webnovel

Tanda Tanya

Di rumahnya masing-masing. Zoe, Hanna, dan Dori berharap-harap cemas sambil menunggu kabar dari Soa. Mereka bahkan sampai melakukan panggilan video bertiga untuk membahas persoalan tentang gadis itu.

“Aku harap dia bisa segera memberi kita kabar setelah berbicara dengan ayahnya,” ungkap Zoe. Lalu perlahan menghirup secangkir kopi di tangannya.

Hanna yang duduk di meja belajarnya mengangguk setuju. “Aku harap juga begitu. Dia sudah sangat membuatku gelisah sejak kemarin.”

Dori yang melakukan perbincangan di kursi taman belakang tertarik menyelipkan sebuah tanya. “Menurut kalian, apa yang akan Paman Felix lakukan?”

“Apa lagi yang bisa dia lakukan selain menerima kenyataan,” jawab Zoe cepat. “Dia sudah membuat perjanjian mengerikan, ia harus melepaskan anaknya. Lagi pula memang dia ingin melepas seorang anak sebelumnya, bukan?”

Hanna menyambung, “Ya. Tetapi dia pasti tidak pernah menyangka, kalau pada akhirnya anak yang paling dekat dengannyalah yang akan menjadi korban.”

“Kau benar. Pasti ini sangat berat untuk Paman Felix, kita semua tahu Paman paling dekat dengan Soa,” Zoe terasa sangat memahami.

Sejenak kemudian, tiba-tiba saja Zoe teringat akan sesuatu. “Oh iya, Dori. Kau belum menceritakan semuanya kepadaku bagaimana Soa bisa tahu kalau ayahnya terlibat dalam perjanjian seperti itu?”

Dori mendelik bingung. “Bukankah aku sudah bilang padamu, kalau Soa menemukan surat perjanjian adopsi Ken dan ada nama lengkap suami bibi Molly di sana?”

“Hah?! Jadi hanya berdasarkan hal itu?”

Dori dan Hanna sama-sama memberi raut muka terheran-heran. “Apa maksudmu?” tambah Dori.

“Bukankah hal itu tidak cukup membuktikan kalau ayahnya terlibat perjanjian setan?”

Dori dan Hanna terkejut oleh perkataan Zoe.

“Jika kau berurusan dengan keluarga Jorell. Itu tidak berarti kau akan bersekutu dengannya, bukan?”

Dori memegang dagunya sambil sibuk mengingat-ingat lagi atas apa yang dikatakan Soa kepadanya. “Hm... benar juga. Aku sama sekali tidak menyadarinya selama ini. Dari mana Soa bisa tahu begitu banyak hal tentang ayahnya sementara ia baru menemukan surat perjanjian itu di malam yang sama.”

“Apa!” Zoe dan Hanna begitu kompak terkejut.

“Lalu bagaimana dia bisa tahu begitu detail? Bahkan aku dan Zoe sendiri baru tahu kalau mereka bisa saja membesarkan seorang anak laki-laki untuk kelak dijadikan tumbal,” Hanna semakin penasaran.

“Hanna benar,” sahut Zoe. “Ini sungguh aneh. Dia terlihat lebih mengusai informasi dari pada kita. Padahal saat di kafe kita bertemu, Soa terlihat tak banyak tahu soal ritual keluarga Jorell. Jika modalnya hanya surat perjanjian adopsi, bagaimana mungkin hanya dalam semalam dia bisa langsung tahu banyak kalau ayahnya terlibat perjanjian... ah! Aku tak ingin ada telinga lain yang mendengar.”

Dori menerka, “Atau jangan-jangan ini hanya dugaannya saja?”

“Itu lebih mustahil, Dori,” bantah Zoe. “Soa sudah mendatangi bibi Molly dan bilang bahwa ia siap menggantikan Ken dengan dirinya sendiri. Tidak mungkin aku dan Soa bisa membawa Ken pulang kalau itu hanya dugaan Soa saja. Wanita itu juga sudah setuju, maka itu berarti dia pun mengakuinya.”

Hanna tak kalah berpikir dalam. “Kasus ini tidak bisa diteliti hanya dengan mata dan telinga biasa, terlebih hanya dalam waktu satu malam. Apa mungkin Soa punya teman indigo di luar sepengetahuan kita yang bisa tahu banyak tentang hal itu?”

“Ah ya! Bisa jadi. Barangkali Soa punya teman indigo seperti dirimu, Zoe.”

Zoe menimbang-nimbang pendapat itu. “Hem ... ini sulit diterima. Teman indigoku bilang, keluarga itu tak mudah ditembus pandang. Kekuatan yang menyelimuti mereka terlalu besar. Dan aku juga tidak pernah mendengar kalau Soa berkenalan dengan orang yang mampu melihat hal-hal gaib. Kau tahu kan, Soa bukan tipe orang yang tertarik dengan hal-hal mistis, dia sangat mengandalkan logikanya.”

