Pagi itu tak seperti pagi biasanya yang dilingkupi keceriaan. Para penumpang yang malam itu terbangun, berdiri mengerumuni dek luar tanpa mengucap sepatah kata pun, hanya terdiam dalam senyap.
Bercak darah merah melekat di dek luar bersama dengan mayat sang wanita. Namun di dek yang lebih tinggi mayat sang monster berbulu coklat telah tiada.
Tepatnya pada saat matahari mulai bersinar, tubuh sang monster yang di biarkan tergeletak untuk investigasi pada pagi harinya, diam-diam menguap dan menghilang tanpa meninggalkan apapun termasuk darah sekali pun.
Para kru segera membentuk barisan menghadang penumpang mendekati lokasi kejadian. Di tengah tempat kejadian itu berdiri sang nona muda dan samurainya, di antara beberapa kru kapal lain yang melakukan forensik terhadap mayat sang wanita. Lalu sang kapten dan wakil kaptennya datang menyapa.
"Oh, nona Lucretia!! ... emm, maafkan kami atas kejadian ini, kalau saja kami lebih teliti dalam pengawasan pemberangkatan, mungkin kejadian ini tak akan terjadi"
"Tunggu dulu Pelsaert, kita masih tak bisa menyimpulkan kalau monster itu ikut sejak awal pelayaran, bisa saja monster itu datang entah dari mana di tengah-tengah pelayaran ini kan!!"
"Ya, memang kita tak bisa menyimpulkannya seketika, tapi di tengah samudra luas seperti ini...?"
Pelsaert melayangkan pandangannya menuju lautan luas.
"Tetap saja, setelah melihat monster itu 'ada' saja sudah merobohkan logika normal yang selalu menyangkal keberadaan mahkluk semacam itu, yang bahkan dengan peluru pistol pun tak dapat terluka."
Pelsaert tak bisa menyangkal pernyataan sang nona kali ini. Kemudian sang wakil kapten mulai angkat bicara.
"Bila menurut Tn. Watanabe yang menghadapi langsung monster itu, bagaimana? Apakah ada hal menonjol yang dapat dijadikan acuan penyelidikan?"
"Benar juga, saat pertama kali mahkluk itu melempar ku, aku juga merasakan ada yang aneh. Bila dibandingkan dengan tangan dan kekuatan sebesar itu, entah mengapa aku merasa energi yang di keluarkannya tak sebesar yang seharusnya?"
"Begitukah?"
"Ya, seakan energinya tak sepadan dengan wujud besar yang ia miliki, lalu nafas yang mahkluk itu keluarkan terus menerus terlihat sangat berat dan panjang. Mungkinkah makhluk itu telah bersembunyi cukup lama selagi menunggu mangsa, sehingga ia kehilangan banyak energi dan kelaparan?"
Lucretia yang mendengar penjelasan Watanabe mulai berjalan mendekati mayat wanita yang menjadi korban malam itu.
"Hmm... tapi mengapa wanita ini bisa berada di luar, malam itu? Bukankah umumnya para pasangan muda menghabiskan malam di bilik mereka bersama pasangannya?"
Sambil memperhatikan wajah wanita itu dari dekat tanya keluar dari bibir merah Lucretia.
"Bagaimana? Kalian sudah menemukan identitasnya?"
Tanya Lucretia pada seorang kru forensik di sekitar sana. Lalu salah seorang kru segera memberikan jawaban.
"Wanita ini bernama Nn. Adamasatia, berumur 23 tahun, yang seharusnya sedang bersama suaminya Tn. Robert Gale yang baru saja menikah sekitar dua bulan lalu. Namun, entah mengapa keberadaan Tn. Robert tak dapat kami temukan, Nn. Lucretia"
"Hmm..., jadi bisa diasumsikan ada dua korban? Atau mungkinkah... mahluk itu adalah Tn. Robert Gale itu sendiri? "
"Oi, oi, oi, jangan bilang kalau kau mau mengkaitkan ini dengan legenda manusia serigala jadi-jadian, nona?"
Watanabe segera memotong teori Lucretia.
"Habisnya, kau lihat sendiri bukan Waibe? Mahkluk berbulu lebat dan berbadan besar itu...."
"Benar juga, salah satu asumsi yang dapat kita ambil dari menghilangnya Tn. Robert saat istrinya menjadi korban adalah Tn. Robert sendirilah mahkluk yang membawa istrinya keluar dan menghabisinya dengan berubah menjadi monster."
