bukti yang ada."

Candra mengangguk. "Oke."

"Perasaanku nggak enak soal kasus ini, Can," kata Bima tiba-tiba sambil melepaskan sarung tangan lateks yang tadi dia pakai. Dia pun berjalan keluar dari garis polisi. Sementara Candra otomatis mengiringinya."Kayaknya bakal jadi kasus panjang," lanjut Bima.

"Jadi menurut kamu, ini bukan kasus bunuh diri biasa?"

Bima menggeleng. "Ada yang mengganjal."

"Nanti kita diskusikan di kantor saja, Bim," kata Candra. Bima pun mengangguk. "Ya udah, kamu mau balik kantor sekarang?"

Bima menggeleng. "Kamu duluan saja! Ada sesuatu yang harus aku cari tahu."

"Apa? Saksi? Kan lagi diurus Farhan. Nanti kita dihubungi sama dia."

"Bukan, bukan soal kasus ini," jelas Bima membuat Candra mengernyit bingung. Tidak biasanya Bima menyinggung hal-hal di luar pekerjaan.

"Lha terus?"tanya Candra kemudian.

"Nanti aku kasih tahu kalau sudah waktunya." Candra makin menatap Bima dengan tatapan aneh. "Soal masa depanku," kata Bima lagi sambil berlalu melangkah pergi.