webnovel

Lingkaran Setan

Gensi menghela nafasnya, berusaha untuk tetap sabar. “Inilah sebabnya kenapa aku marah-marah, kau selalu bersikap tak acuh. Kau hanya sekedar tahu kalau bibi Molly akan membebaskan hutang Ayah jika diizinkan mengasuh Ken. Lalu dengan gagah berani kau menjanjikan pada anak itu akan mencegahnya,” Dahi Soa mengerut, belum paham dengan maksud kakaknya.

Gensi kemudian menarik kursi, lalu duduk tepat di depan Soa. “Sebenarnya bibi Molly sudah dua kali memberi tempo tambahan, dan memberi tempo bukan berarti menghentikan suku bunga.” Soa lagi-lagi dibuat terperanjat oleh ucapan Gensi. “Jika saat kau datang dia setuju memberi waktu lagi, kita hanya akan berputar pada masalah yang sama, Soa. Bekerja mengandalkan restoran hanya untuk melunasi hutang serta bunganya yang terus menggulung. Entah berapa lama lagi kita bisa bertahan? Sementara kau tahu sendiri berapa keuntungan restoran yang bisa kita dapatkan belakangan ini.

“Jika tempo lagi-lagi habis dan uang yang dikumpulkan belum juga cukup untuk melunasi, pada akhirnya bisa saja kita tetap harus membayar dengan restoran dan rumah kita, dan terlambatnya! Nilai kedua harta itu sudah tidak cukup untuk menutupi, karena bunganya sudah terlanjur menggunung. Kita semakin jatuh ke dasar jurang, kehilangan restoran, rumah, lalu harus tidur di jalan.”

“Tidur di jalan?!”

“Ya. Itu bisa saja terjadi jika kau kehilangan tempat tinggal. Lalu kita akan menjadi buruh untuk bertahan hidup sekaligus masih harus melunasi sisa tagihannya. Oh, ada satu hal lagi!”

Soa menghela nafasnya, semakin merasa mumet. “Apa lagi Gensi?”

“Sayangnya, sisa hutang itu masih juga tetap berbunga.”

“Apa! Ini gila!”

Gensi mengangguk sepakat.

Soa ikut merasa ketakutan dengan segala risiko yang diberitahukan Gensi. “Ini lingkaran setan Gensi! Kita harus menghentikannya. Kalau risiko di masa depan seperti itu, bukankah ini saat yang tepat untuk kita melepaskan restoran dan rumah tanpa harus mengorbankan Ken?” Gensi mulai menikmati antusias adiknya mencari jalan keluar. Tersembunyi keinginan di hatinya untuk menggali apa yang Soa pikirkan. “Ini memang berat,” lanjut Soa melemah. “Setelah melepaskannya kita tetap harus menjadi buruh, dan tidak punya tempat tinggal.”

“Hah? Apa kau gila? Bagaimana mungkin kau membiarkan Ayah dan Ibu untuk tidur di jalan? Atau kau diam-diam ingin rumahku menampung kalian? Tidak Soa, rumahku sudah penuh dengan dua adik Edzard dan mertuaku. Atau kau ingin meminta bantuan keluarga yang lain? Jangan berharap, Ayah sudah cukup kecewa dengan mereka. Memberi pinjaman uang saja mereka tidak mau apa lagi memberi tumpangan.”

“Bukan itu maksudku. Tetapi, melepaskan rumah dan restoran tanpa ada sisa hutang lagi, jelas itu lebih baik bukan? Kita akan memulai lagi dari nol. Kita akan berusaha mencari kerja. Untuk tempat tinggal, kau tidak perlu khawatir. Aku bisa meminta bantuan lembaga sosial Denzel, untuk sementara memberi kami tempat tinggal di penampungan tunawisma kota Melvin.”

“Wah, aku tak menyangka kau bisa berpikir sejauh itu.”

Mata Soa menyipit penuh selidik. “Apa kau sedang mengetesku?"

Gensi bersandar seraya menyilangkan tangannya. Kemudian ia mengangguk-angguk dengan wajah keangkuhan.

Soa tersenyum sinis. “Disaat seperti ini bisa-bisanya kau-“

“Tidak bisa, Soa.” Gensi langsung menyela, mencegah Soa menggerutu lebih lanjut. “Aku sudah sempat memberikan jawaban seperti itu kepada Ayah, tetapi dia tidak menginginkannya.”

