webnovel

Mom, Who Are They?

"Sakti! Kamu lagi apa disini?" Panggil Dewinta menghampiri putranya. "Bunda ... apa eyang baru datang?" Tanya Sakti, seraya memegang erat mainan robotnya. "Eyang?" Dewinta mengerutkan keningnya dengan cepat. Berpikir apakah putranya lupa, kalau eyang sudah meninggal satu tahun lalu? Dewinta merupakan orang tua tunggal dari tiga anak yang ia miliki. Anak pertamanya Ratna Ayu Dewastara duduk di bangku SMP kelas tiga, Sakti Agung Dewastara duduk di bangku kelas empat SD, dan adik perempuan terkecil Rini Ayu Dewastara baru saja menginjak kelas satu SD. Kondisi keuangan yang tidak memungkinkan membuat Mereka berempat pindah pada sebuah rumah yang dibeli murah oleh Dewinta, disebuah desa yang jauh dari pusat kota. Dan semenjak kepindahan mereka, semua tragedi seram terus saja menghantui keluarga kecil tersebut. Mampukah mereka bertahan pada rumah seram yang memiliki banyak penghuni alam gaib?

Sita_eh · Horror
Sin suficientes valoraciones
2 Chs

Teman & Si Mata Merah

Sakti mengayuh sepedanya perlahan, ia sedang mengikuti kemana Putra mengarah jalan pintas yang ia maksud.

"Put... Putra!!!" Panggil Sakti. Dia sudah menghentikan kayuhan sepedanya, dan mengatur napasnya yang tersengal karena lelah.

"Putra! Berhenti!!!" Panggil Sakti lebih lantang, dan akhirnya berhasil menghentikan sepeda Putra. anak laki-laki itu segera saja menoleh dengan senyuman lebar kearah Sakti.

"Kenapa? Kok kamu berhenti? Kita belum sampai, masih harus kedepan sana." Jelas Putra dan menujuk kearah jalan dihadapannya.

Sakti melihat jalan lurus yang banyak ditumbuhi daun-daun merambat. Belum lagi sekeliling jalan tersebut sangat banyak pohon besar yang tinggi, dan hampir menutupi cahaya yang masuk. Membuat Sakti tak bisa melihat apa yang ada di ujung jalan sana.

"Hah... aku sudah lelah dari tadi terus mengayuh sepeda! Memangnya kamu enggak lelah?" Tanya Sakti dan dengan perlahan ia mengayuhkan sepedanya, agar bisa mendekati sepeda Putra.

Sakti menatap wajah temannya, yang tampak tidak lelah. Bahkan tidak terlihat bulir keringat yang membasahi wajah atau tubuhnya, aneh sekali menurut Sakti.

"Enggak aku enggak lelah, kamu payah. Baru segitu saja udah kecapean, padahal sebentar lagi kita sampai loh." Ucap Putra dan kembali menatap jalan diujung sana.

"Kata kamu, mau kasi tahu aku jalan pintas! Tapi kok enggak sampe-sampe sih?" Protes Sakti, dan mengipas wajahnya dengan salah tangannya sendiri. "Kalau masih jauh, aku mau lewat jalan biasa saja. Perasaan ini sudah lama banget, tapi kok kita enggak sampe-sampe?"

"Perasaan kamu aja Sakti... ini baru beberapa menit. Mungkin karena kamu belum terbiasa hidup di desa. Jadi... baru jalan sebetar saja sudah dibilang jauh." Ucap Putra meyakinkan Sakti, walau wajah temannya tidak segera percaya.

"Ya sudah... kita lanjutin lagi ya... Tapi kamu jangan tinggalin aku. Kamu cepet banget bawa sepedanya." Ucap Sakti dan Putra pun mengangguk pelan, sebagai jawaban setuju atas permintaannya.

Sakti mulai meletakkan kedua kakinya diatas pedal sepeda, perlahan ia mulai mengayuhkan pedal sepedanya. Dan melihat sosok putra yang berada didepannya, sesuai dengan janji sahabatnya. Kali ini Putra tidak terlalu cepat membawa laju sepedanya, sehingga Sakti bisa mengimbanginya dengan mudah.

Tiba-tiba saja perasaan tidak nyaman itu muncul kembali, membuat bulu kuduk Sakti berdiri seketika. Padahal Sakti dan Putra belum sepenuhnya masuk kedalam jalan lorong yang sepi itu.

"Putra, kok aku ngerasa serem ya." Ucap Sakti, dan Putra menghentikan laju sepedanya tiba-tiba. Ia pun menoleh kearah belakang, memperlihatkan senyum lebar dengan sederetan gigi yang ikut ia perlihatkan untuk Sakti.

"Kamu dari tadi ngeluh terus! Kapan kita sampainya!" Ucap Putra, tapi kali ini ia tidak terdengar marah dari perkataannya. Bahkan terlalu datar, begitu juga dengan ekspresinya.

"Emm maaf. Aku cuman tanya, soalnya perasaan aku jadi enggak enak seperti ini." Jawab Sakti kikuk, dan kembali memandang kearah sekelilingnya yang tampak sepi.

"Ya sudah kita lanjut lagi ya... kamu ikutin aku." Putra kembali menjalankan sepedanya. Dan Sakti pun tidak lagi berdebat dengan teman barunya itu.

