webnovel

Anak Kecil Pembawa Petaka.

Mobil mewah itu berhenti di halaman rumah megah dan sangat luas. Laki-laki itu bergegas turun dan kemudian membawa Alvaro ke dalam rumah. Tubuh yang sudah sedikit membiru dan kedinginan itu di bopong laki-laki muda berwajah tampan itu.

Di dalam rumah, ia disambut seorang wanita berpakaian mewah. Wanita itu sedari tadi menunggu laki-laki itu pulang ke rumah. "Sayang!" Wanita itu beranjak bangun dari duduknya, perutnya sudah membesar. Ia meletakan alat merajutnya dan berjalan menghampiri suaminya. "Anak siapa yang kamu bawa?"

Laki-laki itu mengabaikannya, wajah kuatirnya sangat terlihat. Lalu ia memasuki salah satu kamar yang cukup besar. Istrinya mengikuti kemana suaminya pergi. "Bi, tolong bawakan air hangat!" teriaknya pada pembantu di rumah itu. Ia bergegas membuka baju bocah itu, tubuhnya sudah membiru. Kedinginan. Wanita itu melihat apa yang di lakukan suaminya.

"Sayang, kenapa kamu begitu peduli sama bocah itu? Apa kamu tidak lihat, aku sedang hamil besar dan butuh perhatianmu!" protes istrinya yang terus memegang perut besarnya itu. Kehamilannya sudah memasuki bulan ke sembilan, sebentar lagi bayinya akan lahir kedunia. Dan ia merasa sangat butuh perhatian suaminya yang hanya pulang seminggu sekali.

"Iya sayang, tapi bocah ini butuh pertolongan. Dia berada di tengah jalan saat salju turun dengan lebat. Dan kamu bisa lihat kan, tubuh anak ini membiru, ia bisa mati kedinginan kalau tidak segera di tolong," sahut suaminya sibuk mengurusi bocah itu.

"Emangnya bocah itu lebih penting bagimu dari pada aku?" Istrinya masih saja kurang puas dengan jawaban suaminya. Ia masih tidak suka kehadiran bocah itu dan suaminya terus menerus memperhatikan bocah asing itu.

"Sayang, kamu apa-apaan sih, pertanyaan kamu gak etis pada a--"

"Tuan, ini air hangatnya!" Potong pembantu rumahnya dengan tangan membawa wadah berwarna abu-abu yang berisi air.

"Terima kasih, Bi!"

"Sama-sama tuan!"

"Oh iya, Bi! Tolong carikan baju kecil untuk dia ya."

Pembantu itu mengangguk dan kemudian keluar. Menjalankan perintah tuannya itu. "Sayang, bisa bantuin aku gantiin anak ini?"

Wanita itu terdiam, dan pergi keluar tanpa mempedulikan apa yang dikatakan suaminya. Laki-laki itu hanya bisa menghela napas dan berusaha bersabar dengan kehamilan istrinya yang semakin sensitif. Ia pun, mau tidak mau menggantikan baju anak itu sendirian. Kemudian ia memakaikan baju yang dibawakan pembantunya itu. Dan menyelimuti tubuh Alvaro yang sudah terlihat lebih baik.

Laki-laki itu pun keluar dari kamar itu, berhenti sejenak di ambang pintu sebelum menutup pintu. Ia menatap tubuh Alvaro yang tertidur pulas. Seulas senyum simpul laki-laki itu pun mengembang di kedua bibirnya. "Tidurlah yang bocah malang!" ujarnya dan kemudian menutup pintu.

Sayang, laki-laki itu tidak pernah tau siapa Alvaro itu. Vampir yang sedang di buru. Bocah kecil itu sedang menjadi perbincangan di kerajaan Raja Raymond saat ini.

"Bodoh! Bagaimana kalian tidak bisa menemukan vampir kecil itu? Bagaimana kalau vampir itu datang dan membalaskan dendam padaku saat usianya dewasa nanti, huh?" Raja Raymond begitu marah mendengar berita tidak mengenakan dari para pengawal yang ditugaskan untuk membunuh seluruh vampir yang hidup di tanah kerajaannya itu. Ia tidak suka dengan berita itu, apalagi ini menyangkut vampir.

"Cepat kalian temukan anak itu bagaimanapun caranya! Saya tidak mau mendengar lagi kabar tidak mengenakan di telinga saya!" Perintahnya, ia tidak mau para pengawalnya menemukan Alvaro.

Raja Raymond duduk kembali di singgasananya. Ia terlihat stress mendengar satu vampir kecil bisa lolos dari kejaran mereka. "Sebenarnya, apa yang mereka kerjakan sampai-sampai vampir kecil itu bisa lolos dari kejaran mereka?" pikir Raja Raymond memijit keningnya.

"Penasehat, apa yang harus aku lakukan agar bocah itu cepat ketemu?" tanya Raja Raymond mengambil jalan pintas.

"Bagaimana kalau tuan menyebarkan foto wajah anak itu ke surat kabar. Pasti masyarakat akan dengan cepat memberitahu kabar anak itu pada Yang Mulia!" bisik penasehat kerajaan yang punya pemikiran begitu picik.

