webnovel

Sebuah Kabar.

Sandra meninggalkan Alvaro setelah ia tenang dan tertidur. Ia tidak ingin mengganggu istirahat pemuda itu. Lalu pergi dan membiarkan pintu itu tidak terkunci. Namun, tangan dan kaki Alvaro tetap terborgol.

Beberapa menit kemudian, tepatnya sekitar 20 menit pemuda itu menyadari bahwa gadis itu sudah pergi dari sisinya. Ia terbangun saat tangannya tidak menemukan keberadaan Sandra di dekatnya. "D-di mana d-dia?" katanya. Rupanya, Alvaro sesaat tadi merasakan kenyamanan di pelukan Sandra. "T-tidak, a-aku harus mencarinya!" ujar Alvaro. Ia bangun tanpa menyadari borgol rantai itu selalu mengekang tangan dan kakinya.

Alvaro membuka borgol itu dengan sebuah kawat yang ia bentuk seperti kunci aslinya. Ia selalu memperhatikan bentuk kunci aslinya saat Harry menyiksa atau pelayan di rumah itu memberinya makan. Ia mengutak-atik sebentar dan borgol rantai itu pun terbuka. Begitu juga di kakinya.

Pemuda itu berlari mencari Sandra dari jejak baunya yang tertinggal. Lalu berdiri dengan raut wajah yang tidak merasakan lelah sama sekali. Alvaro mendongak ke atas. Ia seolah sudah pernah ke tempat itu kalau tidak sepenuhnya mengingat kapan waktunya ke kamar Sandra. Alvaro berjongkok, kemudian ia melompat sangat tinggi dan berhasil rumah belantai dua tanpa kesulitan.

Ia berdiri di teralis jendela. Ia pandangi gadis yang sedang tertidur itu. Alvaro turun dan mulai melangkah mendekati Sandra yang sudah tertidur pulas. Pemuda ia menaiki ranjang Sandra, dan menatap lekat-lekat wajah cantik gadis itu. Tanpa berkata, hanya sebuah senyuman saja yang mengembang dari kedua bibirnya.

"Darah gadis ini sangat manis," ucapnya pelan, kemudian ia mendekatkan wajahnya.

Namun, tanpa sengaja ia mendengar kata "Ibu!" Keluar dari bibir Sandra, membuat pemuda itu menghentikan niatnya.

"I-ibu?" ucap Alvaro. Tak lama, ia menyaksikan airmata Sandra yang menetes dari kelopak matanya yang tertutup rapat. Ekspresi wajah gadis itu mendadak berubah, semula tenang menjadi sangat ekspresif. Dahi yang mengkerut, raut wajah yang menjadi sedih.

Alvaro turun dari ranjang gadis itu, lalu duduk di pinggiran ranjang Sandra yang sangat besar. Kemudian, jari-jari yang besar dan panjang itu mengelus pipi Sandra yang terus mengigau tentang ibunya. Walau tidak ada satupun kenangan di memori Sandra, tetapi ia sering melihat foto ibunya dari album foto yang sengaja Harry simpan.

"Maafkan aku!" ujarnya, ia sudah mengingat siapa Sandra itu. Ia juga mengingat siapa Harry yang selalu meluapkan emosi dan kemarahannya pada dirinya itu. Ya, ia tidak melupakan apa yang sudah ia lakukan pada ibunya Sandra. "Semua itu salahku!" lanjutnya. Kali ini ia mengusap kepala Sandra, dan tanpa di pinta, Alvaro menundukan kepalanya, kemudian mengecup kening Sandra.

Pemuda itu berdiri, dan lalu meninggalkan ruangan yang di dominasi dengan warna merah muda, setelah ia menyelimuti tubuh Sandra.

Entah kenapa, Alvaro tidak pernah kabur. Padahal, ia sangat muda kabur dari penjara itu dan membebaskan diri. Ia selalu saja kembali dan kembali ke dalam sel itu.

****

Pagi, terlihat cerah di langit. Ada burung yang beterbangan di awan, kicauannya terdengar walau jaraknya sangat jauh. Dua kupu-kupu saling berebut putik sari di setiap bunga yang tumbuh cantik di taman. Mereka saling bergantian menghisap sari madu, sisa dari para lebah yang lebih dulu sampai dan menghabiskan madu-madu di setiap bunga yang mekar di taman rumah kediaman Harry dan Sandra.

Sandra duduk di kursi, berhadapan dengan Harry. Ia melihat ayahnya sudah bangun dan sedang sarapan di taman. Ada secangkir berisi teh beserta tekonya. Kue-kue yang dimasak oleh koki di rumah itu tersaji dengan sangat menggiurkan di atas meja.

"Hari ini ayah ada rapat di kerajaan!" kata Harry di sela-sela mengunyang rotinya.