“Apa! Kenapa?”

“Ayah tidak siap membawa keluarganya hidup terkatung-katung tanpa kepastian seperti itu. Dia tidak ingin menimpakan beban padamu, aku, dan juga Edzard. Denzel negara kecil dengan kesempatan yang juga kecil. Apa mungkin secepat kilat kita bisa mendapat pekerjaan di sini? Sementara banyak warganya yang pada akhirnya memilih bekerja di luar negeri.

“Apa kau siap, menyeberangi negara yang tak pernah kau tahu seperti apa di luar sana hanya untuk mengisi perutmu dan keluargamu? Berpisah dengan orang-orang yang kau sayang? Ayah tidak siap, Soa. Tetapi di usianya sekarang dia juga sudah tidak mampu menjadi tulang punggung lagi. Dia tidak ingin Ken sampai harus putus sekolah, dia tidak ingin Ibu bersedih, dan dia tidak ingin keluarga besar kita mengasihani.”

Soa tertunduk berusaha mengerti alasan ayahnya.

Gensi melanjutkan, “menurutku Ayah ada benarnya. Aku juga tidak tega jika melihat Ayah bekerja keras lagi. Kita harus menghargai keputusan Ayah. Dia sudah berusaha mencari jalan keluar, walaupun kita tahu itu semua gagal.

“Ken adalah penyelamat kita satu-satunya. Bibi Molly menginginkan Ken, dan kita menginginkan hutang ayah padanya lunas. Bibi tidak sungguh-sungguh membutuhkan uang kita, dia hanya ingin memiliki anak. Ken adalah anak yang paling ia sukai.”

Soa tercenung dan tak berkutik.

“Soa, biarpun Ken diasuh oleh bibi Molly, bukan berarti kita akan kehilangan dia. Percayalah, ini demi kebaikan kita semua. Keluarga kita terbebas dari hutang, Ken mendapat hidup layak, dan kita masih bisa melanjutkan restoran tanpa beban sekaligus memiliki tempat tinggal.”

"Bisakah kita mempercayai adik kita diasuh oleh keluarga rentenir seperti mereka?”

“Itulah bisnis. Kau suka ataupun tidak dengan cara bibi Molly dan suaminya mendapatkan uang, Mereka tetaplah orang yang akan memberi kehidupan yang layak untuk Ken. Aku rasa itu dua hal berbeda, dalam soal hutang piutang mungkin mereka menjadi raja tega, tetapi dalam pengasuhan terhadap seorang anak, aku yakin bibi Molly dan paman Daiva akan menjadi orang tua yang baik.”

Soa memikirkan dalam-dalam ucapan Gensi. Benaknya masih dipenuhi bimbang apakah melepaskan Ken adalah jalan yang terbaik? Sekaligus merasa gusar, karena tak ada jalan alternatif yang bisa ia temukan.

“Wah ... senang sekali aku bisa melihat kalian begini.” Tiba-tiba Edzard muncul dari dapur ikut membaur.

“Apa maksudmu?” tanya Gensi.

“Beginilah kalian seharusnya sebagai kakak adik, berdialog dengan kepala dingin, kalau begini kan aku tidak perlu repot menguras tenaga menengahi kalian. Hei, apa obrolan kalian masih panjang? Biar aku buatkan kopi. Kalian mau?”

Gensi dan Soa saling melempar tatapan tajam. Lalu kemudian berbarengan melirik ke arah Edzard dengan sorot mata yang sama. Edzard jadi merasa cemas mendapat pandangan seperti itu, ia menyadari telah salah bicara, dan sekarang merasa nyawanya seperti akan diterkam dua singa betina.

“Atau, ka-kalian mau teh?” tawar Edzard lagi berusaha menjinakkan.

Seketika bentakan itu keluar. “TIDAK!!!” Edzard tersentak. Begitu kompak istri dan adik iparnya menjawab dengan kata dan di waktu yang sama. Mereka kemudian bangkit tak peduli, meninggalkan Edzard sendiri untuk segera mengerjakan pekerjaan masing-masing.

Edzard cuma bisa menepuk-nepuk dadanya, lantas bergumam lirih, “Aku yakin, mereka sebenarnya saudara kandung.”