webnovel

Kenangan Tentang Ibu.

Sandra tak bisa tidur, di kasurnya yang empuk dan besar itu ia masih terjaga. Ia berguling ke kiri, berusaha memejamkan mata. Namun pikirannya selalu kembali pada kejadian di penjara bawah tanah. Lalu ia sengaja menggulingkan kembali tubuhnya ke kanan. Tetap saja ada hal yang mengganggu dengan semua ucapan ayahnya itu.

Gadis itu bangun, dan duduk di ranjang. Lalu ucapan Harry juga mengganggu pikirannya. "Kalau memang pemuda itu membunuh ibu, berarti pemuda itu sudah lama berada di penjara itu?" pikir Sandra tidak bisa berhenti mencari tau benang kusut apa yang terjadi di rumahnya. Ayahnya tidak pernah bercerita tentang kematian ibunya selama ini, yang Sandra tau  ibunya telah meninggal saat melahirkannya.

"Tapi kenapa pemuda itu membunuh ibu? Apa motifnya?" pikirnya lagi belum menemukan titik temu dari benang merah yang belum terurai. "Apa aku tanya saja pada pemuda itu?"

Sandra bergegas turun dari ranjangnya setelah ide itu melintas di pikirannya, ia lalu berjalan kearah pintu. "Tidak ... tidak ... tidak ...." Ia menghentikan langkahnya saat hatinya menjadi ragu dengan tindakannya ini. "kalau aku pergi menemui malam ini juga, ayah pasti curiga padaku!" Sandra berdiam di depan pintu kamarnya, berpikir keras. Ingin dia mengabaikan ucapan ayahnya, tetapi batin dan pikirannya terus mengusik dirinya hingga ia tidak bisa tidur.

"Aaah ... masa bodo dengan Ayah, aku harus mencari tau sekarang juga." Sandra memutuskan untuk mengabaikan perintah ayahnya. Ia keluar kamar, mengendap sambil mengawasi sekeliling koridor yang ia tapaki. Keluar rumah saat penjagaan rumahnya tidak terlalu ketat.

Sandra terlihat berjalan tergesa-gesa dengan wajah waspada. Matanya tak lepas melihat ke belakang dan ke samping. Mengawasi setiap sudut dan memastikan tidak ada yang melihatnya ke paviliun tempat Alvaro di kurung. Sandra baru menyadari, ada ruang bawah tanah dan penjara di paviliun di rumahnya yang sangat besar itu. Dan semua baru ia ketahui setelah ada masalah Alvaro, bagaimana ibunya meninggal dan ada masalah apa antara Alvaro dengan kematian ibunya.

Sandra mulai membuka pintu setelah melewati beberapa tempat seperti taman dan juga contage. Ia bergegas membuka pintu sambil menoleh ke belakang, sekali lagi ia memastikan tidak seorang pun yang melihat atau mengikutinya. Sandra lalu masuk dan menutup pintu secepat mungkin agar tidak ketahuan gerak geriknya.

Ia masuk ke dalam, memasuki kesebuah ruangan yang penuh dengan buku-buku, ruang baca yang biasa ayahnya lakukan bila ia ingin membaca buku. Ia menarik salah satu buku yang tersusun rapih di rak-rak itu. Rak buku pun tergeser secara perlahan-lahan. Sandra masuk ke dalam ruangan gelap. Cahaya obor yang selalu menyala dan sengaja ayahnya letakan di dekat pintu rahasia itu, Sandra bawa.

Kaki Sandra menelusuri lorong yang gelap dan sedikit sempit. Lalu mulai menuruni tangga, berjalan pelan setelah ia memasuki ruangan yang lebih gelap lagi. Cahaya temaran dari obor membuat Alvaro sedikit bereaksi. Ia menggeram, lalu menjauh dan mencari tempat tanpa cahaya. Gadis itu mulai mendekati Alvaro, namun memberi jarak agar kejadian tadi tidak terulang lagi.

"Hei, aku datang lagi!" imbuhnya. Duduk di hadapan Alvaro yang berdiam diri di tengah kegelapan. Matanya tetap menatap waspada terhadap Sandra, ada sedikit trauma yang sudah sering dilakukan Harry padanya. Penyiksaan demi penyiksaan itu membuat Alvaro membatasi diri, kecuali bila ia sedang menginginkan setetes darah dari Harry atau siapapun yang mendekatinya.

Seperti ia menggigit Sandra, dan ia juga pernah menggigit seorang pelayan di rumah itu yang Harry tugaskan memberi makan. Namun nahasnya, pelayan itu justru di hisap darahnya hingga mati dengan tubuh yang kurus kering.

"Maaf soal ayahku ...." Sandra mulai berbicara lagi setelah sekian menit suasana mendadak hening. "Kamu tau, ibuku sudah meninggal semenjak aku di lahirkan!"

Respon Alvaro sedikit berbeda saat Sandra mengucapkan kata 'Ibu'.

"I-ibu?" ucapnya pelan.

"Ya Ibu, dia sudah meninggal saat aku di lahirkan. Tapi itu kata ayahku saat aku bertanya 'di mana ibu?' padanya," Sandra pikir, Alvaro sedang bertanya padanya. Tetapi, pemuda itu justru sedang mengingat apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Memori tentang kedua orang tuanya memang sedikit, tetapi ia menyadari ayah dan ibunya meninggal dengan sangat tragis di hadapannya.