Hanya tinggal beberapa meter saja, untuk Putra dan Sakti sampai pada jalan setapak tersebut. Sampai tiba-tiba... entah dari mana asalnya seekor kucing hitam melompat kearah Sakti.

Miaauuwww....!!!

Aarrgggggh.....!!!

Sakti memekik seketika dengan serangan kucing hitam tersebut, ia pun kehilangan keseimbangan dan bersamaan dengan sepeda yang ia kayuh, Sakti terjatuh kearah sampingnya.

Brugg..!!

"Ahh... Sakit! Kucing nakal!" Umpat Sakti yang sudah terkapar diatas tanah. "Kakiku... aduh... sakit sekali." Sakti memegangi pergelangan kakinya yang terasa ngilu, dan ketika ia gerakkan rasa sakit yang teramat tidak bisa ia hindari.

"Putra! kakiku sakit... Aduh... sakit sekali." Erang Sakti memanggil temannya, tapi ada hal aneh lainnya terjadi.

"Putra? Putra? Kok...." Sakti tersadar karena tidak melihat sosok siapapun selain dirinya sendiri, Putra teman barunya tiba-tiba saja menghilang entah kemana.

"Putra? Kamu dimana..?"

"Aduh kakiku... sakit sekali..." Ucap Sakti yang berusaha untuk beranjak dari jatuhnya, namun percuma saja karena rasa sakit yang tak bisa ia hindari.

Tiupan angin yang dingin dan melewati tengkuk dan telinganya, kembali ia rasakan. Membuat buku kuduknya berdiri, dan samar-samar Sakti mendengar ada seseorang yang sedang memanggilnya.

"Saktiii... Saaaakkktiii..." Suara lirih yang menyeramkan itu terdengar jauh, tapi kenapa mampu membuat Sakti bergidik seram.

"Putra!!! Putra!!! Kamu dimana? Ayo kita kembali saja, jangan lewat jalan ini." Panggil Sakti kesegala arah. Dan pandangannya segera saja menyorot pada jalan setapak dihadapannya.

"Si..siapa itu?" Ucap Sakti takut, ketika ada sosok gelap yang terlihat tak jelas, dan berada diantara jalan setapak tersebut.

"Putra itu kamu?" Tanya Sakti. Tapi sebenarnya dalam hatinya ia merasakan takut, dan yakin kalau sosok tersebut bukanlah Putra.

Tidak ada hal apapun yang bisa Sakti lihat, selain sosok gelap seperti sedang membungkuk dan berjalan dengan langkah yang goyah. Seperti bentuk kepala entah bukan atau tidak, tapi bergerak kesegala arah dan tiba-tiba saja bentuk kepala itu seakan-akan sedang menegakkan wajahnya, dan menatap lurus pada Sakti yang masih berada di atas tanah merah.

"Si...siapa kamu!" Ucap Sakti terbata-bata, dan segera saja ia menyeret paksa tubuhnya agar bisa merangkak mundur. "Putra!!! Kamu ada dimana?!" Panggil Sakti lebih lantang.

Tapi sosok gelap tersebut mulai keluar dari jalan setapak yang gelap. Barulah Sakti sadar, bahwa yang ia lihat adalah sosok yang mengerikan. Rambut hitam yang berantakan, dengan wajah yang hampir seutuhnya gelap dan tak berbentuk. Yang terlihat hanya dua pasang mata berwarna merah, dengan bentuknya yang tak wajar.

"To...long..." Ucap Sakti, tapi anehnya tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Semuanya hanya tertahan pada batang tenggorokannya, apa karena rasa takut yang sedang ia alami. Membuat Sakti tidak berdaya, dan lemah?

Sosok menyeramkan itu berjalan dengan membungkuk, hanya kepalanya saja yang ia tegakkan. Langkah kakinya yang terseok-seok, menimbulkan bunyi "krekkk" yang menyeramkan.

"Siapapun tolong aku." Ucap Sakti berusaha untuk berteriak kembali, tapi percuma saja. Karena tidak ada satu patah katapun yang berhasil keluar dari mulutnya.

krekkk... krekkk... krekkk....

krekkk... krekkk... krekkk....

krekkk... krekkk... krekkk....

Saaaakkktiii... Saaaakkktiii.... Saaaakkktiii...

Sosok menyeramkan itu lebih membungkukkan tubuhnya, dan hampir bersentuhan dengan tanah. Tapi tetap saja kepalanya ia tegakkan dan dua mata merah itu semakin menyala dengan terang. Sosok itu berjalan, layaknya seekor laba-laba dan terus saja mendekati ke arah Sakti, yang terus berusaha memundurkan tubuhnya secepat mungkin.

Sakti tak sanggup melihat kearah sosok yang menyeramkan tersebut. Ia memutuskan untuk memejamkan matanya, dan terus merangkak mundur. Ketakutan teramat besar sudah ia rasakan. Dan suara "krekkk" tersebut, lama kelamaan semakin terdengar jelas ditelinganya.

krekkk... krekkk... krekkk....

krekkk... krekkk... krekkk....

krekkk... krekkk... krekkk....

Saaaakkktiii... Saaaakkktiii.... Saaaakkktiii...

"Tolong...! Bunda... Tolong Sakti!! Eyang...!!! Tolong...!!! Siapapun tolong Sakti..!" Batin Sakti yang sedang ketakutan..