webnovel

Psikiater

Dengan santai Soa menyandarkan badannya sambil menyilangkan tangan. Ia beri sorot mata menilai kepada Gensi, “Kau seperti api yang disiram bensin. Bersikap lembut penuh perhatian tidak pantas dengan sisi apimu itu.”

Gensi semakin kesal. “Dan kau adik yang selalu memancing amarah kakaknya! Kau tidak pantas mendapat perhatian dari orang-orang di sekitarmu!”

“Aku tidak pernah meminta.”

“Dasar menyebalkan!” Gensi bangkit berdiri. Namun Edzard tiba-tiba muncul dan menengahi mereka berdua. Meski ia tidak paham betul persoalannya, tapi suara tinggi Gensi sudah menjelaskan bahwa ada keadaan buruk yang terjadi di antara dua kakak beradik itu.

“Apa kalian tidak sadar menjadi pusat perhatian?!” ucapnya cemas. Mendengar hal itu Gensi lalu melirik ke sekitarnya. Edzard benar, pengunjung restoran di lantai atas sedang memperhatikan mereka.

“Istrimu sangat suka menjadi tontonan,” celetuk Soa tetap santai.

Gensi berusaha menekan emosinya. Sementara Edzard berusaha menenangkan Gensi sambil merangkulnya, tidak ingin istrinya melompat ke atas meja lalu dengan gusar menjambak rambut Soa. “Bersabarlah, setidaknya sampai restoran ini tutup,” bisik Edzard semampu yang ia bisa agar istrinya tidak mengamuk.

Gensi lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya, lalu dilemparnya benda itu ke hadapan Soa. “Tadinya aku ingin memberikan itu baik-baik kepadamu, tetapi seperti biasa, kau selalu ingin mengajakku bergulat.”

Soa mengambil benda kecil itu. Sebuah kartu nama yang membuatnya merasa aneh sekaligus terkejut. “Untuk apa kau memberiku kartu nama psikiater?” tanyanya bingung.

“Untuk menyembuhkan penyakit jiwamu!” ketus Gensi, lalu bergegas pergi membawa amarahnya dan meninggalkan Soa yang langsung bangkit berdiri karena kesal disebut begitu.

“Apa maksudnya?!” tanya Soa berang. Tatapannya tajam mengarah kepada Edzard yang ia tahu memahami arti dibalik tindakan kakaknya itu. Namun Edzard masih diam, bertingkah seperti orang linglung. “Hei kacamata, jawab aku!” tuntut Soa lagi.

Edzard menggaruk-garuk kepalanya dengan keras, akhirnya ia tak dapat menahan diri. “Akh! Ini semua gara-gara kau sering terlihat berbicara sendiri. Kakakmu mengkhawatirkan keadaanmu!” Soa tertegun dengan pengakuan Edzard. Ia sama sekali tak paham dengan pengakuan itu.

“Aku tidak pernah berbicara sendiri!” tepis Soa, masih belum menemukan jawaban.

“Orang sakit bisa saja tidak sadar kalau dia sedang sakit,” balas Edzard.

“Aku tidak sakit!” Soa masih tidak terima.

“Lalu bagaimana dengan yang kulihat?! Aku melihatmu berbicara sendirian di seberang restoran sebelum kau terjatuh tempo lalu. Bahkan bukan cuma itu, aku juga pernah melihatmu berbicara seorang diri ketika kau menghabiskan waktu istirahat di Convenience Store,” tutur Edzard yakin.

Seketika Soa langsung terperenyak di atas kursi dengan bayangan-bayangan lama yang melintas memasuki alam pikirannya. Ia baru ingat sekarang, pasti itu karena kehadiran Arandra yang tak bisa mereka lihat.

Dirinya jadi paham, pantas saja orang-orang saat itu memperhatikannya dengan tatapan aneh, karena memang ia sedang terlihat gila berbicara sendiri. Dalam sekejap menyusup rasa malu di hati Soa, batinnya gelisah karna orang-orang kini telah menganggapnya tidak waras. Entah bagaimana cara ia membetulkan penilaian mereka kepadanya.

“Sebaiknya kau pertimbangkan usulan kakakmu. Aku bahkan terkejut ketika tahu ia mengubah pikirannya dari cuek menjadi peduli. Hampir dua bulan dia mencari informasi tentang psikiater yang bagus. Kau tidak seharusnya langsung menolak perhatian dia mentah-mentah,” Edzard menambahkan perkataannya. Lantas tanpa pamit langsung memutuskan pergi menjauhi Soa yang masih memekur dalam lamunannya.

***

Edzard telah menyusul Gensi di ruang kerja mereka. Ia dapati istrinya sedang berdiri mematung di tepi jendela. Dari pantulan kaca terlihat Gensi penuh keseriusan sambil menyilangkan tangan dengan mata memantau ke lantai satu restoran.

Termenung Edzard di belakangnya, menduga bahwa keseriusan mengawasi restoran yang di dapati dari istrinya tidak sejalan dengan isi hati wanita itu yang sedang gusar. Dengan tenang Edzard berjalan mendekati. “Kau mau kopi?” tawarnya kemudian.

