webnovel

Para Tamu Undangan

Daiva yang mendengarnya langsung tertawa. “Kau benar, istriku memang wanita berselera tinggi,” katanya begitu bangga. Molly terlihat tersipu dengan semua sanjungan itu.

“Kapan pun kau membutuhkannya, kau bisa meminta gaun lagi pada Teddy, Soa.” Tanpa disangka Molly langsung memberikan fasilitas itu. Gensi yang mendengarnya merasa tergiur, takjub dengan apa yang diterima Soa.

Soa tersenyum tipis seraya menggeleng. “Aku tidak akan membutuhkannya lagi.” Penolakan gadis itu mengejutkan setiap pihak. “Aku tidak pernah memiliki acara yang membutuhkan gaun kalau bukan Bibi yang mengundang, dan ternyata gaun ini sangat merepotkan,” ceplosnya.

Wajah Molly dan Daiva agak berubah, mereka seperti tidak senang dengan penolakan Soa. Felix melempar pandangan pada Karen, merasa tidak enak hati atas sikap putrinya. Secepat kilat pikiran Felix mulai mencari cara untuk kembali mencairkan suasana. “Ah dasar anak ini! Kau harus melepaskan ketomboianmu dan bersikaplah lebih feminin. Bagaimana kau akan menjadi istri nantinya jika karaktermu lebih cocok sebagai suami.” Ucapan Felix berhasil memecahkan tawa di antara mereka, kecuali Soa tentunya, juga Ken yang sejak awal tak tertarik dengan pembicaraan itu dan ternyata mulai nyaman memperhatikan sekelilingnya.

“Semua seperti catur hitam putih,” Ken berkata seorang diri.

Soa begitu terkejut dengan celoteh ayahnya, untuk pertama kalinya semenjak mereka ribut besar ayahnya mau bicara dengannya, yeah! Meski dengan serangan kritikan.

“Dia mengingatkanku padamu,” sambung Daiva sambil melirik ke arah istrinya.

Molly memberi tepukan ringan di bahu sang suami. “Jangan kau buka kartuku,” tukasnya manja. Lalu lagi-lagi tawa di antara mereka terdengar.

“Jadi Bibi Molly dulunya tomboi seperti Soa?” Edzard menimpali.

Daiva melihat istrinya malu-malu. “Ya. Tetapi dia berubah menjadi wanita penuh pesona ketika aku menikahinya hingga detik ini.”

“Wah, itu sangat luar biasa. Soa harus belajar banyak dari Bibi,” ujar Edzard menunjukkan sikap antusias. Akan tetapi bukannya menimpali dengan guyonan ringan, Soa malah langsung melotot kepada kakak iparnya, membuat pria itu mulai cemas dengan nasibnya sepulang acara.

“Kami cukup terkejut dengan begitu ramainya orang-orang di sini,” Gensi mulai ikut bersuara. “Kami kira ini hanya undangan makan malam antara keluarga kita. Tetapi sepertinya tidak hanya itu, apa Paman dan Bibi akan merayakan sesuatu?”

Soa sepakat dengan pertanyaan Gensi, namun hal aneh ia rasakan setelah kakaknya itu berani bertanya. Ya, wajah ayah ibunya berubah tegang sementara Molly dan Daiva saling melirik disusul senyum kecil.

“Adik bungsuku akan bertunangan,” Molly berkenan menjawab pertanyaan Gensi.

“Oh ya. Selamat Bibi,” ujar Gensi. Edzard menyusul mengangguk-angguk paham dengan senyum lebarnya.

“Kenapa Bibi tidak mengatakannya sejak awal?” berbeda dengan Soa, ia lebih ingin menggali lebih dalam.

Senyum yang terukir dari bibir Molly penuh misteri. “Aku hanya ingin memberi kejutan untuk para tamu,” sekilas ia kembali melirik Felix dan Karen.

Dahi Soa semakin mengerut kebingungan. Ia mengedarkan padangan ke sekelilingnya. “Tamu sebanyak ini tidak ada yang tahu adik Bibi akan bertunangan? Aku baru mengalaminya ketika justru para tamulah yang mendapat kejutan. Biasanya justru merekalah yang dipersiapkan untuk memberikan kejutan.” Felix lagi-lagi merasa terganggu dengan sikap Soa yang kali ini kata-katanya terdengar kritis.

“Itu bisa terjadi Soa. Terserah yang punya acara,” Edzard memihak kepada si tuan rumah. Sementara istrinya, di hati menyimpan keanehan yang sama dengan Soa.

Bukan Molly kalau tidak bisa mengendalikan situasi, dengan ringannya ia ikut menambahkan. “Nanti kalian pasti akan suka dengan kejutanku. Terutama kau, Soa,” sorotnya.

“Aku?” Belum sempat Soa bertanya lagi, seorang pria tak asing tiba-tiba muncul menyapa ikut bergabung.