"Rapat? Membahas masalah apa ayah?" tanya Sandra mengoleskan selai nanas ke rotinya. "Apakah masalah vampir seperti yang pernah ayah ceritakan itu?"

"Bukan!" sahutnya. Ia sibuk menyeruput teh dalam cangkir yang hangat itu. "Ayah belum tau apa yang Raja ingin sampaikan pada kami semua, para bangsawan!" lanjutnya, meletakan cangkir itu di piring tatakan.

Sandra mengangguk paham.

"Jadi, kamu akan sendirian di rumah bersama para pelayan. Dan Ayah pinta, jangan pernah sekali-sekali kamu mendekati pemuda itu di penjara bawah tanah!" ucap Harry memberi tekanan pada Sandra. Ia tidak mau kejadian semalam membuat ia selalu mewaspadai pemuda itu. Apalagi, Alvaro pernah kabur dari penjara itu walau akhirnya ia kembali lagi.

"Iya Ayah."

"Janji?"

Sandra mengangguk. "Aku janji, Ayah! Kenapa Ayah tidak percaya sama aku?"

Harry menggenggam tangan Sandra. "Bukan ayah tidak percaya, tapi ayah hanya kuatir dengan keadaanmu bila mendekati pemuda itu. Bisa saja kan dia menyerang kamu lagi seperti semalem!"

Sandra membalas genggaman tangan ayahnya, "Iya ayah, aku janji gak akan ke tempat itu lagi!" sumpah Sandra di hadapan Harry, hal itu membuat senyum Harry terlihat sangat bahagia.

"Bagus kalau kau paham dan mau mendengarkan Ayah, dan itu baru anaknya Duke Harry, bangsawan yang terkenal baik dan dermawan."

"Lalu, kenapa ayah sering memukul pemuda itu?"

"Hei ..., dengarkan ayah, pemuda itu pengecualian. Gak akan ayah maafkan walau di memohon ampun di hadapan ayah, mengerti kamu?"

Sandra hanya bisa mengangguk, agar tidak ada perdebatan lebih jauh lagi.

"Bagus! Kalau begitu, ayah pergi dulu!" Harry menyudahi sarapannya, mengelap mulutnya dan kemudian mencium kepala Sandra. Ia pergi setelah berpamitan. Mata Sandra tak lepas memandangi Harry melangkah, ia kemudian tersenyum senang.

"Hari ini, aku ingin melakukan apa ya?" kata Sandra, sambil berpikir sejenak. "Mmm ... apa kau jalan-jalan saja sama pemuda di bawah tanah itu?" lanjutnya sedang merencanakan sesuatu. "Aku rasa itu bukan ide buruk!" Ia segera menghabiskan sarapannya.

"Nona ... nona Sandra!" teriak salah satu pelayannya. Mereka berdua terlihat kelelahan sehabis berlari dari dalam rumah sampai ke taman.

"Ellie ... Yullie? Kenapa kalian berlari-lari seperti itu?"

Kedua pelayan itu tak lantas menjawab, mereka mengatur napas dan lalu menegapkan tubuhnya setelah napas mereka benar-benar sudah tenang. "Ini nona!" Ellie, pelayan yang mempunyai rambut pirang serta mata berwarna kehijauan itu memberikan selembaran kertas pada Sandra.

"Apa ini, Ellie?"

"Itu adalah brosur festival bunga yang akan di adakan di tengah kota. Apa nona lupa, bahwa kita bertiga pernah ke sana semasa nona berusia sepuluh tahun!" jawab Ellie, memberikan penjelasan pada Sandra.

"Aaah ... aku ingat! Di sana akan ada pesta dansanya juga kan di malam hari?"

Yullie mengangguk.

"Sayang, waktu itu aku tidak boleh ikut karena masih di bawah umur!" kata Sandra seolah kesal waktu itu. Penjaga mengusirnya, usia Sandra belum di perbolehkan masuk di pesta dansa khusus anak-anak berusia delapan belas tahun ke atas.

"Tenang, nona! Sekarang nona sudah delapan belas tahun. Dan nona tau, di pesta kali ini akan di hadiri pangeran." Yullie membisikan hal itu di telinga Sandra. Kedua pelayanan ini sudah di anggap kakak oleh sandra.

"Wah ... benarkah?"

Yullie mengangguk.

"Dan menurut berita yang kami dengar dari ibu-ibu di pasar, Pangeran sedang mencari kekasih atau seorang istri."

"Apa? Yang benar kamu Yullie?"

Yullie mengangguk sekali lagi.

"Itu benar nona. Jadi, nona tidak boleh melewatkan kesempatan ini semua!"

Sandra mengangguk mantap. "Aku harus mendapatkan perhatian lebih dari pangeran," kata Sandra bertekad. "Ayo kita segera ke festival taman bunga di tengah kota," seru Sandra sangat bersemangat.

Seperti apa pesta itu? Lalu bagaimana dengan pesta dansanya?"

****

Bersambung.