webnovel

Langkah Soa

“Kami mengerti Soa, tetapi badanmu–”

“Aku sudah tidak apa-apa Hanna,” Soa langsung menyela. “Ini bahkan tidak seberapa. Ken yang di sana lebih membutuhkanku. Aku akan menguatkan diri, tubuhku harus membantuku. Ini kesempatan terakhirku untuk bisa bersamanya, atau aku akan menyesal seumur hidupku.”

Mereka tak bisa mematahkan alasan Soa. Begitu sulit memang untuk menemukan jalan lain yang lebih baik. Kesenyapan pun timbul di antara mereka, membuat mereka tenggelam dengan kecemasan di dalam hati masing-masing.

Soa tidak ingin membuang waktu untuk larut dalam kesunyian mereka. Tekadnya yang bulat, membuat kesulitan apa pun sudah siap ia hadapi. Sekeras apa saja pertentangan dari keluarganya, ia tetap harus menjemput Ken untuk pulang bersama.

Gadis itu beranjak bangun dari tempat duduknya. Namun tiba-tiba saja Zoe meraih tangan Soa lalu berkata, “Aku juga akan membantumu.” Soa agak bingung mendengar ucapan Zoe, begitu juga dengan Hanna dan Dori. Pemuda itu bangkit menyusul berdiri lalu tersenyum hangat, “aku akan mengantarmu. Ayo kita berangkat.” Dan dalam sekejap kata-kata itu langsung melukiskan senyum di bibir Soa.

“Bukankah mobilmu masih muat untuk dua orang lagi?” Hanna menyambung sambil ikutan berdiri.

Dori melongo bingung ke arah Hanna. “A–apa maksudmu?” ia terlihat mulai takut.

“Apa lagi, kita ikut menemani Soa.”

“Hah?! Ta–tapi....”

Zoe agak keberatan. “Sebaiknya kalian tidak usah ikut. Biar aku dan Soa yang menjemput Ken.”

“Ah! Itu terdengar lebih baik,” Dori mendadak lega.

“Bukankah akan lebih baik jika kita bersama?” Hanna masih belum bisa menerima saran Zoe, membuat Dori kembali gelisah.

“Yaaa, memang,” jawab Zoe agak ragu.

“Lalu?”

“Aku hanya tidak ingin kehadiran kalian menarik perhatian mereka untuk menjadikan kalian calon kurban persembahan.” Seketika ketiga sahabat perempuannya bergidik ngeri. “Sudahlah, itu hanya dugaanku saja. Tapi... baiklah kalau kalian tetap ingin ikut,” tandas Zoe.

Namun kata prasangka itu sudah kadung masuk ke dalam pikiran mereka masing-masing. Terlanjur menancap dan memancarkan gelombang ketakutan.

Mereka saling terdiam sejenak, memikirkan keputusan apa yang ingin mereka ambil. Meski sedikit berbeda dengan Dori. Di dalam hatinya sejak awal ia sudah memilih tidak ingin ikut.

Hanna yang pada akhirnya memilih melawan ketakutan, memutuskan untuk tetap pergi. Keteguhan tekad Hanna membuat Dori jadi merasa tidak enak jika menolak, mulutnya dituntut tidak sejalan dengan kata hatinya.

Memberi jawaban berbeda ketika teman-teman sudah kompak menemukan kesamaan dalam bertindak jelas bukan hal yang mudah. Perasaan yang muncul, biasanya adalah dianggap tidak solider. Tetapi... apakah harus ikut menceburkan diri meski tidak punya keberanian apa lagi kemampuan?

“Lalu bagaimana denganmu Dori?” tanya Zoe.

Raut muka Dori yang sudah pucat, membuat Zoe untuk sembunyi-sembunyi menahan tawanya. Yah, dia paham, di antara mereka memang Dori yang paling penakut menghadapi tantangan. Tetapi pemuda itu tetap saja, iseng membiarkan sahabatnya menikmati ketakutan dan menunggu Dori memberi jawaban dengan terpaksa.

Untunglah empati Soa muncul ke permukaan, ia bisa merasakan keraguan Dori. Sebetulnya Soa juga tidak ingin dua teman perempuannya terlibat lebih dalam. Terlepas dari dugaan Zoe, ia tidak ingin keluarganya jadi berpikiran buruk terhadap mereka. Akhirnya Soa menahan Hanna dan Dori untuk menemaninya, Hanna yang semula tetap memaksa akhirnya luluh dengan pengertian yang diberikan Soa.

Kini detak jantung Dori bisa berjalan normal lagi, ia bisa bernafas lega, meski ia tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Membuat Zoe lagi-lagi menahan tawa melihat ekspresi gadis itu.

***

Cepat-cepat Soa dan Zoe berangkat. Mengemudikan mobil, menembus matahari pagi dengan kerisauan di hati. Sepanjang jalan Soa dan Zoe sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Tak ada kata yang terucap, tak ada suara yang ramai bersenandung.