Raja Raymond berdehem, mengangguk lalu tersenyum. "Kalau begitu, segera kau kerjakan usulanmu itu, penasehat!"

"Tentu saja Yang Mulia!" Penasehat itu segera meninggalkan ruangan Raja Raymond, pergi keluar istana menggunakan kudanya. Pergi ke tempat surat kabar kerajaan. Senyumnya begitu lebar, sayangnya, kepicikan terlihat sangat jelas di wajahnya itu.

Bagaimana tidak, inpeksi mendadak ini di lakukan secara diam-diam agar tidak menimbulkan kegaduhan di antara rakyatnya tentang vampir-vampir. Namun, kelicikannya akan membuat kegaduhan yang lebih besar, memicu kemarahan rakyatnya yang akan menyudutkan Raja Raymond sebagai memimpin yang suka membunuh. Dia juga sudah menyiapkan tameng agar dirinya tidak terkena imbasnya.

Berita pun di tulis dengan sifat provokatif agar masyarakat ikut menghakimi Raja dan juga tentang vampir.

Dan sementara itu di rumah besar kediaman Duke Harry, terjadi pertengkaran kecil dengan istrinya bernama Duchess Patricia, Alvaro yang menjadi pemicu pertengkaran mereka.

"Siapa sebenarnya anak itu? Apakah anak itu dari wanita simpananmu, Duke Harry?" Pertanyaan itu terdengar penuh penekanan dan tuduhan yang menyudutkan. Mereka baru menikah sekitar satu tahun yang lalu.

"Apa? Ya jelas bukanlah sayang. Seperti yang aku bilang, bahwa anak itu adalah anak yang hampir aku tabrak dengan mobilku."

"Kenapa tidak kamu tinggalkan saja? Bukankah kamu tidak sampai menabraknya?"

"Ya gak bisa, masa aku ngebiarin dia jalanan dengan wajah membiru? Kalau aku biarkan dia tergeletak di jalanan, bisa-bisa dia mati kedinginan!" Sergah Duke Harry.

Duchess Patricia terlihat masih belum puas dengan jawaban suaminya itu. "Sudahlah sayang, biarkan dia tinggal di sini untuk sementara waktu. Besok, aku akan mencari informasi ke kantor polisi untuk mengetahui di mana dia tinggal," ujar Duke Harry. "Sekarang sudah malam, lebih baik kita istirahat." lanjutnya, merangkul bahu istrinya dan mengajaknya ke kamar.

Dan di dalam kamar, mata Alvaro terbuka sangat lebar setelah semuanya terlelap tidur. Ia melotot dan kemudian bangun. Matanya berwarna merah, gigi-giginya mendadak sangat tajam. Napasnya sedikit memburu dengan jantung yang berdetak sangat kencang. Alvaro turun dari ranjang, lalu melangkah mendekati pintu, keluar kamar. Semua penghuni rumah itu sudah tertidur, sepi. Alvaro mengendus, ia seperti mencium sesuatu yang membuat perutnya semakin merasa lapar.

"Aku lapar!" ucapnya pelan. Ia melangkah menuju dapur. Ia terus berjalan dan kemudian membuka kulkas besar. Ia mengobrak-abrik isi kulkas itu dan mencari daging mentah. Ia memakannya dengan lahap, menghabisi semua persediaan daging-daging di kulkas. Sudah seharian ini Alvaro tidak memakan apapun ia juga belum meminum darah walau hanya setetes. Sedari pagi, ia terus berlari bersama ayah dan ibunya untuk menghindari kejaran para pengawal kerajaan.

Duchess Patricia terbangun, ia kehausan. "Aah, airnya habis!" Ia pun beranjak bangun untuk mengambil air. Ia berjalan sambil mengelus perutnya yang sudah membesar, tangan kirinya memegang teko.

Wanita itu menguap dan menghentikan langkah kakinya saat daun telinganya mendengar suara dari dalam dapur. "Siapa malam-malam begini di dapur?" pikirnya, ia berjalan pelan-pelan untuk mencari tau. Matanya memincing saat melihat sosok bocah sedang memakan semua persediaan daging di dalam kulkasnya, bukan hanya daging tetapi Alvaro juga menghabisi ayam-ayam segar di kulkas.

"Kamu?" Teriak Duechess Patricia, membuat Alvaro kaget dan kemudian menggeram. Tatapannya begitu menyeramkan dan sangat dingin. "M-mau apa kamu, bocah?" tanya Patricia ketakutan. Ia berjalan muncur, dan mendadak sangat ketakutan saat melihat wajah Alvaro di penuhi darah. Menjijikan.

Alvaro kemudian melompat kearah Patricia hingga membuat bokong wanita itu sangat kesakitan, beradu sangat keras ke lantai. Bocah kecil itu menunjukan gigi-gigi taringnya, walau terlihat kecil, namun gigi-gigi itu bisa menghisap darah Patricia sampai habis. "M-mahluk apa sebenarnya kau ini?" tanya Patricia ketakutan. Darah keluar dari bawah pakaiannya, sangat banyak.

Tanpa banyak bicara, bocah itu menggeram, kemudian mengigit leher dan menghisap darah Patricia. "Aaaargh!" Ia berteriak sangat kencang saat Alvaro mulai menghisap darahnya itu.

****

Bersambung..