Gensi yang menyadari kehadiran suaminya menggeleng pelan. “Aku tidak ingin apa pun,” jawabnya singkat.

Edzard menghela nafasnya dalam-dalam. “Kau tidak perlu memikirkan sikap Soa, bukankah dia memang selalu seperti itu,” ucapnya berusaha menenangkan.

Tidak setuju dengan prasangka suaminya, Gensi bersikap seolah tak peduli. “Jangan kau kira aku memikirkannya, itu hanya membuang-buang waktu,” tepisnya kuat.

Siapa yang tidak akan mengira begitu, Gensi langsung tampak buruk setelah berbicara dengan Soa. Edzard yang tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya hanya bisa terdiam dan berniat memberi waktu agar Gensi bisa kembali berpikir jernih. “Aku akan memeriksa bagian dapur, kau pantau saja dari sini,” tutupnya sebelum pergi.

Namun belum sempat kakinya melangkah keluar ruangan, Soa hadir menjumpai ia dan Gensi. Pria berkaca mata itu mendadak dibuat cemas lagi. Matanya menatap Soa penuh tanya. “Aku ... ingin mengembalikan kartu nama ini,” ucap Soa terdengar berat, memahami arti tersirat tatapan kakak iparnya.

Tentu saja, Soa yakin kalau Gensi juga jelas mendengarnya. Melihat Gensi yang tak ingin berbalik badan untuk menyambutnya, gadis itu jadi terpancing kesal. Ia lalu mencoba mendekati wanita itu. Lalu terlontar pertanyaan yang kurang nyaman terdengar, dari bibirnya. “Apakah aku juga harus berterima kasih padamu?”

Mendengar pertanyaan Soa, Edzard langsung mendesah merasakan pening. Ia terka, pertengkaran akan kembali dimulai. Mau menjadi penengah untuk mereka ia sudah terlalu lelah. Mau ditinggalkan adik kakak itu bicara berdua, bisa-bisa ruangan akan berubah seperti kapal pecah. Ia merasa pekerjaannya bertambah berat.

Gensi lantas membalikkan badannya. Tangannya masih bersilang, gaya berdirinya pun terkesan angkuh. Ditatapnya Soa dengan sorot mata yang tidak asing, tajam menunjukkan ke tidak sukaan. “Aku tidak ingin mendengar omong kosong,” ucap Gensi menjatuhkan. Edzard yang ada di belakang Soa semakin terlihat penat cuma bisa meremas rambutnya sendiri.

“Jadi kau hanya ingin mendengar perkataan yang berisi?” Soa bertanya tersirat menantang. Ia terlihat tenang, namun diam-diam menyimpan amunisi untuk kapan pun dapat menyerang kakaknya.

Gensi ikut menguasai diri, ia tidak ingin mengamuk buta menghadapi Soa. “Tentu, aku tidak ingin waktuku terbuang percuma. Sebaiknya kau pergi jika tidak memiliki ucapan berisi.”

Soa mengangkat alisnya. “Siapa bilang aku tidak punya?” terukir senyum sinis dari bibirnya.

Peluru di rasakan Gensi akan siap menembus jantungnya. Tetapi sebelum hal itu terjadi, ternyata ia lebih dulu ingin memegang kendali, menyerang dengan suara tinggi. “Katakan apa yang ingin kau katakan! Jangan buang waktuku!” Soa langsung melempar kartu nama itu kepada Gensi.

“Aku tidak gila!” balas Soa ikut membentak.

“Bertemu psikiater bukan berarti kau gila!”

“Tapi matamu berkata begitu!”

“Maaf, ternyata aku masih tidak pandai berbohong!”

“Jangan pedulikan aku!”

“Siapa bilang aku peduli?! Aku hanya sedang mengasihanimu!”

“Tidak perlu!”

“Sayangnya kau terlihat perlu bantuan!”

Di antara mereka, tentulah Edzard yang merasa paling tersiksa. Ia ingin lari ke tengah gunung di mana alam membiarkannya sendiri memeluk kesunyian dari pada kebisingan dua perempuan yang memekakkan telinga. Pikirannya melayang tak berakal, haruskah ia menyiapkan dua kandang besar untuk mengunci mereka di dalamnya secara terpisah. Lalu dia akan mengirim dua kandang berisi manusia berisik itu ke tempat berbeda, yang satu di hutan belantara dan yang satunya lagi tersimpan di dalam gua. Mereka tidak akan bertikai untuk waktu yang lama, membuat bumi kembali tenang dan lahan yang kerontang kembali hijau.

“Atau dari pada aku berpikir hal yang tak mungkin terjadi, mungkin lebih baik aku menipu diriku sendiri,” gumam batin Edzard. Ia pun akhirnya berpikir begitu keras. “Haruskan aku menganggap racau mereka sebagai ... nyanyian bayi monyet?” ia mengusap-usap janggutnya. “Hmm, tapi aku belum pernah mendengar monyet bernyanyi.”