webnovel

MORAI

Apakah hidup itu adil? Jika pertanyaan itu diajukan kepada Jadira Morai, maka penyihir cantik itu akan menjawab "Hidup memang tidak adil, tapi kita harus membuatnya menjadi adil. Kita tak selalu bisa memilih bagaimana mereka memperlakukan kita, tapi kita selalu bisa memilih bagaimana cara membalas perlakuan itu. Aku bukan orang jahat, aku hanya sedang menuntut keadilan, dan inilah caraku. Jangan menganggap aku jahat, karena menuntut keadilan bukanlah perbuatan kriminal." * "Untuk menata masa depan, kita harus menyelesaikan masa lalu. Begitu aku berjalan maju, maka kenangan mulai meninggalkanku, berikut dengan jiwaku yang ikut bersamanya." –Harnell La Fen. * "Akulah si korban, aku mendapat kutukan dari para penyihir itu. Jangan ganggu aku, aku hanya ingin terbebas dari kutukan ini. Aku datang ke bumi hanya untuk mencari manusia setengah penyihir yang mau menikahiku, dengan begitu, segala kutukan sialan itu akan hilang" –Roxena Laphonsa. * "Korban dan tersangka bukanlah hal yang mudah untuk dibedakan, karena sebenarnya sangat tipis perbedaan dari keduanya. Tak peduli siapa korban yang sebenarnya atau siapa tersangka yang sebenarnya, namun siapa yang memiliki bukti lebih kuat itulah yang menang. Tak perlu pintar untuk menang dalam hidup, kau hanya perlu untuk tidak bodoh, namun aku terlalu jenius untuk itu. Sesuai dengan namaku, Junius. Akulah penyihir terjenius yang akan mengubah status tersangka menjadi korban. Menunjukkan kepada orang bodoh itu, siapa tersangka sebenarnya." -Junius Xander.

lotionocean · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
17 Chs

The Duplicate

Brrraakkk!!

Junius terpental beberapa meter dari tempat Marcus berdiri.

"Hahahaha! Hanya sebatas itu kemampuanmu tuan Xander?" Marcus bersorak bangga karena berhasil menumbangkan Junius.

Bukan hanya Tulip yang melakukan pemulihan diri, namun Marcus juga mempelajari sihir-sihir baru selama menunggu Tulip sembuh. Dan lihatlah… hasilnya cukup menakjubkan, Junius yang memang sedang dalam kondisi tidak siap untuk bertarung, tak bisa melawan lebih. Baru kali ini ia diserang habis-habisan oleh dua bengis itu.

Lalu kemana Jadira? Hanya Junius yang tahu Jadira dimana. Lantas dimana Harnell yang katanya mau ikut membantu? Entahlah, Junius kesal sendiri kenapa pria itu tak kunjung menampakkan hidung bangirnya. Apa ia tersesat? Ayolah, Harnell tak sebodoh itu, pikir Junius.

"Kau masih belum mau menyerah?" kali ini Tulip yang angkat bicara

"Aku tak selemah itu untuk menyerah pada sampah seperti kalian!"

Dak!! "Aarrgghhh!!" Tulip menghantamkan beton itu ke tubuh Junius karena kesal dengan yang pria itu katakan.

"Sudahlah, lebih baik kau menyerah saja dan beri tahu kamu dimana jalang itu!!" Tulip murka

"Ck, tak usah sok menjadi pahlawan kesiangan, Xander. Kau tidak perlu mengorbankan dirimu sendiri untuknya."

"Dasar bodoh! Aku berjuang bukan hanya untuk Jadira, namun untuk dunia. Jika aku menyerah, maka kalian akan menguasai dunia ini. Dan aku tak akan membiarkan itu terjadi. Aku tak mau menjadi kaum yang tertindas oleh kalian!"

"Hahahahaha! Mulia sekali hatimu, nak." Marcus meledek Junius dengan wajah yang menyebalkan.

Pria itu berjalan mendekat ke arah Junius yang terkapar tak berdaya, "Tapi ingatlah, semakin kau mencoba menghalangi kami, maka semakin gencar kami memperjuangkan apa yang kami inginkan. Hahahaha!" tertawa puas di depan wajah babak belur Junius.

"Memang apa enaknya menguasai dunia? Hanya untuk ditakuti oleh penduduk negeri?"