“Kau sudah memilih?” Andel muncul tiba-tiba di sisi kanan Soa. Menemaninya bicara, seraya turut memandang taman dari tepi jendela kamar. Tak lepas Zoe, Hanna dan Dori yang sedang bersama-sama duduk dalam satu meja terbawa dalam jangkauan penglihatannya.

“Ya. Aku sudah menentukan langkah yang akan kuambil,” Soa menjawab pelan.

“Lantas apa yang menjadi pilihanmu?”

Bibir Soa terkunci sejenak. Ia terlihat sedang bersiap diri mengatakannya. Hingga pada akhirnya ia mengakui, “Kuputuskan untuk menggantikan posisi Ken.”

“Apa! Bagaimana mungkin kau berpikir seperti itu?!”

“Aku yakin aku bisa menggantikan Ken. Jika yang mereka butuh kan adalah jiwa untuk menjadi budak, aku tidak yakin mereka akan menolak seseorang yang datang untuk mengabdi secara suka rela.”

“Kenapa?!”

“Karena aku baru mengingatnya.”

Andel mendengus tersenyum tipis. “Bisa-bisanya kau bercanda.”

“Aku hanya sedang berusaha melonggarkan keteganganku.”

“Oh, jadi kau sangat tegang sekarang.”

Soa jadi ingin ikut tersenyum mendengar ucapan Andel, meski senyumnya masih terasa berat terukir.

“Aku tahu Andel. Aku tahu ini masalah yang sangat serius. Aku pun masih tidak bisa memikirkan seperti apa masa depanku nantinya jika aku masuk ke dalam keluarga mereka.”

“Lalu? Kau tetap ingin maju meski tanpa pengetahuan?”

Soa mengangguk lemah. “Aku... ingin mengalaminya untuk mengerti.”

Seketika Andel langsung menoleh ke arah Soa. Ia ingat betul, bahwa kata-kata itu pernah ia berikan pada gadis di depannya.

“Apa kau yakin kalau nantinya kau tidak akan menyesal?” Malaikat itu menyelidik kesanggupan Soa lebih jauh, tanpa merasa perlu membaca pikirannya.

“Tidak tahu.”

Andel tak paham dengan jawaban singkat itu. “Dengarlah baik-baik! Ketika kau memutuskan menukar jiwamu dengan Ken, kau akan menjadi budak selamanya Soa, selamanya! Kenapa kau tidak membiarkan saja semua ini berlalu dan melarikan diri? Tidak berhubungan lagi dengan keluargamu agar kau tidak ikut menanggung konsekuensi yang dibuat oleh ayahmu. Tentu saja, itu berarti kau membiarkan Ken dengan nasibnya.”

“Tidak Andel!” Soa langsung tegas menolaknya.

“Kenapa?”

“Untuk apa aku melarikan diri?! Tubuhku memang akan selamat, tetapi tidak dengan hatiku! Seumur hidup aku akan membawa penyesalan karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk Ken. Itu selaras dengan apa yang kau ucapkan, bahwa aku akan semakin merasa sakit.”

“Meski kau tahu, menghadapinya membutuhkan pengorbanan yang besar?”

“Ya.”

Sekejap Andel terdiam. Enggan menyelidik lagi kesungguhan gadis itu.

“Begitu sulit bagiku memutuskan untuk menggantikan Ken dengan diriku sendiri. Akan tetapi, menjadikan anak lain sebagai penggantinya pun hanya membuat nafasku sama sesaknya.

“Sejujurnya aku memang hampir tergoda. Kebingunganku bercampur dengan kemarahan, ketakutan, kekecewaan. Semua rasa itu telah menjamah hatiku.

“Menangis semalaman pun tak mampu menebusnya. Aku ingin diam, tetapi itu hanya akan memperbesar luka. Ingin bergerak, tetapi itu pengorbanan yang mengerikan. Sampai kemudian aku tersadar. Ini bukan hanya tentang Ken, tetapi juga tentang diriku. Kau masih ingat kan, kalau aku sedang mencari jawaban atas apa yang sedang menimpaku?

“Kehadiranmu, Arandra, dan persoalan Ken, semua datang begitu tiba-tiba. Aku yakin ini semua berkaitan dan harus aku pecahkan. Aku yakin, ini adalah pesan dari langit yang harus bisa kubaca. Meski... pengorbanan besar harus kulalui.”

Andel masih bisu tertegun menikmati perasaannya. Akan tetapi diam-diam di dalam hatinya menyeruak rasa lega yang tak bisa ia jelaskan secara terang-terangan di depan Soa. Kini Andel telah betul-betul memahami, apa yang menjadi alasan kuat gadis di sampingnya memilih jalan yang begitu tragis.