webnovel

Sapaan Malaikat

Hari sudah memasuki sore, tidak jauh dari restoran ada sebuah taman yang biasa Soa kunjungi, sebut saja Taman Kota Melvin. Gadis itu sengaja meninggalkan tugasnya yang telah berkurang untuk mencari udara segar, ia terduduk di kursi taman seorang diri. Pikirannya melambung tinggi, terngiang-ngiang racauan Gensi yang sulit untuk ia tepis. mencari-cari jawaban atas pertanyaan dalam kepalanya.

Apa yang harus ia katakan kepada Ken? Sebetulnya ia masih ingin ada di pihak adik kecilnya, tetapi keadaan mengharuskannya memilih sepihak dengan orang tua dan kakaknya. Dan separuh hatinya masih memiliki harapan, agar bisa menemukan cara lain yang membuat mereka tidak harus berpisah sekaligus bisa melunasi semua hutang.

“Uang, seharusnya aku punya banyak uang,” begitu keluhnya seorang diri.

Soa tidak ingin kehilangan Ken, tetapi ia juga mengakui jika Ken berada bersamanya adalah sebuah kepastian bahwa anak itu akan mengalami banyak kesulitan. Tentu saja akan jauh berbeda jika Ken bersama dengan orang tua asuhnya. Alasan dari ayahnya memang menjadi hal yang masuk akal.

Terbayang wajah lugu Ken dengan tatapan bola matanya yang bulat. Soa masih ingat betul bagaimana sebuah senyum merekah dari bibir mungil adiknya yang mendengar harapan baru bahwa ia tidak harus pergi. Soa dihanyut rasa bersalah, wajahnya tertunduk lemah memeluk penyesalan, tak terasa air matanya menitik, batinnya lantas merintih sendu. “Andai aku mampu, Ken.”

Seketika pusaran angin lembut berbondong menerpa wajah Soa. Angin itu begitu hangat, menarik-narik tiap helai rambut Soa yang sebahu hingga terlihat indah bagai liukkan sebuah tarian. Terasa janggal memang di hari yang mulai mendekati musim dingin.

“Ketemu!” sebuah suara lembut tiba-tiba terdengar di telinga Soa. Soa mengangkat kepalanya spontan mencari asal suara itu. Sekejap ia dibuat kaget, ketika mendapati seorang siswi sekolah menengah atas telah berdiri sekitar tiga meter di depannya. Ia terlihat jelas sedang tersenyum ke arah Soa. Namun Soa yang tak yakin langsung celingukan hingga menengok ke belakang, menerka bahwa barang kali siswi itu sedang berbicara dengan orang lain.

“Aku?” tanya Soa kebingungan, setelah tak ada seorang pun yang ia temukan di dekatnya. Siswi itu mengangguk, lalu melangkah semakin mendekati Soa.

“Maaf, aku agak terlambat satu bulan. Ada kendala proses administrasi di langit ke lima, jadi aku baru bisa datang sekarang,” begitu ucapnya tiba-tiba. Rautnya terlihat sangat menyesal, namun tidak merasa bahwa ungkapannya terdengar tidak lazim.

“Hah, langit? Kau turun dari langit?” Soa terheran-heran.

Murid perempuan itu mengangguk lagi. Segera Soa menghadap muka ke atas, ia periksa langit yang jauh di atas kepalanya. Tak lama kemudian dahinya langsung mengerut, benak kepalanya berujar spontan, “Semua masih terlihat normal. Tapi kenapa gadis ini tidak normal?“

“Beraninya kau berkata begitu!” Soa terperanjat hingga menganga. Batinnya mendadak dicamuk ketakutan dan bingung, bagaimana mungkin orang lain bisa tahu komentar tersembunyi dari pikirannya?

“Kau – bi ... bisa membaca pikiranku?” tanya Soa gelagapan.

“Bahkan lebih dari itu,” jawab siswi itu enteng.

Soa perhatikan lagi perempuan di depannya, penuh ketelitian dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu balik lagi ke ujung kepala. “Si - siapa kau?” tanyanya masih agak gugup. “Aku tidak mengenalmu. Seragam sekolah yang kau pakai itu, aku tidak pernah melihatnya, kau tentu bukan adik kelasku.”

“Andel,” jawabnya langsung. “Itu namaku. Aku adalah malaikat yang akan mendampingimu untuk menebus hukuman dari hasil pengadilan akhir di kehidupan pertamamu.”