Suara asing itu membuat Tulip maupun Marcus menoleh. Ini dia sosok yang diam-diam mereka incar beberapa hari kebelakang. Sosok misterius dengan kekuatan maha dahsyat yang membuat mereka menggeleng. Sosok yang berbulan-bulan lalu turut menolong Jadira dari serangan mereka. Dan sekarang sosok yang serupa kembali hadir untuk membantu Junius. Siapa sebenarnya pria ini? Kenapa identitasnya sangat sulit terungkap. Penyihir dari belahan dunia yang mana? Kenapa sosok itu baru muncul sekarang. Marcus tidak mengerti, kenapa makhluk dengan kekuatan tiada tanding seperti pria itu lebih memilih menutup diri dari dunia sihir dibandingkan memanfaatkan segala kekuatannya untuk menguasai dunia. Sia-sia sekali segala yang dimilikinya. Marcus tak habis pikir, orang ini idiot atau dungu. Andai saja ia yang terlahir seperti itu, pasti sekarang ini Kirby pun akan menjadi anak buahnya, bukan ia yang menjadi bawahan Kirby seperti saat ini. Hidup memang tidak adil dan sering bercanda.

"Hi, dude! Akhirnya kita berjumpa lagi." Harnell menerima sambutan hangat dari Marcus.

"Ck! Sebenarnya aku sangat malas kembali berurusan dengan kalian." Sapaan Harnell tak sehangat Marcus.

Marcus menatap jengah pada pria itu, "Kalau begitu seharusnya kau tak perlu menyampuri urusan kami."

"Kami tak pernah mengusikmu, jadi kita berdamai saja. Bujuk teman bodohmu itu untuk menyerah. Maka kami akan berhenti." Tulip bersuara.

"Berhenti menganggu mereka dan mulai menguasai dunia, itu kan yang kau maksud? Lalu bagaimana mungkin aku memilih jalan damai dengan kalian." Jawab Harnell.

Prankkk! Marcus tak tahan lagi, tanpa basa-basi ia menyerang Harnell begitu saja.

"Persetan dengan semuanya! Lihatlah, kami yang akan menang!"

"Kemenangan yang dimiliki oleh penjahat tidak akan abadi."

Braakk!! "Tutup mulutmu, brengsek!" Marcus kembali menyerang Harnell.

Serangan-serangan hebat mereka, bukanlah masalah besar bagi Harnell. Sebenarnya hanya dengan sekali-dua kali serangan balik, Harnell sudah bisa memenangkan pertarungan sore ini. Namun sepertinya pria kecintaan Jadira itu sengaja ingin bermain-main, mengulur waktu. Sebenarnya bukan itu tujuan si tampan, sesungguhnya Harnell ingin mengulik apa penyebab pertempuran antara dua kubu ini. Apa yang diincar oleh Marcus dan Tulip. Lalu sebenarnya apa yang sedang dipertahankan oleh Junius dan Jadira.

Daakk!! "Kalian tak akan pernah mendapatkan apa yang kalian inginkan!" setelah menyerang mereka secara halus, Harnell sengaja memancing dengan kalimatnya, namun Marcusa dan Tulip yang kewalahan tak merespon apapun untuk kalimatnya. Hal itu membuat tuan La Fen memutuskan untuk mengakhiri pertempuran sore ini. Yang tentu saja kembali dimenangkan oleh Harnell.

Kemudian pria itu menghampiri Junius dan membantunya berdiri. "Terima kasih telah membantu." Ucap Junius tulus.

"Kalau boleh tahu, sebenarnya apa yang kalian rebutkan?" pertanyaannya berhasil membuat Junius terdiam, kembali bimbang.

"Sepertinya itu bukan urusanmu, man." Jawab Junius santai

"Hey, bahkan aku telah membantumu."

"Aku tak pernah meminta itu, kau sendiri yang suka rela untuk ikut andil."

"Ck, jangan membuatku menyesal karena telah membantumu."

Junius terkekeh kecil, "Tanyakan langsung saja pada Jadiramu itu." setelah mengatakan hal itu, Junius melenggang pergi meninggalkan Harnell yang masih terbengong.

"Hey! Kukira kita teman." Harnell menyusul Junius dengan sedikit berlari.

***

"Astaga! Kau tak apa?!"

"Kenapa separah ini?!"

"Ini pasti sangat sakit kan?"

"Ck! Kenapa kau selalu sok jagoan!"

Junius diserang bertubi-tubi oleh kalimat wanita yang membukakan mereka pintu. Sosok wanita bertubuh tinggi nan langsing, berkulit cerah, bermata bulat, dengat rambut berwarna asap yang terurai hingga menyentuh pundaknya. Sorot matanya menatap penuh khawatir pada Junius yang mencoba terlihat baik-baik saja. Siapa sosok puan jelita ini? Apakah ia adalah Cashel yang tadi namanya sempat disebut oleh Junius dan Jadira saat mereka masih di restoran?

"Kalian baik-baik saja? Dimana Jadira?" tanya Junius pada wanita itu.