"Ibu ... ayah ...," sebut Alvaro berulang-ulang. Dan ekspresi wajahnya lambat laun berubah. Sandra tersenyum, Alvaro merespon apa yang ia katanya. Sejauh ini, itulah yang di pikiran gadis itu terhadap Alvaro.

Lalu pemuda itu terbangun, ia terlihat marah saat ingatannya teringat ketika ayahnya tertembak. Kemudian, ia teringat bagaimana para pengawal kerajaan menembak ibunya itu.

Ia berlari lalu berteriak sangat keras sambil menguncang-guncangkan jeruji besi. "Ibu ... Ayah ...." teriaknya menyayat hati gadis itu. Sandra tidak tau apa yang akan terjadi pada kedua orang tua Alvaro.

Sandra bangun, ia bingung apa yang sebenarnya terjadi pada pemuda yang baru ia kenal. "Hei, kamu kenapa? Kenapa kamu berteriak seperti ini?" tanya Sandra, namun ia benar-benar takut untuk mendekatinya. Bahkan, Alvaro dalam kondisi normal pun Sandra tidak berani mendekatinya.

"Ayaaah ... ibuu ... di mana kalian??" teriak Alvaro sekali lagi. Ia sangat merindukan kedua sosok yang hampir ia lupakan. Delapan belas tahun, ingatannya seolah terkekang oleh siksaan-siksaan Harry yang terus menerus kepadanya.

Dadanya terasa sesak kala ingatannya tidak mau berhenti membuka satu demi satu kenangan itu. Saat para pengawal kerajaan memasuki rumahnya dengan paksa, ayahnya berusaha melawan agar Alvaro dan ibunya bisa kabur dari par pengawal. Awal yang bagus, ayahnya mampu melawan dua pengawal kerajaan yang memang berniat untuk membunuh Alvaro dan kedua orang tuanya.

Ia mengingat itu, bahkan ia tidak bisa melupakan walau memorinya seolah sulit untuk mengingatnya. Rasa perih dari cambukan Harrylah yang membuat ingatan itu seolah melupakan kenangan buruk itu.

Alvaro juga mengingat ketika peluru pertama melesat hingga menembus betis ayahnya dari senjata para pengawal kerajaan. Hingga ayahnya tidak lagi sanggup berdiri. Tubuhnya terjatuh, ibunya berteriak saat itu. Berusaha membantu suaminya untuk berdiri. Namun sialnya, satu peluru lagi menembus betis kanannya, dan peluru itu bersarang di dalam tulang kering betisnya.

Dadanya semakin sesaat, ada sesuatu yang mendorong dari dalam dan membuat matanya berembun. Hingga memendarkan pandangannya, embun itu semakin tebal saat semua ingatan itu terbuka dan mengganggu kestabilan emosinya. Lalu embun itu mengeras, tak lama akhirnya pun terjatuh dalam sebuah telaga kesedihan hati dan jiwanya.

Suara yang semula begitu keras dan menggelegar, sedikit demi sedikit melemah. Sangat pelan Alvaro menyebutkan kata Ayah dan Ibu. "Ayah ... ibu ... k-kenapa k-kalian m-meninggalkanku?" ucap Alvaro sedikit terbata-bata. Setelah sekian lama tidak ada satupun orang yang mengajaknya berbicara, Alvaro mulai banyak bicara setelah ucapan Sandra tentang ibunya.

Sandra terdiam, ia melihat pemuda itu menangis. Rasanya ia ingin menghentikan tangisannya dan menyeka airmata lalu memeluknya. Namun, ia masih belum berani melakukan tindakan sejauh pemikirannya. Tetapi,

Gadis itu mengambil kunci jeruji besi itu yang tergantung di paku dekat pintu masuk. Ia tidak bisa membiarkan seseorang menangis di hadapannya. Sandra sudah tidak peduli lagi bila ayahnya lebih marah lagi padanya. Ia melangkah masuk walau sedikit ragu.

Lalu itu bersimpuh di hadapannya. Di jarak yang sangat dekat tanpa diawasi ayahnya. "K-kamu gak apa-apa?" tanya Sandra sekali lagi. Pemuda itu tak menjawab, hanya kaya 'Ayah' dan 'ibu' saja yang terdengar di telinganya. Sandra mengangkat dagunya, ia menyaksikan ratusan tetesan airmata jatuh dari pelupuk matanya.

Tanpa sadar, Sandra menyeka airmata Alvaro dan kemudian di peluk pemuda itu seerat mungkin. "Aku tidak tau apa yang terjadi pada kedua orang tuamu, tapi aku yakin kamu pasti bisa membuat mereka bangga," ucapnya. Gadis itu benar-benar tidak tau apa yang harus ia katakan. "Bila kau ingin menangis, aku siap menjadi bahu dalam kesedihanmu. Luapkan emosimu, keluarkan segala keluh kesah dan kekuatiranmu di dalam bahuku!" Pungkasnya, dan membiarkan Alvaro terus menangis.

****

Bersambung.