Sang wakil kapten segera mengemukakan pendapatnya, memotong jeda panjang dari pernyataan Lucretia.
"Tapi, kenapa ia harus repot-repot membawanya keluar dan menghabisinya di tempat yang mencolok, bukankah lebih efisien ia dihabisi di tempat tersembunyi? Juga, interval waktu saat bocah itu berlari sambil menangis kearah kami dan kembali bersama kami menuju pintu dek luar, bukankah seharusnya ia bisa kabur saat itu?"
"Benar juga"
Sang kapten memegang dagunya selagi mengkonfirmasi teori Lucretia. Lalu ia berdiri menghadap para kru di belakangnya dan mengeluarkan perintahnya.
"TETAP SIAGA, KEMUNCULAN MAHKLUK-MAHKLUK SERUPA TAK MENUTUP KEMUNGKINAN!! SELIDIKI TIAP RUANGAN, DAN LAKUKAN PENGAWASAN KETAT DUA PULUH EMPAT JAM DISELURUH DEK KAPAL!!"
"SIAP LAKSANAKAN!!"
Demikian seluruh kru kapal yang hampir seluruhnya mengenakan baju bertuliskan VOC di dada mereka, segera bergerak ke pos masing-masing dan beberapa masih tetap siaga di sekitar tempat kejadian.
Edward yang melihat dari dek yang lebih tinggi bersama kedua orang tuanya hanya terdiam melihat para kru itu menangani kasus ini.
§
Malam mulai menjelang, seluruh penumpang di perintahkan kembali ke kamar masing-masing, termasuk Edward dan kedua orang tuanya. Lalu suatu ketukan pintu tiba di pintu depan kamar mereka.
Tok-tok-tok!
"Angel, apa kau di dalam?"
Sang ayah mendengar suara itu segera berjalan untuk membuka pintu mereka.
Kreeek!
"Pelsaert! Bagaimana penyelidikannya, sudahkah menemukan titik terang?"
Wajah sang kapten itu terlihat sedikit murung.
"Tidak, masih belum ada petunjuk sedikitpun. Bagaimana Edward?"
"Tak apa, ia sudah lebih baik"
"Maafkan aku, karena kecerobohan awak ku dalam pengecekan pemberangkatan, keluargamu mendapatkan pengalaman buruk ini...."
Sang kapten masih menyalahkan dirinya atas kejadian ini.
Kreek....
Semakin lebar pintu kamar itu terbuka selagi menampakan sang ibu dan Edward yang berdiri di belakangnya dengan wajah cemas dan panik.
"Lalu bagaimana dengan pelayaran ini Tn. Pelsaert?... Sudah hampirkah kita sampai tujuan, apakah kita bisa berlabuh lebih cepat?!"
"... hmm, untuk itu saya tidak dapat memastikannya Ny. Dekker. Karena kejadian ini, meskipun sebenarnya kita sudah dekat dengan benua Australia, namun kita tak diperbolehkan berlabuh kecuali di kota tujuan kita Batavia"
"Frederica...." Angel mengucap sendu, sambil memeluk bahu istrinya.
Seraya itu sang ibu memeluk Edward sambil meneteskan air mata. Demikian juga dengan sang ayah yang memeluk keduanya di samping Pelsaert yang hanya bisa menunduk menelan rasa bersalahnya sebagai kapten.
Namun tak lama waktu berselang, tiba-tiba terdengar suara teriakan wanita yang menggema ke lorong kamar tersebut. Mengagetkan baik sang kapten maupun keluarga itu dan segera mengalihkan perhatian mereka.
"Suara ini, jangan-jangan!!"
Pupil mata Angel menajam.
"Dari sumber suaranya, kelihatannya tak jauh dari sini. Kalian tunggulah disini selagi aku memeriksa"
Ketiganya mengangguk atas anjuran sang kapten yang bergegas menelusuri lorong dek tersebut. Namun, tak lama sang kapten berlari, segera ia kembali sambil berwajah tegang.
"Lari!! Makhluk itu kesini, segera lari!!"
Namun tak sempat keluarga itu menanggapi perkataan sang kapten, dinding kayu yang searah dengan arah teriakan yang mereka dengar itu segera hancur bersamaan sesosok monster yang menerobos masuk.
"RAAAAARRGGHH!!!!"