"Fisik kami baik-baik saja…." Menggantung kalimatnya, netranya melirik curiga pada Harnell, mengetahui hal itu, Harnell berpura-pura membuang muka. Kemudian si puan mendekatkan bibir tipisnya pada rungu Junius dan berbisik, "Tapi sepertinya mental Jadira sangat kacau, aku sampai tak berani bicara dengannya." Kenapa wanita ini sangat menggemaskan, ia berbisik pada Junius yang menandakan pembicaraan mereka adalah rahasia, namun Harnell masih dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Dan perkataan wanita itu cukup membuatnya terkinjat.

Si puan menatap tanya pada Junius, siapa sosok pria yang dibawa olehnya. Kenapa Junius sembarangan membawa orang lain datang ke tempat persembunyian mereka.

Junius menatap wanita itu malas, "Sayang, apa kau tak merasa familiar dengan wajahnya?" Kemudian pupil cokelatnya menatap Harnell, memperhatikan lamat-lamat yang membuat Harnell sedikit risih lalu sedekit kemudian pekikannya mengejutkan mereka.

"ASTAGA!!" teriaknya tekejut sambil menutup mulutnya.

"Jangan katakan…" kalimatnya menggantung yang langsung diangguki oleh Junius.

"Harnell kau masuklah ke dalam, aku akan pulang dulu untuk menyembuhkan luka-luka ini."

"Tak apa jika aku masuk?"

"Masuklah, maka semua pertanyaanmu akan terjawab." Junius berusaha meyakinan Harnell untuk masuk, padahal dirinya saja tak yakin apakah ini waktu yan tepat atau bukan. Ah peduli setan, lebih cepat lebih baik. Sampai kapan semua akan ditutupi? Sampai lebaran penyihir?

"Ayo kita ke rumahku, kau bertugas merawat luka-luka ini." Wanita itu mengangguk namun ragu karena membiarkan Harnell masuk ke rumah itu dan meninggalkannya.

"Tak apa, biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka." ucap Junius meyakinkan.

"Tap-"

Zlimb! Belum sempat mengajukan protes, Junius telah membawa sosok cantik itu pergi bersamanya.

Tersisalah Harnell di ambang pintu bangunan aneh bin unik itu. Harnell tak mengerti sebenarnya tempat apa ini. Bangunan ini seperti rumah putih biasa, namu di luar rumah tersebut dilapisi oleh Kristal bening yang Harnell yakini terdapat sihir-sihir hebat menyelimuti Kristal itu. Yang lebih mengherankan lagi, Harnell tak pernah melihat dan menemukan rumah tersebut, padahal bangunan ini terletak di sekitaran tempat tinggalnya. Tentu saja Harnell tidak akan pernah tahu keberadaan bangunan aneh ini. Bukan hanya Harnell, namun seluruh makhluk di penjuru bumi ini, tak akan pernah menyadari keberadaan tempat persembunyian ini kecuali Junius, Jadira, Cashel, danYonansa.

Entah sihir macam apa yang telah Junius ciptakan sehingga terbentuklah tempat berlindung dari para anak buah Kirby, sebuah bangunan tak kasat mata namun nyata. Itulah mengapa Marcus dan Tulip tak pernah mendapatkan apa yang mereka inginkan, karena sampai kapanpun mereka tak akan pernah menemukannya. Junius mengamankan 'harta karun' itu dengan sangat baik.

***

Kaki jenjangya melangkah dengan perlahan, mencoba menjejaki bagian yang lebih dalam dari rumah putih itu. Seperti rumah pada umumnya, namun dengan atmosphere yang berbeda. Entah mengapa jantungnya berpacu dua kali lipat lebih kencang. Ada rasa was-was juga penasaran. Kakinya kembali melangkah, membawa raganya semakin ke dalam. Terdengar sayup-sayup dua orang tengah berbincang, tetapi ia tak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan.

Hingga kakinya terhenti di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka, namun Harnell dapat dengan jelas melihat pemandangan mengejutkan dari celah pintu tersebut, bahkan ia dapat mendengar apa yang tengah mereka bicarakan.

Seketika tubuh Harnell melemas, matanya memanas, dadanya sesak hingga terasa ingin meledak, kerongkongannya tercekat. Hanya rungunyalah yang dapat berfungsi dengan baik untuk saat ini.

Matanya memburam karena terhalang air mata, namun lensanya masih bisa melihat sosok mungil itu.

"Mommy…"

Jadira bersama seorang anak kecil. 'Mommy', ia tak salah dengar kan? Telinganya masih berfungsi normal kan? Rungunya tak salah kan jika baru saja ia mendengar bocah tampan itu memanggil Jadira dengan sebutan mommy. Siapa bocah laki-laki itu? Ia anak jadira? Apa jadira dan Junius telah menikah dan memiliki anak? Lalu kenapa Jadira masih mengejar-ngejar dirinya?