Soa merasa kesulitan menelan ludahnya sendiri, jalur tenggorokannya seperti dicekik tali kawat. Ia semakin kebingungan tak mengerti. “Kenapa taman ini mempertemukanku dengan orang aneh lagi? Waktu itu si pemuda tampan mengaku dewa, lalu sekarang ada anak sekolah mengenakan tas punggung mengaku sebagai malaikat. Apakah keputusan presiden untuk menaikkan harga bahan bakar minyak membuat penderita penyakit jiwa bertambah?”

Andel semakin kesal. “Lagi-lagi kau anggap aku gila!” bentaknya membuat Soa tersentak.

Soa mulai merasa pening seraya memegang kuat kepalanya. “Astaga! Kau sungguh-sungguh bisa membaca pikiranku, sementara aku tidak bisa mengendalikan pikiranku.”

“Begitulah. Bahkan aku tahu seperti apa kebimbanganmu sekarang.” Andel terkesan penuh percaya diri.

Ketakutan Soa mulai memudar, ia jadi tertarik untuk mengetesnya. “Mana mungkin, pasti kau hanya bergurau.”

Andel menyilangkan kedua tangan. “Aku tahu, orang tuamu memutuskan memberikan hak asuh adik bungsumu kepada orang lain sebab hutang dan keterbatasan ekonomi. Kau sendiri sedang kebingungan karena adikmu tidak ingin pergi, kakakmu menentangmu untuk menghalangi rencana mereka, bahkan kau dibuatnya ragu karena kemampuanmu juga alasan ayahmu. Dan kau berpikir andai kau punya banyak uang maka kau bisa mengubah segalanya.”

Soa melongo. “Wah ... kau paranormal yang hebat,” pujinya penuh takjub.

Andel meringis. “Aku bukan paranormal, aku malaikat!” tampaknya ia masih perlu usaha keras untuk meyakinkan Soa. “Jadi jangan coba-coba mengetes malaikat lagi,” lanjutnya dengan muka serius.

Soa menunduk malu. “Jadi itu juga kau tahu,” ucapnya lirih.

“Sudah kubilang lebih dari itu.”

Seketika Soa memahami satu hal. “Oh, berarti-“

“Tidak!”

“Aku belum bilang apa-apa.”

“Aku sudah tahu kau akan meminta uang padaku.”

“Tolonglah adikku.”

“Aku datang bukan untuk memberi manusia kekayaan. Jangan memperalat malaikat seperti itu, apa pun yang menjadi sarana kebutuhan hidupmu harus kau usahakan sendiri. Aku hanya akan membimbingmu untuk bisa mampu menebus semua kesalahanmu di kehidupan pertama.”

Soa menghela nafasnya dan menganggap semua yang diucapkan Andel hanyalah omong kosong. Ia lantas bangkit berdiri dan bergegas pergi tanpa permisi. “Hei, kau mau ke mana?”

“Bukankah kau sudah tahu dari pikiranku,” Soa menjawab sambil terus berlalu.

“Kau masih tidak percaya?” Andel tak segan mengikutinya pergi.

Soa tak ingin menyembunyikan apa-apa, merasa percuma juga kalau ia bersikap manis namun hanya kepalsuan. “Tentu saja. Aku tidak percaya dengan keberadaan malaikat,” jawabnya frontal.

Akan tetapi belum sempat Soa semakin jauh, mendadak kakinya terasa berat untuk melangkah, semakin lama semakin sulit untuk diangkat.

“Hah, kenapa kakiku?” Soa panik. Merasa curiga kepada makhluk yang ditemuinya. Ia langsung menengok ke belakang, dilihatnya siswi yang mengaku malaikat itu sedang cekikikan sendiri. “Apa kau yang melakukannya?” tanyanya tak menyangka, ketakutan sebelumnya kembali muncul.

Andel menghampiri Soa dan berdiri lagi di depannya. “Kau tidak bisa menghindar dariku,” tegasnya. “Aku betul-betul ada.”

“Ini sihir?”

Andel menggeleng kuat. “Sihir digunakan untuk menindas orang lain.”

“Tapi baru saja kau berbuat sewenang-wenang terhadap aku yang lemah.”

“Astaga! Aku tidak bermaksud menyakitimu,” Sang malaikat langsung menjentikkan jarinya. Dalam sekejap, magnet yang menarik kaki Soa lenyap, kedua kakinya kembali terasa ringan. “Ampuni aku Tuhan, aku tidak berniat menyakiti manusia skeptis ini,” ucapnya memohon seraya memejamkan mata.