Monster setinggi dua kali tinggi orang dewasa dengan tubuh besar berbulu lebat dan mulut menonjol seperti hewan, menghentakan kakinya selagi mengaum di depan ke empat orang itu. Angel pun segera mengambil inisiatif.
"Ayah?"
"Angel, hentikan!! Apa yang mau kau lakukan dengan balok pendek itu, hah?!"
"Tidak sayang, jangan!!"
Moment itu tercipta begitu saja, moment sesaat dari monster yang terlihat bingung pada sang ayah yang yang berdiri di depan monster itu dengan sebalok kayu kecil dari serpihan dinding kayu yang hancur.
Sungguh di luar dugaan, monster besar yang tadinya mengamuk itu seketika menghentikan gerakannya melihat tindakan sang ayah.
"Tidak ada cara lagi!! Cepatlah pergi bersama Edward"
"Tidak, tidak!! Pasti ada jalan lain, jangan lakukan Angel...!!"
"FREDERICA!!"
Seketika Angel memutus perkataan istrinya, selagi menolehkan pandangannya sedikit ke belakang saat sang monster masih terdiam di depan mereka.
"Rrrrrrgh..."
Napas yang berat sang monster berembus selagi bergerak perlahan mendekati sang ayah.
"Pergilah... pergilah, selagi perhatian makhluk ini terhenti pada ku"
"Tapi sayang,..."
Frederica yang menjatuhkan air matanya tak mampu melanjutkan perkataannya, menyadari prioritas utama mereka adalah si kecil Edward yang ada di pelukannya, yang ketakutan selagi bertanya-tanya akan apa yang diperdebatkan orang tuanya.
"Pergilah..., jagalah Edward untuk ku...."
Frederica tak membantahnya lagi, wajahnya terlihat menahan pedih kesedihan, namun ia segera berdiri sambil menggendong Edward.
"Pelsaert, hanya kau yang bisa ku percaya, ku mohon jagalah mereka"
Pelsaert pun tak mampu menyanggahnya lagi, air matanya juga mulai turun pada sosok sahabatnya yang menghadang monster besar dengan sebatang balok kayu kecil itu.
Segera ia mengulurkan tangannya pada sang ibu Edward, dan segera mereka melangkahkan kaki meninggalkan Angel. Tetapi dengan gerakan yang di keluarkan dua orang yang hendak membawa Edward dari sana tersebut, ternyata juga serentak menarik perhatian sang monster yang segera meresponnya dengan auman kerasnya.
"Eh..., Ayah? AYAH!!"
Seakan waktu bergerak lambat dimata Edward.
"RAAAAGGHHH!!!!"
Detik-detik ia meninggalkan sang ayah yang harus menghadang monster dengan hanya sebalok kayu di tangannya.
"HYAAAAA!!!!"
Dan saat-saat teriakan ayahnya menggema di samping sesosok bayangan yang muncul dari belakang sang monster.
Disinari cahaya bulan di belakangnya, sosok itu menerobos masuk dari jendela kamar mereka menggunakan sebuah tali dari dek atas. Sosok itu kemudian berputar di udara selagi melewati sang monster lewat bawah ketiaknya yang terangkat hendak menghantam ayah Edward.
Criiiiiiiiiiiiiiing!!
Suara potongan katana menggema di udara.
Sosok sang samurai mendarat dengan pedang berbilah ungu gelap transparan yang terlepas dari sarungnya.
Wajah Angel memucat, dan monster di depannya berhenti bergerak. Tepat saat tangan besar sang monster sedang hendak menerjang ke wajahnya. Lalu seketika tangan besar itu jatuh terpotong, meninggalkan tubuh besar yang seakan membeku di depan Angel.
Watanabe berdiri sambil menyarungkan pedangnya kembali.
Sriiiiing... Crek!
Seketika itu dari dari lengan sang monster yang telah terpotong itu.
"Suiryu-giri batto-jutsu,...."
Garis melingkar terus berjalan mengitari dan membelahnya seperti potongan sosis yang di iris turun melingkar dengan sempurna oleh seorang chef ahli.
Plok, plok, plok, plok!!
Potongan dagingnya jatuh bergiliran ke lantai kayu, di depan ayah Edward yang diam membeku.
"...Tatsumaki"
Sang samurai mengucapkan nama jurusnya, seakan ia mengucapkan selamat tinggal pada monster yang telah terbelah menjadi tumpukan daging itu.