Hanna dan Dori menyetujui pendapat itu. Mereka pun terjebak sunyi. Tenggelam dalam pencarian masing-masing di alam pikiran mereka.

“Oh iya.” Ujaran Dori yang tiba-tiba membuat Zoe dan Hanna bangun dari lamunan dan menatap penasaran. “Ada yang aneh soal pagi itu.”

“Pagi itu?” tanya Hanna.

“Ya. Masih sangat pagi. Bahkan matahari pun belum terbit. Kalian tahu, bukan? Aku sangat sensitif terhadap suara. Saat kulihat Soa tak ada di sampingku, aku berniat mengeceknya keluar. Akan tetapi anehnya, samar-samar aku mendengar Soa berbicara dengan seseorang. Lalu saat aku mengintip dari pintu kamarku...” Dori menghentikan ucapannya.

“Ada apa?” tanya Hanna lagi.

“Aku melihat dia hanya seorang diri dan sedang duduk menangis.”

Hanna mendadak takut dengan cerita Dori. “Ah! Kenapa ceritamu jadi tidak masuk akal begini! Terlalu cepat kalau Soa menjadi tidak waras hanya dalam waktu semalam!” sergahnya.

“Aku tidak merasa kewarasannya hilang. Tetapi aku juga tidak tahu apa yang menjadi sebab dia berbicara sendiri.”

“Barangkali itu asisten rumah tanggamu?!” Hanna mengajak berpikiran logis.

“Itu sekitar hampir setengah lima pagi. Seisi rumahku sedang asyik dengan mimpinya. Sekarang kau pikir apa mereka tahu tentang masalah ini? Sementara Soa terdengar sedang menyebut-nyebut nama Ken.”

“Benarkah? Kau mendengar sejelas itu?” Zoe yang penasaran terlihat lebih tenang dari pada Hanna.

“Seperti tadi kubilang, aku hanya samar-samar mendengarnya, dan aku juga tidak tahu sejak kapan dia sudah berada di luar.”

Hanna masih belum bisa menerima pengakuan Dori. “Oh, atau mungkin dia mendapat telepon dari temannya?”

“Oh ya? Aku tak melihatnya memegang handphone,” jawab Dori santai.

“Mungkin yang kau dengar sebelumnya suara televisi?”

“Apa kau lihat di depan pintu kamarku ada televisi? Dan bagaimana mungkin pembahasan mengenai Ken diputar di televisi, Hanna?”

“Atau dia sedang menceritakan perasaannya pada Bibo?”

“Bibo sedang tertidur di kamarku.”

Hanna menyerah, semakin ia menduga semakin terkaan itu terdengar tak berguna. Raut mukanya menunjukkan ketakutan yang dalam.

“Ada apa denganmu? Apa kau takut?” Dori mulai iseng meledeknya. Terselip tawa puas dari gadis itu. “Sudah lama sekali aku tidak melihat ekspresi takutmu, Hanna. Ekspresi itu betul-betul menghiburku,” ejeknya sambil terbahak-bahak lagi.

Wajah Hanna jadi berubah jengkel karena ucapan Dori.

Zoe mendesah dalam-dalam, ia ingin kembali fokus pada inti obrolan mereka. “Hei, Dori. Sekarang kau tahu kan, betapa lucunya wajahmu saat kau ketakutan.”

Spontan saja tawa Dori langsung terhenti. Ucapan Zoe langsung menyerangnya. Membuat Hanna ganti menertawakan balik.

“Sudahlah... kembali kita membahas hal ini dengan serius,” pinta Zoe dengan dahi mengerut. “Lalu menurut kalian, dengan siapa Soa berbicara saat itu?” lanjutnya kembali memasang muka tegang.

Dori hanyut berpikir seraya menopang dagu. Hanna mengetuk-ngetuk pulpen di tangannya sambil mencari dugaan yang paling besar peluang kebenarannya.

“Ah! Atau mungkin...” Zoe tiba-tiba berseru. Lirikan matanya begitu menyiratkan sesuatu. Ia buat Hanna dan Dori terpancing balik melirik penasaran ke arahnya.

“Mungkin apa?” Dori tak sabar.

“Mungkin... dia punya teman dari dunia lain?”

“Dunia–lain?” Dori mulai tersendat berkata. “Maksud–mu?”

“Seorang teman yang tak terlihat.”

Hanna menimpali, “Ya. Sebetulnya itulah yang sejak tadi terpikirkan olehku, Zoe.”

Seketika Dori tak berkeinginan lagi untuk melanjutkan perbincangan itu.