“Kenapa kau baru datang Kalevi? Kami sudah sejak tadi menunggumu,” Daiva langsung memprotesnya.

“Maaf Kak, ada urusan perusahaan yang harus aku tangani.”

Wajah Daiva berubah serius, “apa semua berjalan lancar?”

“Ya, semua berjalan sesuai dengan yang kita harapkan.”

“Itu bagus, aku percayakan semuanya padamu. Aku tidak ingin menerima satu pun laporan masalah.” Kalevi yang mendengar peringatan dari kakak iparnya hanya mengangguk menunjukkan sikap patuh.

“Sudahlah, kenapa kalian harus membahas soal pekerjaan di sini?” Molly tak rela mendengar obrolan mereka. Felix dan Karen cuma sekedar senyum-senyum memaklumi. “Ini kan hari penting untuk Levi. Jangan kita ganggu suasana hatinya, sayang.”

Gensi dan Edzard saling memandang, ada tanda tanya yang muncul di kepala mereka setelah mendengar ucapan terakhir Molly. “Apa adik bungsu yang Bibi maksud akan bertunangan adalah Tuan Kalevi?” tanya Edzard.

“Ya, Edzard. Ini hari pertunangan adikku Kalevi.”

“Wah, berarti kami harus dua kali memberikan selamat.”

“Dua kali?”

“Betul, Bibi. Sore tadi kami mendapat kabar Tuan Kalevi mendapat penghargaan sebagai pengusaha terbaik di Denzel. Tuan Kalevi terlihat sangat luar biasa di depan kamera. Sekarang kami mendapat kabar kalau hari ini adalah hari pertunangannya, adik Bibi betul-betul pria beruntung,"

“Ah, kau ini bisa saja,” Molly tersenyum bangga mendengar celoteh Edzard.

Kedatangan Kalevi mampu menarik perhatian Soa. Kali ini ia punya kesempatan lebih besar untuk mengamati pria itu jauh lebih saksama. Berbeda saat pertama kali mereka bertemu, situasi hatinya sedang kacau dan sama sekali enggan menerima kehadirannya.

Tampilan Kalevi terlihat begitu elegan, tegap gagah dengan setelan jas berwarna merah tua bergaris strip hitam di bagian tepi jalur kancing. Tak lupa dasi kupu-kupu dan celana panjang yang juga berwarna hitam di serasikan dengan atasan. Tingginya melebihi Edzard sekitar 180 cm, rambutnya hitam dan kulitnya terang. Penampilannya memang sangat menarik, ditopang dengan wajah elok miliknya. Tidak lupa prestasi yang diraih Kalevi. Soa yakin, meski usia pria itu jauh di atasnya, akan tetapi sebagai pria dewasa ia tetap memikat bagi banyak wanita yang sebaya dengannya. Akan tetapi disisi lain Soa juga merasa muak, latar belakang keluarga Kalevi dan pembawaan diri yang angkuh baginya sudah melumat habis semua elemen pesona itu. Soa jadi penasaran seperti apa wanita yang mau mendampingi pria di depannya, wanita yang tahan banting menghadapi sosok sombong dan penuh kuasa.

Tanpa Soa sangka Kalevi pun ikut melirik ke arahnya, namun tatapan itu sama sekali tidak membuat Soa nyaman. Sorotnya tajam, dan tersungging tipis senyum menyiratkan sesuatu. Buru-buru Soa membuang muka, tidak betah berlama-lama menghadapinya.

“Selamat Tuan, ini berita baik,” sambung Edzard sambil mengulurkan tangannya. Sayangnya perilaku hangat itu tak terbalas. Kalevi hanya menjawab singkat dengan ucapan terima kasih, tanpa berkenan balik mengulurkan tangannya menyambut jabat tangan Edzard. Membuat suami Gensi jadi salah tingkah sendiri. “Kudoakan kau dan tunanganmu bahagia,” ucap Edzard sadar diri dan dengan cepat menarik uluran tangannya kembali.

Soa merasa gerah dengan sikap sombong Kalevi. Rasanya ia ingin sekali menyentil jidat pria itu dan berkata, “bersikaplah lebih sopan pada orang lain!” Tentu saja itu mustahil ia lakukan, karena ia tahu pada akhirnya dirinya sendiri yang akan terkena masalah. Akan tetapi perasaan itu bukan berarti ia membela Edzard sepenuhnya, ingin rasanya ia juga berteriak di telinga Edzard dan mengatakan, “TIDAK PERLU SOK AKRAB PADA PRIA ITU! KAU TERLIHAT SANGAT MENCOLOK SEDANG CARI MUKA!”

“Kau sudah bertemu Soa sebelumnya, bukan?” Molly membicarakan hal lain tertuju pada Kalevi.

“Ya, kami pernah bertemu di restoran,” sahut Kalevi sambil melihat ke arah Soa.