Ayolah tuan La Fen, jangan mendadak bebal, jelas-jelas wanita yang kau temui tadi adalah kekasih Junius yang bernama Yonansa. Wanita cantik yang telah berbaik hati untuk menjaga anak Jadira saat Jadira dan Junius harus bertempur melawan Marcus dan Tulip. Yonansa jugalah yang memberi tahu Junius saat di restoran tadi siang.

Tunggu, seharusnya Harnell tak perlu bertanya itu anak siapa. Dari wajah saja, itu benar-benar jiplakan Harnell. Anak itu persis seperti duplikat Harnell waktu kecil. Mata elangya, hidung bangirnya, bibirnya tebalnya, dagu lancipnya, bahkan telinganya. Serakah sekali ia, bahkan hanya dahi anak itu yang mirip sang ibu. Tanpa perlu bertanya apalagi repot-repot melakukan test DNA, siapapun tahu bahwa Cashel adalah darah daging seorang Harnell.

"Mommy kenapa kita kesini lagi?" Seujurnya Cashel benci tempat aneh ini, bocah kecil berusia sekitar empat tahun itu tak mengerti mengapa mommy, uncle serta aunty nya senang sekali mebawanya kemari. Ia selalu menolak dan hanya ingin di rumahnya saja, ya rumah Jadira. Namun, para orang dewasa itu mengatakan jika Cashel tidak menurut, maka daddy tidak akan mau bertemu dengan Cashel, karena Daddy tidak menyukai anak yang suka membangkang. Mau tak mau bocah tak berdosa itu menuruti apa yang uncle Junius nya katakan, karena ia memang sangat merindukan sosok daddynya yang tak kunjung ia temui sejak terlahir ke dunia.

"Bukankah hari ini kita seharusnya bertemu daddy?"

"Mommy berjanji padaku akan membawa daddy datang hari ini. Dimana daddy? Terus kenapa kita kesini? Nanti daddy akan susah mencari kita."

Jadira membatu, tak mampu menjawab segala pertanyaan sang anak. Menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tersenyum tulus dengan mata berkaca-kaca. Tak sanggup berkata-kata. Tak tahu harus menjawab apa. Ia telah mengacaukan segalanya. Ia telah membuat sang anak kecewa. Memandang dalam dengan tatapan penuh maaf. Matanya seolah berkata 'maaf mommy tak dapat membawa daddymu untukmu', karena nyatanya ia memang telah gagal untuk membawa Harnell kembali kedalam hidupnya, bahkan lelaki sialan itu lebih memilih untuk menikahi saudari tirinya. Dasar pria sinting, maki Jadira dalam hati.

Wanita beranak satu itu tak tahan lagi, air matanya menerobos tanpa sopan santun. Ia terisak pilu. "Mommy kenapa menangis? Cashel menyusahkan mommy ya?" jari-jari mungilnya berusaha menghapus air mata sang ibu yang bercucuran.

Membawa sosok sang anak kedalam peluk hangatnya, menggeleng dibalik tubuh mungil itu.

Pemandangan macam apa yang sebenarnya tengah Harnell saksikan saat ini. Sialan, dadanya dihujani perasaan campur –aduk.

Hati Harnell bergetar, sakit melihat pemandangan didepannya, namun terselip bahagia dan juga bangga. Tanpa sadar pria itu menangis.

"Tidak sayang, Cashel tak pernah menyusahkan mommy. Mommy menangis karena terharu anak mommy sudah besar. Dan tentang daddy, daddy masih memiliki beberapa pekerjaan yang harus diselsaikan."

"Sampai kapan Cashel harus menunggu daddy? Apakah daddy tak mau bertemu dengan Cashel?"

"Tidak sayang, daddymu juga merindukanmu. Hanya saja kita belum menemukan waktu yang tepat."

"Tidak begitu, mom, daddy pasti tidak sayang Cashel." Hey nak, kenapa mulutmu lebih menyakitkan daripada mulut daddymu? Apa kau tak mendengar jeritan lara dari sanubari kedua orang tuamu. Hati mereka perih mendengar kalimatmu barusan.

"Benar begitu kan, mom? Itu sebabnya daddy tak mau bertemu deng-"

"Ck, jadi kau sedang menuduh daddymu sendiri?

Pasangan ibu dan anak itu tersentak mendengar kehadiran suara asing diantara mereka.

Sosok pria tinggi tengah berdiri di ambang pintu. Ketiganya terpaku dengan perasaan tak menentu. Adakah yang menghentikan waktu? Kenapa semuanya seolah menjadi batu?

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

lotionoceancreators' thoughts